Seperti yang saya janjikan dalam artikel "Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan", inilah koreksi dan keterangan tambahan saya atas salah sebuah bab dalam buku "9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing" karya Alif Danya Munsyi, yakni bab "Mengais-Ngais China di Sunda" yang kebanyakannya adalah dialek Hokkien. (Kata "Cina" dalam bab ini sudah saya koreksi menjadi "China" sesuai artikel saya "Mengulik Kata "Cina" yang Salah Kaprah (Seharusnya: China").
Naskah asli diketik ulang atas kebaikan hati Kolong Buku
Koreksi dan Keterangan Tambahan Johan Japardi (naskah hasil koreksi diberi bercetak miring):*
Satu-satunya daerah republik yang paling sarat petunjuk tentang air adalah Jawa Barat. Ci dalam Cibodas, Cibeureum, Cihideung, Cihejo, Cibiru, Cikoneng, adalah air. Moga-moga ini bukan kebetulan, bahwa ci yang juga cai dalam bahasa Sunda, sama dengan dialek Hokkien cui (Mandarin 水 shui), yang berkaitan dengan filsafat China, bahwa 没有水就没有生命 meiyou shui jiu meiyou shengming (tanpa air takkan ada kehidupan)
Catatan:
Pernyataan di atas tidak akurat, karena, sebagai contoh, selain Sunda, setidaknya ada 3 suku di Indonesia yang menggunakan kata "air" dengan makna alternatif "sungai," yakni Jawa (banyu), Batak Toba (aek), dan Karo (lau).
Contoh:
Bahasa Jawa:
Arti dari kata Banyuwangi:
Banyu: 1. air
Banyau: 2. sungai kecil (Osing)
Wangi : 1. bau harum /semerbak mewangi
Lebih masuk akal jika kata "Banyuwangi" bermakna "Sungai Wangi, "ketimbang "Air Wangi."
Bahasa Batak Toba:
Aek, antara lain: air, sungai.
Bahasa Karo:
Lau: air, sungai.
Timbul pertanyaan, apakah imigran pertama yang datang ke tanah Sunda itu dari China? Beberapa penelitian bangsa Barat tentang pitarah bangsa Indonesia, menunjukkan asalnya dari China, sekitar Yunan, disebarluaskan kembali oleh sarjana-sarjana Indonesia, mulai dari R.M. Ng. Poerbatjaraka, sampai R. Soekmono.
Catatan:
Informasi ini terbuka untuk diperdebatkan lebih lanjut, karena menurut saya etimologi kata-kata berbahasa Sunda, sebagaimana halnya dengan kata-kata berbahasa Indonesia, lebih dekat ke dialek Hokkien dan sebagian kecil ke bahasa Mandarin. Jadi, bukankah lebih tepat jika dikatakan bahwa asal muasal orang Sunda adalah dari provinsi Fujian (Hokkien), entah melalui provinsi Yunan atau tidak? Atau orang Sunda autochthonous (sudah mendiami tatar Sunda sebelum kedatangan orang China dari provinsi Fujian yang hanya membawa pengaruh berupa bahasa)?
Bertolak dari yang diacu R.M. Ng. Poerbatjaraka, Sejarah Seni Budaya Jawa Barat, yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, diterbitkan oleh Dep. P & K, Jakarta, 1977, mengatakan, bahwa bahasa terpakai dalam kerajaan Tarumanagara adalah bahasa Kwunlun. Barangkali yang dimaksud adalah Kunglun. Dalam Bahasa China, kata ini berarti ‘perbincangan resmi.’
Catatan:
公論 gonglun (Hokkien: konglun) bermakna harfiah gagasan umum.
Kehidupan dengan air, kita mulai dari sawah. Dalam bahasa Sunda, ngawuluku berarti ‘membajak sawah,' yaitu wuluku disertai awal kata kerja nga. Dalam bahasa China, wu-lu-ku berarti, wu adalah lima; lu adalah bajak; dan ku adalah jenis padi-padian, maksudnya adalah lima jenis padi-padian yang harus dibajak dulu sebelum dituai.
Catatan:
五犁稻谷 wuli daogu, disingkat 五犁谷 wuligu (Hokkien: gole tiukok atau goloe tiukok, disingkat golekok atau goloekok).
