Jokowi datang, menebar pandangannya ke seantero Nusantara, terkesima, geram, lalu tak sabar ingin mengejar ketertinggalan --- serta memperbaiki kesalah-kaprahan atau kekhilafan yang telah berlangsung sejak bangsa ini merdeka --- tapi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dia seperti membabi buta, ingin membayar semua hutang-hutang itu, meski cadangan dan kemampuannya jelas tak mencukupi. Seperti telah diungkapkan pada bagian awal tadi, saat ini kondisi dan situasi global di sekitar juga tak kondusif untuk mendukungnya. Jokowi sesungguhnya hanya bergantung pada peruntungan dan nasib baik yang mudah-mudahan tetap berpihak karena ketulusan dan keikhlasan jiwa-raganya melakukan semua itu!
Bagaimanapun, tekad mulia itu harus kita syukuri dan yakini juga. Bukan seperti mitos Sangkuriang dan Tangkuban Perahu. Tapi seperti kisah pahlawan yang menggunakan senjata bambu runcing untuk mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan republik dulu.
***
Obyek Penderita
Jokowi,sebetulnya sama seperti masyarakat Indonesia umumnya, yang selama ini hanya menjadi obyek penderita. Dia memang tak ikut berperan langsung pada kebobrokan dan kekacauan yang diwariskan kekuasaan dan birokrasi masa lalu yang salah kaprah itu.
Jadi, mestinya Jokowi lebih berani dan leluasa untuk juga 'membabi-buta' membongkar, memperbaiki, memperbaharui, atau mengganti berbagai tatanan dan birokrasi lungsuran yang menghambat gerak-geriknya. Sesungguhnya, sah dan wajar saja jika dia bersikap skeptis --- seandainya curiga dianggap terlalu tendensius --- terhadap berbagai produk tata kelola bangsa dan negara yang ada. Terutama jika dirasakan cenderung mempersulit atau menghambat. Sebab, bagaimanapun, semua itu merupakan peninggalan birokrasi pemerintah dan kekuasaan yang sedikit ataupun banyak, sebelumnya dipengaruhi faham dan budaya catut-mencatut, bukan?
Jokowi juga tak perlu ragu mengajak dan mengerahkan seluruh bangsa untuk bahu-membahu memperbaiki keadaan, mengejar ketertinggalan, termasuk membayar hutang yang diwariskan. Asalkan dia tak berkompromi lagi dengan mereka yang selama ini sudah jelas dan nyata terbukti licik dan culas.
***
Kasihan APBN
Jokowi memang bermaksud baik kepada Jakarta dan sekitarnya ketika mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Sistem Kereta Api Ringan Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. BUMN Adhi Karya ditugaskan untuk membangunnya dengan anggaran yang dihitung sendiri. Setelah selesai nanti, kontraktor plat merah itu baru menyerahkan hasilnya ke Departemen Perhubungan yang akan membayarnya melalui alokasi APBN. Setali tiga uang dengan pendekatan design and build yang dikerjakan kontraktor Jepang pada proyek MRT yang didanai lewat pinjaman JICA itu.
Peraturan Presiden tersebut kemudian diperbaharui melalui Perpres nomor 65 tahun 2016 yang antara lain menambahkan ketentuan ukuran rel standar yang digunakan (1.435 mm) dan pelibatan PT Kereta indonesia sebagai penyelenggara pelayanan.