Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang di Depan Mata

10 September 2023   05:17 Diperbarui: 10 September 2023   05:37 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: idntimes.com

Aku menyadari kalau kau adalah lelaki yang teramat baik. Bisa bercanda, bertengkar kecil, tetapi kembali bersahabat tanpa harus merasa sungkan denganku.

Anehnya, aku tak pernah berpikir menjadikanmu lelaki spesial. Ah, iya. Aku ingat. Saat pertama kali mengenalmu, sudah ada lelaki lain yang diam-diam kuharapkan menjadi orang spesial bagiku. Dia adalah teman kuliah seangkatanku. 

Daya tarik apa yang membuat hatiku jatuh cinta? Orangnya cakep, pinter tetapi cuek. Mungkin itulah yang membuatku tertantang dan akan merasa bangga jika mendapatkan hatinya.

Dalam perkembangannya, aku mulai hilang rasa. Aku tak tertarik lagi. Bertemu dengannya tak membuatku berbunga-bunga seperti pada awal kumenyukainya.

Di saat itulah, aku mengenalmu lewat kakakku, Mas Opik. Kau teman baiknya. Kau sering ke rumah untuk mengerjakan tugas kuliahmu. Mulai dari situlah kita berkenalan.

Jujur saja aku senang bersahabat denganmu. Aku sering ikut ngobrol denganmu dan Mas Opik. Hingga akhirnya kau ujian skripsi dan dinyatakan lulus. Tak lama kemudian kau yudisium dan menunggu waktu wisuda.

"Besok mas Hafidz wisudanya bareng mas Opik 'kan? Mas Opik sudah punya pendamping loh! Mas Hafidz nanti kenalin pacarnya ya!" ucapku dengan bercanda.

"Kamu ini! Tahu sendiri kan kalau selama ini dia ke sini cuma sendirian," sahut Mas Opik.

Aku manggut-manggut. Sementara kau tersenyum.

"Lah gimana, Pik. Boleh nggak aku ngajak Kirana?" tanyamu kepada Mas Opik.

Begitu mendengar ucapanmu, aku langsung protes.

"Enak aja! Aku nggak mau!" seruku sambil cemberut.

Mendengar ucapanku yang ceplas-ceplos kau hanya tertawa. 

"Haduh...haduh... Kamu ke sini bela-belain mau ngajak Kirana ke wisudamu, tapi dia nggak mau. Kasihan sekali kamu," goda Mas Opik padamu.

Aku tak menyangka gurauanku malah menjadi bumerang bagiku. Jadi, untuk selanjutnya aku tak begitu memerhatikan reaksimu. Rasanya sebal juga kalau kalian iseng seperti itu. Nggak lucu sama sekali. 

"Iya ya. Ngapain juga aku ngajak Kirana. Wong ya nanti pas wisuda bisa ketemu. Kan dia pasti tak melewatkan event bersejarahmu ya, Pik." Kau ucapkan itu sambil garuk-garuk kepala.

***

Wisuda kalian tiba. Aku memang datang ke wisuda kalian. Ya, meski kedatanganku bukan bermaksud mengamini keinginanmu. Aku ingin merasakan kebahagiaan Mas Opik. Itu saja.

Pagi itu, segala persiapan para wisudawan-wisudawati dilakukan di sekitar lokasi wisuda, GOR kampus kalian. Keluarga-keluarga para wisudawan-wisudawati berfoto ria. Selain itu juga berfoto dengan sesama wisudawan-wisudawati dan teman seangkatannya masing-masing.

Aku tentu saja ikut berfoto bersama Mas Opik, kekasihnya dan kedua orang tua. 

"Hai, Fidz. Sini! Foto bareng aku sama Kirana!" seru Mas Opik mengajakmu berfoto barengan.

Mau tak mau mataku melihat ke arahmu. Aku ikut menyapamu seperti biasa. Ada yang berbeda saat kumenyapamu. Ya, kemarin-kemarin kau begitu hangat menyapa dan bercakap dengan kami. Tiba-tiba kau hanya menjawab dengan tatapan mata yang tak bisa kuartikan.

"Iya. Sini, Mas Hafidz," ucapku kaku. Lagi-lagi kau hanya melihat ke arah kami dan tersenyum.

Sejak saat itu, aku tak berkomunikasi denganmu. Aku semula memikirkan sikapmu itu. Banyak pertanyaan muncul, apa benar yang dikatakan Mas Opik kalau kau memang mencoba dekat denganku? Apa kau marah? Pertanyaan lainnya bermunculan.

