“Tidak apa-apa. Bapak tunggu.”
“Terima kasih, Pak.”
Rahmat bergegas masuk ke dalam gedung dan menuntaskan urusannya. Empat puluh lima menit kemudian ia keluar dari gedung, dan seperti sebelumnya, Pak Tarjo segera datang menjemputnya.
“Maaf merepotkan, Pak.”
“Tidak apa-apa. Kamu langsung pulang kan?”
“Iya, Pak.”
Sudah hampir tengah hari, Pak Tarjo berpikir untuk makan siang dulu, dan sebagai kejutan, ia tidak memberitahu Rahmat jika ia akan mentraktirnya makan siang—ia menepikan sepeda motornya begitu menemukan warung nasi Padang.
“Kita makan dulu, Mat. Kamu pasti lapar,” kata Pak Tarjo. “Jangan khawatir, Bapak yang traktir.”
Pak Tarjo terlihat sumringah bisa mengantar dan membelikan Rahmat sarapan dan makan siang. Pikirnya, apa dilakukannya itu bisa menebus kesalahannya, atau setidaknya mengurangi rasa bersalahnya kepada Rahmat, sehingga ia tidak perlu lagi minta maaf.
“Tambah lagi, Mat.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Rahmat, yang tanpa malu-malu menambah satu piring nasi, mengambil rendang, ayam, dan paru.