Mataku menyelidik. Kulihat di sekitar teras rumah. Tak ada orang lain di sana.Â
Aku merasa tak mengenalnya. Dia hanya bercerita kalau mengenal tulisanku dari blog dan berusaha menemukan alamatku. Yang tak masuk akal, ya itu. Dia bisa menemukan alamatku padahal di blog-ku tak ada alamat rumah ataupun alamat tempat kerjaku. Tambah lagi, dia sudah menyimpan nomorku.
Dia mengajakku ngobrol. Jengkel juga dengan obrolannya yang sok kenal sok dekat.Â
Lama-lama aku tak nyaman. Segera kutinggalkan dia di teras rumah sendirian dengan alasan mau menyiapkan air minum untuknya. Padahal aku tak melakukannya. Itu hanya alasan biar aku tak berdua dengannya. Aku segera masuk rumah, menutup dan mengunci pintu rumah.Â
Merasa kukelabui, dia meneleponku. Tak kuangkat. Akhirnya dia mengirimkan pesan lewat WhatsApp.
"Aku akan kembali lagi besok, Rana."
Keesokan harinya, dia ke rumah lagi. Aku tak menemuinya. Malas sekali kalau berurusan dengan lelaki itu. Ibuku-lah yang menanggapinya.
Di tengah-tengah mereka mengobrol, dia mengirimkan pesan lagi.
"Rana, maaf kalau aku membuatmu kesal. Tapi percayalah, aku berniat baik. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Lebih dekat daripada persahabatanmu dengan Hafidz," pesannya.
Membaca pesan itu, aku terkejut. Ternyata dia mengenalku karena kau. Aku semakin kesal. Terlebih padamu. Aku merasa sudah kau bohongi.
***