谷 gu (Hokkien: kok) sendiri berarti lembah, bukan padi, namun dalam frasa 稻谷 daogu (padi + lembah = padi-padian) yang didahului 五犁wuli terjadi penyingkatan menjadi 五犁谷 yang bermakna lima jenis padi-padian yang dibajak.
Memang penyingkatan istilah baik dalam bahasa Mandarin, Hokkien, dan Jepang harus memerhatikan konteksnya agar dipahami dengan benar.
Contoh:
Dalam bahasa Jepang, Universitas Tokyo disebut 東京大学 toukyou daigaku, yang bisa disingkat menjadi 東大 toudai saja. Makna harfiah 東京大学 toukyou daigaku adalah timur + ibukota + besar + sekolah = Universitas Tokyo. Jadi, jika tidak mengacu ke konteksnya, makna 東大 toudai akan sangat berbeda, yaitu "besar timur."
Penyingkatan istilah ini tentunya mengikuti kaidah dan pemahaman Mandarin, misalnya Universitas Peking disebut 北京大学 beijing daxue, disingkat 北大 beida
Cara tradisional membajak sawah, dilakukan dengan bantuan kerbau. Pada saat kerbau menarik alat bajak, maka biasanya petani-petani di Jawa Barat meneriakkan “Kia!” kepada kerbaunya itu. Barangkali itu hanya sekadar teriakan tak ada arti. Tetapi, kalau kata ini dilihat dalam bahasa China, artinya adalah 'gerakkan' atau 'kerjakan.'
Catatan:
Kata 走 zou (Hokkien: kia, chau) memiliki banyak makna, dalam konteks ini "kia" bermakna "ayo jalan, ayo bergerak."
Sekarang, bayangkan, bahwa setelah membajak, petani itu mencuci kaki dan muka. Dalam bahasa Sunda, mencuci kaki adalah seka. Ini sama dengan bahasa China, si-ka. Lalu, mencuci muka, dalam bahasa Sunda sehari-hari adalah sibeungeut. Ini sama dengan bahasa China, si-bing-e.
Catatan:
洗腳 xijiao (Hokkien: sekha) bermakna mencuci kaki. Karena kebiasaan orang China zaman dulu mencuci kaki dengan menyapu-nyapu (menggosok-gosok, mengusap-usap) dengan kain dan sebagainya supaya bersih (kering), dalam bahasa Indonesia kata "seka" malah mengalami makna meluas menjadi menyapu-nyapu (menggosok-gosok, mengusap-usap) diri dengan kain dan sebagainya supaya bersih (kering) https://kbbi.web.id/seka
洗臉/洗脸 xi lian (Hokkien: sebin) bermakna mencuci muka.
Kemudian, di Jawa Barat, ada alat tradisional untuk membersihkan padi. Alat ini berbentuk seperti lemari dengan dua lobang di kiri dan kanan, serta kerucut penapis yang berada di tengahnya. Di seberang luar, ada kipas yang menghembuskan angin melalui kedua lobang tersebut. Jika kipas bergerak, maka yang dihembus adalah konga atau dedak, yang keluar dari lobang yang satu, sedangkan berasnya akan jatuh ke bawah melalui kerucut. Dalam bahasa Sunda, di kalangan petani alat ini dikenal sebagai hongkui. Ini sama dengan kata bahasa China hong-kuy, artinya lemari angin.’ Setelah itu, alat untuk menanak nasi, dalam bahasa Sunda disebut langseng. Ini sama dengan bahasa China lang-seng, yang oleh bentuknya berpinggang, maka dari kata ini turun kata langsing.
Catatan:
Konga berasal dari kata 糠 kang (Hokkien: khng) yang bermakna dedak. Kata bersukukata tunggal ini mengalami penambahan fonem "a" menjadi khng-a yang diadaptasi menjadi konga, seperti kata "Chin" yang menjadi "Chin-a."
Jika dirangkai kembali sesuai makna yang disebutkan oleh pak Alif Danya Munsyi di atas, 風櫃/风柜 fenggui (Hokkien: hongkui) memang bermakna lemari angin. Istilah ini sekarang sudah tidak digunakan lagi dalam bahasa Mandarin maupun dialek Hokkien.
