Dheg. Kembali keheningan yang tercipta. Tak ada suara. Tak ada kata. Aku seakan tersedot kembali pada peristiwa getir yang terjadi tiga tahun yang telah berlalu. Slide-slide kenangan seakan menghambur memenuhi seluruh ruangan. Kata-kata Diandra tiga tahun yang lalu begitu terngiang di dalam gendang telinga.
“Barangkali Maria benar. Aku adalah seorang pria yang kekanak-kanakan dan berlaku zalim pada diriku sendiri”, pikirku.
Sejak tanggal yang ku catat sebagai tanggal di mana Diandra pergi meninggalkanku tiga tahun yang lalu, aku bagaikan seorang peziarah yang tersesat ketika sedang berada dalam sebuah lawatan ke museum-museum yang mengabadikan berbagai peristiwa sejarah. Aku tersesat namun aku begitu mengagumi dan menikmati segenap etalase kenangan dan mozaik-mozaik dari beragam peristiwa di masa lalu yang disajikan itu. Aku menjadi enggan beranjak dari sana, aku tak tahu hendak ke mana, dan nyatanya aku tak mau ke mana-mana. Aku terjebak dalam sebuah romantisme masa lalu, mengagungkannya, begitu menikmati segala suka, luka, dan duka yang pernah tercipta, dan menganggapnya sebagai sebuah realita yang sebenarnya.
“Jon..”
Suaramu menyadarkanku dari lamunku.
“Iya Maria”
“Cerita dong?”, pintamu dengan lirih,
Aku menghela napas. Membuang pandanganku ke sisi jendela di sebelah bangku yang kita tempati. Kembali menatapmu. Menundukkan kepala. Kembali menatapmu.
“Aku tidak tahu apa yang ku rasakan Maria. Semuanya seolah tak pernah berubah. Aku pernah mencintai seorang perempuan dengan begitu penuh, hingga aku pun tak menyisakan sedikit saja rasa untuk mencintai perempuan yang lain. Aku masih terus mengharap dan masih terus merawat harap bahwa suatu saat aku akan bisa kembali bersamanya. Sepertinya aku telah membuat sebuah kesalahan yang besar Maria”.
Kamu menggenggam tanganku semakin erat.