Begitu tahu driver ojol yang akan menjemputnya bekas guru SMP-nya, Rahmat mengganti lokasi jemputnya; dari depan masjid dekat rumahnya ke depan gang kampung. Tempatnya memang cukup jauh, tapi sang driver ojol akan lebih mudah menemukannya.
Setelah berjalan 15 menit, ia sampai di lokasi penjemputan. Ojol yang dipesan sudah tiba dari tadi, dan untungnya, sang driver ojol dengan sabar mau menunggunya. Suara driver ojol masih sama seperti yang pernah didengarnya bertahun-tahun lalu sebagai Pak Tarjo, guru matematikanya.
“Dengan Pak Rahmat?”
“Betul.”
“Sesuai aplikasi ya.”
“Maaf, tadi saya lama, Pak.”
“Tidak apa-apa,” kata Pak Tarjo, menyerahkan helm hijau kepada Rahmat. “Mau berangkat kerja nih?”
Rahmat, yang sedikit kesulitan mengaitkan tali helm, dibantu Pak Tarjo memasangkannya. Sekilas, meski memakai masker, ia bisa mengenali wajah Pak Tarjo yang sudah teramat tua. Ia bertanya dalam hati, kenapa ia sekarang narik ojek? Apakah ia sudah berhenti jadi guru?
“Saya ada wawancara kerja,” jawabnya.
“Semoga sukses ya.”
“Terima kasih, Pak.”
Pak Tarjo ternyata tidak mengenalinya walaupun ia belum memakai masker. Mungkin karena perubahan fisiknya; dulu ia kurus, loyo dan pendiam, sekarang ia berbadan tegap, tinggi dan lumayan berisi. Atau, mungkin karena ia hanya setahun diajar Pak Tarjo. Atau, mungkin karena ia dulu tidak terlalu menonjol di kelas atau di sekolah; ia siswa yang biasa saja, tidak ikut ekstra kurikuler dan bukan pengurus OSIS.
Mereka pergi melewati gang-gang dan jalan tikus, yang sengaja dipilih Pak Tarjo untuk mempersingkat waktu perjalanan dan sekaligus menghindari macet. Tempat yang dituju lumayan jauh, bisa sampai satu jam. Meski begitu, Pak Tarjo selalu bersemangat mengantar para pelanggannya, terlebih pelanggan yang akan menghadiri wawancara kerja. Oleh karenanya, begitu keluar gang ia langsung memacu sepeda motornya dengan gesit.
Rahmat memperhatikan helm Pak Tarjo yang lecet dan ditempeli bekas stiker, jaketnya yang kusam dan warnanya yang hampir pudar, menandakan Pak Tarjo sudah lama jadi driver ojol.
Pak Tarjo guru yang sangat jago matematika, yang menjelaskan pelajaran dengan detail tanpa melihat buku dan tegas, dengan kata tegas, yang bagi Rahmat, bisa diartikan lain. Pak Tarjo sering merendahkan dirinya. Itu gara-gara ia anak dari orang tuanya yang miskin; yang tidak bisa membayar kelas tambahan, membeli buku LKS atau memberi bingkisan saat orang tuanya mengambil rapor.
Ia pernah dihukum tidak boleh mengikuti pelajarannya karena terlambat masuk kelas, padahal sudah dijelaskan bahwa setiap pagi, sebelum pergi ke sekolah, ia harus mengantar kue-kue buatan ibunya ke warung-warung untuk dijual. Ketika guru-guru lain memakluminya, Pak Tarjo malah menyindirnya dengan mengatakan, “Orang tua yang berpendidikan pastinya tidak akan menyuruh anaknya bekerja.”
Ia seharusnya sudah melupakan pengalaman buruknya di SMP kalau saja bukan Pak Tarjo yang menjemputnya. Bagaimanapun, semua itu sudah berlalu, apalagi kondisi Pak Tarjo tampak memprihatinkan; sepeda motor yang dikendarai Pak Tarjo adalah sepeda motor yang sering dipakainya ke sekolah dulu—hadiah dari patungan orang tua murid-muridnya, tentunya dengan orang tuanya Rahmat jadi pengecualian. Sepeda motor yang pernah dibangga-banggakannya itu kini sudah butut, mesinnya berisik, bunyi knalpotnya nyaring dan mengeluarkan asap putih, shock breaker-nya keras, pun dengan joknya. Pak Tarjo mungkin saja sudah berubah jadi lebih baik, ia hanya belum mengetahuinya.
Pak Tarjo berniat mengajaknya mengobrol saat berhenti di lampu merah, akan tapi suara di jalanan sangat bising sehingga ia pun mengurungkannya. Begitu juga dengan Rahmat, yang sedari tadi ingin memberitahu bahwa ia dulu adalah mantan muridnya. Kesempatan itu baru datang ketika mereka tiba di tempat tujuan. Rahmat yang baru melepas helmnya berkata, “Masih ingat saya, Pak?”
