***
Berondongan kata-kata Maria membuatku merasa bersalah. Memang, setelah hubunganku dengan Diandra berakhir (harus diakhiri), ku akui aku sudah jarang sekali menghubungi Maria. Aku pun tak pernah lagi bercerita keluh kesah tentang ‘masalah-masalah’ apapun padanya. Aku hanya berkomunikasi dengannya sebatas ‘basa-basi’, ber-‘hahahihi’, menanyakan kabar dan kesibukan, tak lebih. Itu juga terjadi jika Maria yang menghubungiku duluan. Aku tidak tahu entah kenapa aku menjadi bersikap seperti itu.
Maria adalah sahabatku sejak SMA. Maria ibarat ‘konsultan pribadi’ bagiku untuk berbagai urusan. Lebih spesifik yang berkaitan dengan kisah asmara. Hubunganku dengan Diandra pun terjadi atas “restu”-nya. Maria-lah yang mula-mula memperkenalkanku padanya, kemudia ia menjadi si penulis skenario, sekaligus sutradara yang mengarahkan terjadinya cerita cinta (mula-mula) antara aku dan Diandra. Tak luput, sosok Maria pulalah tempatku berbagi cerita mengenai pasang surut hubunganku dengan Diandra.
Setelah lulus SMA, Maria melanjutkan studi di Jakarta, dan tinggal menetap di sana. Semua keluarganya boyongan pindah ke Jakarta. Mengikuti Bapaknya sebagai abdi negara yang mendapat tugas baru di sana. Jarak yang begitu membentang, juga kesibukan masing-masing membuat aku dan Maria sudah nyaris delapan tahun tak saling bertemu muka, hanya mampu berkirim kabar lewat tulisan atau suara. Baru kali ini, ia menyempatkan kembali ke tanah kelahirannya. “Ingin berziarah dan men-ziarah-i kenangan sekaligus bernostalgia sebelum memulai kehidupan baru”, kata dia. Sebulan lagi Maria akan melepas masa lajangnya dan menggenggam masa barunya sebagai seorang istri.
“Hei Jon… ditanya malah ngelamun. Kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja kok”.
“Jon… kamu baik-baik saja?”
Kamu mengucapkan kata-kata ‘baik-baik saja’ dengan penekanan.
“Lumayan baik Maria”, kataku sembari tersenyum.
“Jon… kamu benar baik-baik saja? Ouh...tidak…tidak…kamu tidak baik-baik saja. Aku merasakannya. Maaf kan aku Jon.”