Kamu masih menggenggam tanganku. Menatapku. Kemudian kamu mengalihkan pandanganmu ke jendela yang ada di samping bangku kita. Kamu kembali menatapku penuh pengertian.
“Maria, aku tak pernah meragukan ketulusan, empati, dan kepedulianmu”, bisik batinku.
Suasana menjadi begitu hening. Untuk sesaat hanya ke-diam-an yang tercipta.
Tiba-tiba ku lihat matamu berkaca-kaca. Ada butir air menetes dari matamu. Aku mengusapnya, membelai-belai pipimu. Berusaha membantu menyingkirkan keresahanmu atasku.
“Aku tidak apa-apa Maria”, ucapku lirih.
Aku menganggukkan kepala. Tersenyum.
“I’m O.K, Maria”, kataku tanpa suara, hanya berupa gerakan bibir saja.
Kamu menggelengkan kepala. Menatapku.
“You’re not O.K”, katamu tanpa suara, hanya berupa gerakan bibir saja.
Kamu menyeka pipimu. Merapikan hijabmu. Membenahi posisi dudukmu. Beberapa kali kamu menarik napas begitu dalam, dan lalu menghembuskannya perlahan. Kamu menggenggam tanganku lagi. Menatapku begitu dalam.
“Entah kenapa ya Jon, sebagian besar pria bersikap terlalu kekanak-kanakan dalam menghadapi kenangan-kenangan masa lalu mereka. Mereka begitu mengagungkannya. Mereka bagai pengidap masochist yang begitu menikmati luka-luka hati mereka. Mereka mengira itu suatu tindakan heroik, dengan berdasar atas nama cinta dan kesetiaan. Itu bukanlah tindakan heroik. Itu adalah pen-zalim-an terhadap diri sendiri. Ku harap kamu bukan dari sebagian mereka Jon”.