Jika Ahok menang di DKI dan Risma menang di Jatim, dimana PDIP menjadi pendukung utama mereka berdua, maka hal tersebut berpeluang membuat PDIP menjadi pemenang di Pemilu 2019.
Sebaliknya jika PDIP pasang Risma di DKI dan kalah, maka hal tersebut akan membuat pamor Risma bisa jatuh termasuk di Jatim dan bisa saja nantinya membuat Risma juga berpeluang kalah di Jatim. Hal ini bisa merugikan PDIP.
Bayangkan jika DKI, Jatim dan Jateng (Ganjar Pranowo juga beritanya cukup populer disana) dikuasai PDIP, maka sudah berapa persen suara yang akan dimenangkan PDIP di Pemilu 2019.
Inilah sebenarnya ketakutan dari Parpol-Parpol lain dan menjadi alasan mereka mendorong PDIP dukung Risma di DKI. Ini merupakan jebakan batman bagi PDIP.
Mengapa mereka melakukan itu?
Mari kita lihat hasil Pilkada serentak 2015 sesuai berita kompas.com tanggal 10 Desember 2015.
Pada Pilkada 2015, PDIP disebut sukses menang di 160 daerah, padahal target mereka hanya 156 daerah.
86 kepala daerah merupakan kader sendiri, 20 kepala daerah diusung sendiri, dan mereka juga menang di daerah yang bukan basisnya.
Tentu ini ancaman bagi Parpol lain pada Pemilu 2019. Terlebih pembangunan yang dilakukan Jokowi saat ini mengarah ke Indonesia bagian timur, sumatera dan kalimantan.
Bicara sumatera. Pada Pilkada 2015, PDIP menang besar di Sumatera Utara, dari target hanya 9 daerah, ternyata mereka menang di 15 daerah.
Lihat potensi suaranya, jika tol sumatera dan wisata danau toba jadi direalisasikan.