Kata langseng juga sudah sulit untuk direkonstruksi karena sudah obsolet dalam bahasa China maupun dialek Hokkien. Jika mengacu ke Penerjemah Google, timbul banyak kerancuan karena prioritas terjemahan bahasa Indonesia untuk "dandang" adalah "burung dandang (Inggris: "cormorant") dan penerjemahan langsung dari bahasa Sunda "langseng" malah melarikan maknanya ke makna turunan, yakni "langsing" (Inggris: "straight.")
Saya mencoba mencari, dan etimologi yang bisa saya usulkan adalah 籃身/篮身 lanshen (Hokkien: langseng) yang bermakna harfiah tubuh berbentuk keranjang.
Untuk menanggul antara cai dengan cai, di sawah perlu dibuat pematang. Dalam bahasa Sunda, yang dikenal para petani, pematang adalah galeng. Ini sama dengan bahasa China, khaleng. Alat untuk menyangkul tanah, membuat pematang itu, disebut dalam bahasa Sunda, pacul. Dalam bahasa China, kata ini terdiri dari dua kata, yaitu pa artinya cangkul bergigi, dan cul artinya cangkul pipih.
Catatan:
Dengan cara yang sama, kata galeng saya rekonstruksi dari 腳陵/脚陵 jiaoling (Hokkien: khaleng) yang bermakna gundukan (harfiah: gundukan kaki atau gundukan landasan).
Cangkul bergigi dalam bahasa Mandarin disebut 頭 tou (Hokkien: thau) dan cangkul pipih 鋤/锄 zhu (Hokkien: ti), jadi bunyi gabungan 2 kata ini, zhutou (Hokkien: tithau) agak berbeda dengan pacul.
Ada orang yang berpendapat bahwa pa berarti memukul dan cul diturunkan dari kata zhu.
Di rumah tradisional Jawa Barat, yang berbentuk panggung, kamar tidur disebut pangkeng. Ini sama dengan bahasa China, pang-keng. Lalu pangkeng yang dikunci, disebut sosi, artinya kunci. Ini juga sama dengan bahasa China, so-sih.
Catatan:
Dua istilah ini mudah direkonstruksi.
房間/房间 fangjian (Hokkien: pangkeng) bermakna kamar tidur dan
鑰匙/钥匙 yaoshi (Hokkien 鎖匙, 鑰匙 sosi) bermakna kunci, jadi bukan kamar yang dikunci.
Lalu perhatikan pula kata-kata berikut ini. Tanah dalam bahasa Sunda, taneuh, berimbang dengan bahasa China to-nieh; potong dalam bahasa Sunda, kereut, berimbang dengan bahasa China, keu-le; kemaluan anak kecil perempuan dalam bahasa Sunda, memek berimbang dengan bahasa China, mey-mey.
Catatan:
Saya tidak menemukan kaitan kata "tanah" dengan bahasa mandarin maupun dialek Hokkien dan menurut saya istilah yang paling dekat adalah 土內/土内 tu nei (Hokkien: tholai) yang bermakna "di dalam tanah."
割裂 gelie (Hokkien: koahliat) bermakna memotong sampai putus.
妹妹 meimei (Hokkien siomoi atau moimoi) bermakna adik perempuan.
Setidaknya, itu hanya sekelumit saja kata-kata bahasa China yang dapat diseimbangkan dalam bahasa Sunda —sebagai bahasa terbesar kedua setelah Jawa, yang digunakan orang di Indonesia. Masih banyak lagi kata yang bisa diselisik dari China, bukan saja di Jawa Barat, tetapi juga dalam bahasa resmi Indonesia, mulai dari ubi, anglo, pecai, kangkung, tahu, tauge, Tangerang, batu, lihai, dan seterusnya.
Catatan:
Kata "ubi" tampaknya tidak berkaitan dengan bahasa Mandarin maupun dialek Hokkien: 蕃薯 fanshu (Hokkien: Hanchi).
Tangerang dalam bahasa Mandarin disebut 坦格朗 Tangelang (Hokkien: thankehnge) yang bermakna harfiah alun-alun datar panjang. Namun menurut saya etimologi kata Tangerang bukan mengacu ke bahasa Mandarin atau dialek Hokkien. Ini uraian etimologis dari pak Bambang Permadi dari kanal Saung Sejarah.
Anglo dalam bahasa Mandarin disebut 火盆 huopen yang bermakna harfiah pot api, namun dialek Hokkien menggunakan istilah yang berbeda, yaitu 火爐/小爐子 yang keduanya dibaca hanglo, yang bermakna harfiah pot untuk menghangatkan/memanaskan.
Pecai dalam bahasa Mandarin disebut 白菜 baichai (Hokkien: pehchhai yang bermakna sawi putih dan bermakna harfiah sayur putih.
Kangkung tampaknya juga tidak berkaitan dengan bahasa Mandarin 蕹 weng maupun dialek Hokkien: 甕菜 engchhai.
Tahu dalam bahasa Mandarin disebut 豆腐 doufu (Hokkien: tauhu) yang bermakna harfiah kacang (kedelai) rusak atau busuk atau hancur.
Tauge dalam bahasa Mandarin disebut 豆芽 douya (Hokkien: tauge) yang bermakna harfiah kecambah kacang (hijau). Bandingkan dengan tahu yang kehilangan fonem "u" pada "tau"
Batu dalam bahasa Mandarin disebut 石頭 shitou (Hokkien: chiohthau), jadi bunyi yang mirip hanya pada suku kata kedua. Mungkin ada kata lain yang menjadi asal kata batu.
Lihai dalam bahasa Mandarin disebut 利害 lihai (Hokkien: lihai), yang bermakna harfiah banyak, tetapi lazim digunakan dalam pengertian "tangguh."
Namun di antara perlintasan kata-kata yang dalamnya diyakini telah berlangsung akulturasi, maka unsur kebudayaan China yang paling meyakinkan diserap di Jawa Barat adalah jika kita perhatikan tata karawitannya. Dalam karawitan Sunda, ada yang dikenal dalam istilah titilaras sebagai ‘salendro mandalungan,’yaitu istilah lain dari 'salendro buhun.' Kata 'mandalungan,' yaitu istilah lain dari 'mandarin,' dan 'buhun' adalah 'nenekmoyang.' Titilaras salendro mandalungan ini adalah sebetulnya skala pentatonik khas China —disebut di China sebagai huangi-mei-tiau —jika dipadankan dengan skala diatonik pada C, susunannya adalah C-D-E-G-A.
Catatan:
Perlu saya luruskan tentang etimologi kata "mandarin," yang bisa kita tinjau dari dua arah untuk sebuah kata yang sama.
1. Kata ini berasal dari bahasa Portugis mandarim, mandarij, yang diadaptasi dari bahasa Melayu menteri, manteri, yang berasal dari bahasa Sanssekerta मन्त्रिन् mantrin, bermakna“menteri, penasehat,”yang akar katanya मन्त्र mantra, bermakna "nasehat, pepatah, mantra”+ -इन् in, sebuah akhiran pelaku).
2. Etimologi rakyat China secara keliru mengklaim bahwa kata "mandarin" berasal dari 滿大人 mandaren yang bermakna pembesar atau orang penting Manchu. Sampai sekarang orang Barat masih secara keliru menggunakan kata yang sudah dijadikan bahasa Inggris ini, untuk merujuk ke pejabat di China ketika masih berbentuk kekaisaran dan juga ke bahasa, yang diikuti oleh orang Indonesia, yang menegaskan bahwa "bahasa Mandarin" adalah makna dari 國語/国语 Guoyu (bahasa nasional), 漢語/汉语 hanyu (bahasa Han/China), 中文 Zhongwen (bahasa China/bahasa China tulisan), walaupun sama sekali sudah tidak ada relevansinya dengan 滿 man (Manchu).
Selanjutnya, nenekmoyang atau leluhur dalam bahasa Mandarin disebut 祖宗 zuzong (Hokkien: chochong). Adaptasinya ke dalam bahasa Sunda "buhun" memerlukan pemastian.
Pentatonik sendiri dalam bahasa Mandarin mutakhir disebut 古代五音 gudai wuyin (Hokkien: kocha goim) yang bermakna lima bunyi/nada zaman kuno. Saya tidak meneliti lebih lanjut istilah huangi-mei-tiau yang disebutkan oleh pak Alif Danya Munsyi karena memang tidak ada istilah turunannya dalam bahasa Sunda.
Sekarang, yang paling dekat dengan titilaras ini adalah karawitan Betawi, khususnya laras gambang-kromong. Kalau didengar lagu-lagu gambang-kromong, memang kebanyakan, jika tidak dikatakan semuanya, berwarna China, mulai dari Pobin sampai Jalijali. Dalam gambang-kromong Betawi ini, sampai sekarang, instrumen-instrumen yang dipakai juga tetap berbahasa China, misalnya sukong, tehyan, dan kongahyan.
Catatan:
Melacak etimologi kata sukong, tehyan, dan kongahyan juga sangat sulit karena alat-alat musik ini adalah kreasi diaspora China di Indonesia.
Pada 2017, Cut Rizki Wulandari Muly, seorang mahasiswi dari Program Studi S-1 Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan, menulis skripsi berjudul "Akulturasi Budaya Tionghoa dan Betawi dalam Orkes Gambang Kromong di Tangerang Jawa Barat"
(巴达维唐格朗 Gambang Kromong 乐器文化适应分析) Ba da wei tang ge lang Gambang Kromong Yueqi wenhua shiying fenxi.
Sangat disayangkan, selain judulnya, isi skripsi Cut Rizki ini tidak mengacu ke bahasa Mandarin untuk melacak etimologi kata-katanya.
Dengan demikian etimologi 3 nama alat musik ini juga memerlukan pemastian. Beranjak dari konjektur bahwa 3 alat musik ini merupakan modifikasi dari alat-alat musik yang ada di China, maka saya mencoba merekonstruksi etimologinya atas informasi inkomplet dari skripsi tersebut sebagai berikut:
Pada halaman 39 skripsi ini terdapat informasi:
Tehyan, Kongahyan dan Sukong merupakan alat musik gesek berdawai dua, direntangkan pada wadah gema yang terbuat dari tempurung berlapis kulit tipis dan berleher kayu yang panjang. Dimainkan dengan cara digesek dengan tongkat gesek. Memiliki bentuk yang mirip satu sama lainnya. Pada masyarakat Betawi dikenal dengan Rebab China yang berukuran paling besar disebut Sukong, sesuai dengan laras dawainya yang meniru nada su dan juga nada kong. Rebab dengan ukuran menengah disebut hoo siang (Tehyan), karena dawainya dilaras menurut nada hoo dan nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian (Kongahyan), sesuai dengan larasnya meniru bunyi nada-nada China dan serupa dengan Tehyan. Ketiga alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi dan sebagai ornamen lagu yang bervariasi.
Kemungkinan yang dimaksud oleh Cut Rizki bahwa "tehyan" berasal dari kata "hoosiang" adalak komposit dari:
1. "hu" dari 二鬍/二胡 erhu (Hokkien jichhiu), makna harfiah: dua janggut, yaitu alat musik gesek China bersenar dua yang menjadi dasar bagi orang Barat dalam menciptakan biola.
2. xiang dari 曲項琵琶/曲项琵琶 Quxiang pipa (Hokkien: khiauhang pipe) yang bermakna kecapi berleher lengkung atau gitar balon berleher lengkung. http://www.o1q14d.com/art/quxiang-pipa sebuah alat musik petik China.
Jika ini benar, maka pernyataan "Rebab dengan ukuran menengah disebut hoo siang (Tehyan), karena dawainya dilaras menurut nada hoo dan nada siang" harus diganti dengan "Rebab dengan ukuran menengah disebut hoo siang (Tehyan), karena dawainya dilaras menurut nada alat musik hoo dan siang."
Dengan cara yang sama dengan penelusuran etimologi kata tehyan, mestinya "yan" pada "kongahyan" juga berasal dari kata "xiang" dari 曲項琵琶/曲项琵琶 Quxiang pipa (Hokkien: khiauhang pipe).
Butuh penelitian lebih lanjut untuk menelusuri 2 kata pertama dalam istilah ini (kongah).
Wikipedia berbahasa Inggris menyebutkan bahwa kongahyan diadaptasi dari alat musik China, utamanya erhu.
Penerjemahan Google untuk kata kongahyan ke dalam bahasa Mandarin, baik tradisional maupun sederhana, memberikan hasil 孔加延 kongjiayan (Hokkien: khongka'ian) tanpa menyertakan maknanya yang mengacu ke alat musik. Jika diurai, 孔 kong (Hokkien: khong) bermakna lubang, dan kemungkinan besar ini sama dengan "kong" dalam "sukong."
Gambang-kromong, memang mulanya berasal dari komunitas China, dipakai untuk pesta-pesta tahunan, antara Peh-Cun yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 Imlek di mana masyarakat memasang gambar Hok Mo Hong di rumah-rumah, atau Cio-Ko yang menyembahyangi arwah, serta Cap-Go-Meh.
Catatan:
Peh-Cun berasal dari kata Mandarin 舩舩/排船 paichuan (Hokkien: paichun) yang bermakna perahu dayung.
Dari pengecekan daring, saya berkesimpulan bahwa yang dimaksud oleh pak Alif Danya Munsyi dengan Hok Mo Hong adalah 伏魔王 Fumowang (Hokkien: Hokmo-ong), Raja Penakluk Iblis, gelar untuk tokoh mitologis 鐘馗/钟馗 Zhong Kui (Hokkien: Cheng Kui).
Cio-ko berasal dari kata Mandarin 鬼節 guijie https://id.wikipedia.org/wiki/Cioko
Cap-Go-Meh dalam bahasa Mandarin disebut 十五冥 shiwuming (Hokkien: capgobeng atau capgome) yang bermakna malam hari ke-15 Imlek.
Dengan gambang-kromong, dikenal pula cokek dan lenong, keduanya pun berasal dari bahasa China. Bahkan, cokek yang dipelihara cukong, disebut ca-bau-kan, yang berubah lafal menjadi cabo —merupakan warisan dari zaman di mana orang China menentukan hidupnya Batavia.
Catatan:
Cokek berasal dari bahasa Mandarin 唱曲/唱曲 changqu (Hokkien chhiukhek) yang bermakna menyanyikan lagu.
Etimologi lenong cukup menarik karena ada yang mengatakan asalnya dari nama seorang pedagang China yang bernama Lien Ong. Menurut cerita rakyat, Lien Ong ini yang biasa menggelar pertunjukan teater yang kini disebut lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta keluarganya.
Kata cukong sendiri berasal dari 諸公/诸公 zhugong (Hokkien: chukong) yang bermakna para pria/bapak-bapak (gentlemen), dulu juga bisa bermakna adipati. Makna alternatifnya adalah bandar, bahkan taipan.
Terakhir, pak Alif Danya Munsyi menyebutkan istilah ca-bau-kan.
Ini adalah bentuk hiperkoretif, karena menurut Kamus Minnan-Inggris- Minnan Mary Knoll, mestinya ini dibaca cabokan.
Cabokan berasal dari bahasa Mandarin 婢女 binü atau丫頭/头丫 yatou yang dalam dialek Hokkien sama-sama dibaca chabokan. Ini adalah istilah yang sangat derogatif (menghina) karena (pada zaman dahulu), maknanya adalah budak perempuan. Istilah 婢女 binü sekarang tidak relevan lagi dan sesekali istilah 丫頭/头丫 yatou masih digunakan, dengan makna yang diperhalus menjadi gadis pembantu atau sapaan untuk anak gadis. Makna harfiah 丫頭/丫头 yatou sendiri adalah kepala garpu, masih lebih mendingan ketimbang 婢女 binü yang jelas-jelas bermakna budak perempuan.
Akhirul kalam, 女的 nüde (Hokkien: mestinya dibaca li e, tapi malah lebih lazim dibaca chabo e) adalah asal kata cabo.
Demikian koreksi dan penjelasan tambahan saya atas karya pak Alif Danya Munsyi yang sejak dulu sangat saya kagumi. Artikel ini saya dedikasikan buat bapak.
Memang, ada beberapa sumber lain yang mengulas tentang etimologi istilah-istilah yang kebanyakannya adalah dialek Hokkien, namun masih banyak istilah lain yang membutuhkan minat dan upaya generasi muda untuk menelitinya lebih lanjut.
*Selain sumber daring, untuk kata-kata berbahasa Mandarin, saya mengacu ke CEDICT Pablo dan untuk dialek Hokkien, Kamus Minnan-Inggris-Minnan Mary Knoll.
Jonggol, 16 Maret 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H