"Terserah kamu bilang apa. Aku takkan biarkan kamu sakiti dia. Titik!"
Kau menutup teleponnya, lalu memandangku.
***
Sejak aku pulang dari rumahmu, kita kembali tak saling sapa. Kadang aku merasa bersalah karena marah dan kesal padamu. Tapi kurasa aku wajar kalau marah.
Kau tak berusaha untuk menghubungiku. Entah apa alasanmu. Merasa bersalah atau ada alasan lain. Aku tak mau menghubungimu.Â
Sementara Eka masih saja tak tahu diri. Dia semakin sering mengirimkan pesan. Atau bahkan mencoba telepon atau video call. Itu tak kuhiraukan.
Aku hanya membuka dan membaca chat dari Eka. Tak pernah kutanggapi. Dari chat-nya, aku tahu kalau dia adalah prajurit. Aku semakin malas menghadapinya.
"Kalau kamu berpasangan dengan prajurit, paling tidak dia sudah mapan, Kirana! Terus keren 'kan kalau jadi isterinya," ucap sahabat karibku, Nindy.
"Halah... aku nggak mau! Berat jadi isteri prajurit!"
"Kok kamu tahu kalau jadi isteri prajurit itu berat. Hayoooo... jangan-jangan kamu sudah mikirin dia, terus takut ini-itu ya. Hahahaha," goda Nindy.
***