Pada akhirnya aku tak mau merasa bersalah atas komunikasi kita yang tak sebaik dan tak sehangat dulu. Kutenggelamkan diri dalam kegiatan kampus. Aku ingin segera lulus kuliah. Itu tekadku.

***

Selepas kelulusanmu, aku berjuang untuk menaklukkan skripsiku. Meski dengan segala keterbatasan, Alhamdulillah lulus juga. 

Gelar Sarjana Pendidikan sudah kugenggam. Aku mendaftar ke sekolah menengah pertama swasta. Kujalani peranku sebagai guru dengan gaji yang kuanggap cukup. Semua kusyukuri. Kukira rasa syukur itu membuat rezekiku dicukupkan.

Di tengah-tengah menjalani peranku sebagai guru, tanpa sengaja kita bertemu lagi. Komunikasi kita mulai cair. Aku bersyukur, kau mau bercanda lagi. Kau kuanggap sebagai kakak dan teman bertengkar juga. Namun, itu tak berlangsung lama.

Komunikasi kita kembali berjarak. Tak tahu bagaimana ceritanya, hadirlah seorang lelaki dalam kehidupanku. Dengan penuh percaya diri dia memperkenalkan dirinya. Hanya saja dia tak mengatakan dari mana dia mengenal namaku. Tiba-tiba saja dia menemuiku di rumah.

Lelaki berperawakan tinggi dan berkulit hitam manis kulihat di depan pintu yang sebelumnya diketuk. 

"Mbak Rana ya?" tanya lelaki itu.

Mataku menyelidik. Kulihat di sekitar teras rumah. Tak ada orang lain di sana. 

Aku merasa tak mengenalnya. Dia hanya bercerita kalau mengenal tulisanku dari blog dan berusaha menemukan alamatku. Yang tak masuk akal, ya itu. Dia bisa menemukan alamatku padahal di blog-ku tak ada alamat rumah ataupun alamat tempat kerjaku. Tambah lagi, dia sudah menyimpan nomorku.

Dia mengajakku ngobrol. Jengkel juga dengan obrolannya yang sok kenal sok dekat. 

Lama-lama aku tak nyaman. Segera kutinggalkan dia di teras rumah sendirian dengan alasan mau menyiapkan air minum untuknya. Padahal aku tak melakukannya. Itu hanya alasan biar aku tak berdua dengannya. Aku segera masuk rumah, menutup dan mengunci pintu rumah. 

Merasa kukelabui, dia meneleponku. Tak kuangkat. Akhirnya dia mengirimkan pesan lewat WhatsApp.

"Aku akan kembali lagi besok, Rana."

Keesokan harinya, dia ke rumah lagi. Aku tak menemuinya. Malas sekali kalau berurusan dengan lelaki itu. Ibuku-lah yang menanggapinya.

Di tengah-tengah mereka mengobrol, dia mengirimkan pesan lagi.

"Rana, maaf kalau aku membuatmu kesal. Tapi percayalah, aku berniat baik. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Lebih dekat daripada persahabatanmu dengan Hafidz," pesannya.

Membaca pesan itu, aku terkejut. Ternyata dia mengenalku karena kau. Aku semakin kesal. Terlebih padamu. Aku merasa sudah kau bohongi.

***

"Kamu itu gimana sih, Mas Hafidz. Seenaknya ngasih tahu alamat dan nomor HP-ku ke orang lain," cerocosku tanpa basa-basi.

Kau yang berada di hadapanku terlihat gelagapan. Memang aku sengaja menemuimu. Aku ingin kau tahu betapa tak terimanya aku atas perlakuanmu.

"Tunggu dulu, Kirana! Aku tak paham maksudmu," ucapmu kebingungan.

Aku hanya memberikan handphone-ku kepadamu. Kuminta kau membuka pesan WhatsApp yang dikirimkan temanmu. Belakangan kutahu nama temanmu itu Eka.

Kau baca pesan-pesan Eka yang masih kusimpan.

"Ya Allah. Aku benar-benar nggak tahu kalau dia sejauh itu, Kirana! Pas kamu WA dulu, Eka memang main ke sini. Dia cuma nanyain siapa yang kirim pesan. Ya kujawab kalau kamu yang kirim. Lalu dia buka-buka HP-ku. Mungkin dari situlah dia punya nomor kontakmu," jelasmu.

