“Makasih Mbak”, katamu dan kataku hampir bersamaan.
Aku menyeruput es teh yang sudah tersaji di meja. Menikmati rokok yang tadi ku nyalakan. Aku masih terus memperhatikanmu. Bersiap mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir tipismu yang menarik. Aku selalu suka mendengarmu bercerita.
“Dulu, waktu kita masih putih abu-abu mah yang pakai gini-an bisa dihitung dengan jari, sekarang hampir semua pakai Jon. Aku pakainya juga kalau sedang keluar saja.”
Kamu berhenti bicara. Kamu sibuk meniup-niup hot chocolate yang kamu pesan. Kamu sepertinya tidak punya cukup kesabaran menunggu minuman itu menghangat secara alami. Meski masih terlihat ada asap yang mengepul-ngepul tipis dari cangkirmu, kamu beberapa kali mencoba menyeruput hot chocholate yang kamu pesan itu. Meminum cokelat hangat, katamu bisa membantu menenangkan suasana hati. Aku sendiri tidak tahu dan tidak mencari tahu.
“He..hee.. masih panas banget Jon”, lanjutmu, “Eih… by the way, gimana kisah kasihmu setelah putus dengan Diandra?”
Dheg. Aku terdiam. Mencoba berpikir. Mencari-cari kata-kata untuk menjawab. Segala kata buyar. Aku mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Masih terdiam.
“Kok diam Jon?”
Kamu menyeruput hot chocholate-mu yang mulai menghangat.
“Sejak kamu putus dengan Diandra, kamu sudah jarang menghubungiku lagi. Kamu tak pernah lagi curhat-curhat ke aku Jon. Kamu sudah tak nyaman bercerita padaku?Aku ada salah sama kamu Jon?Atau pacarmu yang baru begitu over-protective hingga ingin membatasi persahabatanmu?”
Aku masih terdiam. Aku merasa ada sesuatu yang mencabikku dari dalam. Lidahku terasa kelu dan kaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum kecut.
Kamu menatapku dengan tajam dan penuh iba. Tanganmu tiba-tiba meraih tanganku. Menggenggamnya.