Pak Tarjo cukup sering bertemu murid atau mantan muridnya di jalan; ada yang dikenalnya, dikenal baik, atau sama sekali tidak dikenalnya. Seingatnya, ia tidak pernah lupa seseorang kalau sudah kenal nama, meskipun sudah lama tidak bertemu—terlebih wajah laki-laki di hadapannya tampak tidak asing.
“Saya Rahmat, murid Bapak di SMP dulu,” lanjut Rahmat. “Saya sekelas sama Didiet, ketua OSIS. Satu angkatan sama Vera yang jadi artis sinetron, juga satu angkatan sama Slamet, yang juara Olimpiade Matematika Provinsi.”
Ia ingat Rahmat, murid yang pernah diberikannya nilai jelek hanya karena memakai rumus yang tidak diajarkannya—sekalipun jawabannya benar—lalu menyebutnya sebagai murid sombong. Kasihan anak itu, padahal yang seharusnya disebut sombong adalah dirinya. Dengan jabatannya sebagai wakil kepala sekolah dan kepintarannya, ia ingin selalu dihormati dan dianggap sebagai guru yang paling berjasa atas keberhasilan murid-muridnya dapat nilai bagus atau diterima di SMA favorit.
“Ah, Bapak lupa. Apa kabar, Mat? Kamu kelihatan gagah sekarang.”
“Terima kasih, Pak. Kabar Bapak gimana? Masih ngajar kan?”
“Bapak baik. Sehat. Bapak masih ngajar. Hari ini libur semesteran, jadi Bapak bisa ngojek seharian.” Rahmat mengembalikan helmnya, yang digantungnya di bawah stang. Ia kemudian melanjutkan, “Kamu wawancara kerja di sini, Mat? Wah, pastinya perusahaan bagus. Gedungnya saja bagus.”
“Iya, Pak. Mudah-mudahan lancar.”
“Oh ya, wawancaranya dimulai jam berapa? Jangan sampai kamu terlambat.”
“Masih lama kok pak. Masih satu jam lagi.”
“Sudah sarapan, Mat?”
“Belum, Pak. Tadi saya buru-buru, jadi tidak sempat sarapan.”
“Sarapan itu penting lho, Mat. Jangan sampai kamu pingsan pas wawancara. Ayo, kita sarapan dulu. Biar Bapak yang bayarin.”
“Terima kasih, Pak.”
Pak Tarjo cukup sering mengantar pelanggannya pergi ke gedung itu, ia bahkan pernah dua kali mengantar pelanggannya yang mau wawancara kerja di sana—Rahmat jadi yang ketiga. Makanya ia tahu tempat makan yang rasanya enak di sekitaran situ.
Di samping gerobak tukang bubur ayam mereka makan dan bertukar cerita; Pak Tarjo mengatakan bahwa ia akan pensiun dari guru dua tahun lagi. Dua anaknya sudah berumah tangga dan tinggal terpisah, sedangkan anak ketiganya masih cari-cari kerja. Ia senang bisa mengantar pelanggannya yang akan menghadiri wawancara kerja, mengingatkannya pada anak ketiganya.
Rahmat mengatakan, setamat SMP ia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri di Bekasi, setelah itu sempat lanjut kuliah di UI sebelum memutuskan berhenti. Kehabisan biaya, katanya.
Mendengarnya, Pak Tarjo merasa prihatin dan sekaligus merasa bersalah. Tidak ingin larut dalam perasaan, ia menawarkan Rahmat untuk mengantarnya pulang nanti. Gratis.
Rahmat tentu saja senang dengan tawaran itu, akan tetapi ia tidak ingin merepotkan Pak Tarjo, apalagi wawancaranya belum tentu sebentar.
Pak Tarjo tersenyum, dan berkata, “Bapak akan tunggu, Mat.”
Kantor yang dituju Rahmat terletak di lantai 4, dari situ ia bisa melihat Pak Tarjo yang sedang duduk di bangku di bawah pohon bersama rekan-rekan ojolnya. Ini wawancara kerja yang kesekian kalinya bagi Rahmat, dan ia sudah tidak gugup lagi. Dua wawancara yang dijalaninya berjalan lancar, tapi lumayan lama. Ia keluar gedung sekitar pukul 10.30. Pak Tarjo, yang melihatnya sedang menuruni tangga, segera menghampirinya.
“Langsung pulang, Mat?”
“Saya ada urusan di Kuningan Pak. Mau ketemu teman. Bapak tidak usah antar saya. Saya bisa pergi sendiri.”
“Tidak apa-apa. Kuningan kan dekat. Ayo naik! Kamu tidak usah bayar, Mat.”
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di tempat yang dituju.
“Saya mungkin agak lama, Pak. Kalau Bapak mau …”
“Tidak apa-apa. Bapak tunggu.”
“Terima kasih, Pak.”
Rahmat bergegas masuk ke dalam gedung dan menuntaskan urusannya. Empat puluh lima menit kemudian ia keluar dari gedung, dan seperti sebelumnya, Pak Tarjo segera datang menjemputnya.
“Maaf merepotkan, Pak.”
“Tidak apa-apa. Kamu langsung pulang kan?”
“Iya, Pak.”
Sudah hampir tengah hari, Pak Tarjo berpikir untuk makan siang dulu, dan sebagai kejutan, ia tidak memberitahu Rahmat jika ia akan mentraktirnya makan siang—ia menepikan sepeda motornya begitu menemukan warung nasi Padang.
“Kita makan dulu, Mat. Kamu pasti lapar,” kata Pak Tarjo. “Jangan khawatir, Bapak yang traktir.”
Pak Tarjo terlihat sumringah bisa mengantar dan membelikan Rahmat sarapan dan makan siang. Pikirnya, apa dilakukannya itu bisa menebus kesalahannya, atau setidaknya mengurangi rasa bersalahnya kepada Rahmat, sehingga ia tidak perlu lagi minta maaf.
“Tambah lagi, Mat.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Rahmat, yang tanpa malu-malu menambah satu piring nasi, mengambil rendang, ayam, dan paru.
Pak Tarjo mengeluarkan lumayan banyak uang untuk membayar makan siang, tapi itu bukan masalah besar sepanjang yang dilakukannya bisa menghapus rasa bersalahnya kepada Rahmat. Kemudian setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Di jalanan yang macet, Pak Tarjo dengan lihai menemukan celah untuk melaju, memotong jalan lewat komplek perumahan, menyusuri perkampungan, jalan-jalan tikus, pekuburan cina, dan keluar di jalur Kalimalang. Rahmat memuji caranya mengemudi dan memilih jalan.
Sekitar pukul 13.00 mereka tiba di tempat tujuan—di tempat Rahmat dijemput tadi pagi. Rahmat mengeluarkan dompetnya, tapi Pak Tarjo bilang tidak usah bayar. Ia mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan perjalanan pulangnya dengan berjalan kaki.
Jarak menuju rumahnya sekitar 20 menit; menyusuri gang-gang sempit, rumah-rumah berdempetan dengan atap membentuk lorong, lapangan badminton dipenuhi jemuran, sekumpulan wanita mengobrol di pojokan, anak-anak remaja bermain karambol, berpapasan dengan segerombolan anak SD berlarian di jembatan, kemudian melewati pasar, gedung SMA, deretan ruko, mini market, kafe, restoran cepat saji, masjid besar, deretan rukan, lalu berbelok ke kiri memasuki gerbang dengan dua pos satpam dan portal, berjalan di atas trotoar yang diteduhi pohon-pohon rindang, melewati taman di sisi kanan jalan, deretan rumah bertingkat dengan halaman luas dan pagar tinggi sejauh dua blok, dan setelah itu ia berbelok ke kiri.
Rumahnya terletak di sudut jalan, bertingkat dua dan berwarna krem, berseberangan dengan lapangan bermain. Pintu gerbangnya kokoh, terbuat dari besi dan kayu, dengan CCTV yang dipasang di sudut atas; dua diantaranya tersembuyi di balik rerimbunan daun pohon mangga yang buahnya terjuntai melewati pagar. Pohon-pohon besar nan rindang yang tertata di sisi jalan mendatangkan hawa sejuk di tengah panasnya cuaca.
Rahmat masuk dari pintu samping yang dibukanya dengan panel sidik jari, menaiki delapan anak tangga yang berputar, berjalan menuju pintu samping—tiga mobil mewah terpakir di halaman luas dan teduh—melewati taman dengan pijakan batu, kemudian masuk ke dalam ruang dapur tanpa melepas sepatu, membuka lemari es, mengambil sekaleng soda, meminumnya sedikit, lalu pergi ke ruang tengah, mengempaskan tubuhnya di sofa, meletakan kaleng soda di atas mata kanan dan kirinya bergantian.
Meski tampak lelah, ia merasa lega karena dua jadwalnya sudah terpenuhi hari ini. Pertama, ia sudah mendapatkan orang yang tepat untuk mengisi posisi direktur marketing setelah mewawancarai dua kandidatnya tadi pagi. Kedua, pertemuannya dengan investor baru di Kuningan berjalan lancar.
Memang, itu hanya pertemuan pendahuluan, tapi setidaknya ia sudah punya gambaran berapa dana yang akan dikucurkan nantinya. Ia dan pihak investor baru akan membicarakan masalah teknis Senin depannya, sekaligus memperkenalkan direktur barunya.
Ia sebetulnya malas mengarungi jalanan di Senin pagi yang selalu macet. Karena itu, ia mungkin akan naik ojol nantinya, atau, memakai jasanya Pak Tarjo lagi. Ia benci kemacetan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H