Tentang alamat rumahku, kau bercerita padanya kalau aku tinggal di kecamatan sebelah dengan kalian. Dia banyak tanya informasi rumahku, dengan alasan rumahku tak jauh dari rumah temannya.

Menyadari kekeliruanmu, kau menelpon Eka.

"Eka. Kamu itu gangguin Kirana? Kamu jangan macem-macem!"

Eka tertawa. Saat mendengar suara Eka itu, rasa dongkolku semakin bertambah.

"Jangan sakiti dia, Eka. Aku serius!" bentakmu.

"Aku serius. Kamu kayak nggak kenal aku saja," jawabnya santai.

"Kenal sih kenal. Tapi mbok ya kamu itu permisi dulu. Minta izin dulu kalau mau nyimpen nomor dan ke rumahnya. Bikin dia kaget dan marah."

Lagi-lagi dia tertawa. Kalau dia di depanku pasti sudah kuhajar. 

"Oh. Dia marah ya?" tanyanya.

"Iya. Sekarang dia di rumahku. Dia kesal sama aku juga. Tahu!"

"Kalau begitu, kasih teleponnya ke dia," ucapnya.

Kau memberikan teleponnya padaku. 

"Nggak mau!" jawabku ketus.

Mau tak mau kau kembali bicara dengan temanmu.

"Denger sendiri 'kan? Dia marah. Nggak cuma ke kamu. Tapi juga ke aku," protesmu.

"Ya gimana lagi. Sudah terlanjur 'kan, Fidz. Lagipula, aku tak perlu minta izin kamu. Kayak kamu orang tuanya saja," ledek Eka.

"Terserah kamu bilang apa. Aku takkan biarkan kamu sakiti dia. Titik!"

Kau menutup teleponnya, lalu memandangku.

***

Sejak aku pulang dari rumahmu, kita kembali tak saling sapa. Kadang aku merasa bersalah karena marah dan kesal padamu. Tapi kurasa aku wajar kalau marah.

Kau tak berusaha untuk menghubungiku. Entah apa alasanmu. Merasa bersalah atau ada alasan lain. Aku tak mau menghubungimu. 

Sementara Eka masih saja tak tahu diri. Dia semakin sering mengirimkan pesan. Atau bahkan mencoba telepon atau video call. Itu tak kuhiraukan.

Aku hanya membuka dan membaca chat dari Eka. Tak pernah kutanggapi. Dari chat-nya, aku tahu kalau dia adalah prajurit. Aku semakin malas menghadapinya.

"Kalau kamu berpasangan dengan prajurit, paling tidak dia sudah mapan, Kirana! Terus keren 'kan kalau jadi isterinya," ucap sahabat karibku, Nindy.

"Halah... aku nggak mau! Berat jadi isteri prajurit!"

"Kok kamu tahu kalau jadi isteri prajurit itu berat. Hayoooo... jangan-jangan kamu sudah mikirin dia, terus takut ini-itu ya. Hahahaha," goda Nindy.

***

Hari ini aku ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk menjenguk teman yang melahirkan di sana. Tanpa sengaja aku bertemu dengan adik dan ibumu. Dari mereka aku tahu kalau kau dirawat di rumah sakit.

Akhirnya aku menjengukmu sekalian. Kulihat kau lemah. Untuk duduk saja sulit. Dalam kondisi lemah, kau menceritakan kalau kalium-mu drop. Kekurangan kalium itu karena faktor genetik. Akibatnya kau akan merasa lemas atau lumpuh kalau tak mengonsumsi obat. 

Kau ceritakan lagi keluhan lain, ginjalmu bermasalah. Sampai harus dipasang alat untuk drainase dari ginjal ke kandung kemih. Tak terbayangkan, bagaimana rasanya ginjal dipasangi alat drainase.

Tak hanya itu, matamu juga bermasalah.

"Mata kiri ini tak sepenuhnya bisa untuk melihat. Tinggal tiga puluh persen. Terus tadi diperiksa, penyebabnya karena ada penyumbatan di otak," ceritamu. "Begitu berat cobaanku," keluhmu.

"Yang sabar ya, Mas Hafidz. Semoga Allah mengangkat penyakitmu," hiburku.

Terus terang aku rasanya ngeri dan tidak tega saat kau ceritakan penyakitmu. Kau yang ada di depan mataku adalah lelaki yang baik dan siap menjagaku, tanpa kusadari dan tanpa kuminta. Tanpa sepengetahuanku. Kini, aku tak tahu, apakah ada waktu untuk bercanda lagi denganmu.

Branjang, 8 September 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun