Mau tak mau mataku melihat ke arahmu. Aku ikut menyapamu seperti biasa. Ada yang berbeda saat kumenyapamu. Ya, kemarin-kemarin kau begitu hangat menyapa dan bercakap dengan kami. Tiba-tiba kau hanya menjawab dengan tatapan mata yang tak bisa kuartikan.
"Iya. Sini, Mas Hafidz," ucapku kaku. Lagi-lagi kau hanya melihat ke arah kami dan tersenyum.
Sejak saat itu, aku tak berkomunikasi denganmu. Aku semula memikirkan sikapmu itu. Banyak pertanyaan muncul, apa benar yang dikatakan Mas Opik kalau kau memang mencoba dekat denganku? Apa kau marah? Pertanyaan lainnya bermunculan.
Pada akhirnya aku tak mau merasa bersalah atas komunikasi kita yang tak sebaik dan tak sehangat dulu. Kutenggelamkan diri dalam kegiatan kampus. Aku ingin segera lulus kuliah. Itu tekadku.
***
Selepas kelulusanmu, aku berjuang untuk menaklukkan skripsiku. Meski dengan segala keterbatasan, Alhamdulillah lulus juga.Â
Gelar Sarjana Pendidikan sudah kugenggam. Aku mendaftar ke sekolah menengah pertama swasta. Kujalani peranku sebagai guru dengan gaji yang kuanggap cukup. Semua kusyukuri. Kukira rasa syukur itu membuat rezekiku dicukupkan.
Di tengah-tengah menjalani peranku sebagai guru, tanpa sengaja kita bertemu lagi. Komunikasi kita mulai cair. Aku bersyukur, kau mau bercanda lagi. Kau kuanggap sebagai kakak dan teman bertengkar juga. Namun, itu tak berlangsung lama.
Komunikasi kita kembali berjarak. Tak tahu bagaimana ceritanya, hadirlah seorang lelaki dalam kehidupanku. Dengan penuh percaya diri dia memperkenalkan dirinya. Hanya saja dia tak mengatakan dari mana dia mengenal namaku. Tiba-tiba saja dia menemuiku di rumah.
Lelaki berperawakan tinggi dan berkulit hitam manis kulihat di depan pintu yang sebelumnya diketuk.Â
"Mbak Rana ya?" tanya lelaki itu.