Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

MRT dan LRT, Mau Kisruh atau Komplit?

17 Maret 2017   22:45 Diperbarui: 18 Maret 2017   14:00 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibukota Jakarta

Sepanjang sejarah, selamanya Jakarta semakin runyam. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan.

Mulai dari kantong-kantong pemukiman liar-lagi-kumuh yang menebar ke segenap pelosok kota, perluasan wilayah yang tak terkendali hingga merambah halaman tetangga, sampai soal kemacetan jalan raya yang semakin menjadi-jadi. Belum lagi soal sampah, banjir, anak jalanan, premanisme, kesenjangan rezeki, hingga ketidak pedulian satu dengan yang lain.

Semua itu merupakan konsekuensi dari salah urus yang berkepanjangan. Pemerintah kotanya, tak pernah memadai dalam mengantisipasi perkembangan. Baik dalam konteks mengakomodasi kesempatan dan peluang yang tersedia — maupun mengantisipasi serbuan para pengadu nasib yang ingin merengkuhnya. Bukan hanya pendatang yang miskin, berpendidikan rendah, dan tanpa keahlian. Tapi juga mereka yang menguasai kapital, cerdik, dan culas.

Jakarta memang menawan-tapi-pengap, bergelora-walaupun-jorok, serta perkasa-meski-bau. 

Lengkap

***

Jokowi dan Ahok

Indonesia memang bukan Jakarta. Tapi hanya Jakarta-lah yang seolah-olah Indonesia. 

Segala-galanya bermula, berkembang, dan bermuara di sana. Mulai dari kekuasaan pemerintah, pusat bisnis, pengendali modal, penggerak politik, hingga penggagas mode dan gaya hidup.

Lalu, Jakarta yang selalu bersolek menutupi kekumuhannya, sekonyong-konyong ingin berbenah serius. Tak lagi mengandalkan kosmetika. Sebab penataan ulang, telah menjadi keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. 

Tapi hal itu juga sekaligus menyandera seluruh bangsa — karena menyangkut sumberdaya Nasional yang harus dikerahkan untuk menanganinya — sementara (kota dan wilayah) yang lain mulai tak sabar menunggu giliran. Sebab mereka telah terlalu lama diabaikan. Hanya dieksploitasi untuk kemewahan para induk semang yang bermukim dan berpesta di ibukota negara tersebut. 

Lalu dibalik semua kerunyaman itu — walaupun terlambat — Jakarta beruntung mendapatkan Joko Widodo. Juga Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Semula mereka memimpin berpasangan. Menerabas berbagai hambatan agar terjadi percepatan menyelesaikan berbagai soal yang telah begitu kusut. Mendobrak aneka kebuntuan.

Lalu ketika Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia, Ahok-lah yang meneruskan. Dia pun tak kalah agresif.

***

Dewi Fortuna

Kemudian Jokowi memang harus ‘terbang’ jauh lebih tinggi. Menebar pandangan ke seluruh pelosok Nusantara. Merasakan keresahan Indonesia lain yang selama ini terabaikan. Seperti ketika masih memimpin Jakarta — dalam lingkup Nasional yang lebih luas — ia pun mencanangkan berbagai hal yang sejak berpuluh tahun sebelumnya tak terperhatikan. Mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta yang kini Presiden Republik Indonesia itu bertekad membangun daerah — terutama bagian timur negeri kita — melalui pengutamaan infrastruktur dan fasilitas. Semua itu agar denyut dan gairah pertumbuhan bisa segera bergeser ke sana. 

Tapi di tengah ekonomi yang sedang lesu sekarang — untuk membiayai semua pembangunan itu — tentu kita membutuhkan anggaran yang berlipat-lipat lebih besar dari sebelumnya. Sesuatu yang sama sekali tak mudah. Pertama, karena kelesuan global. Kedua, karena sumber pendapatan Nasional merosot. Ketiga, karena organisasi pasukannya yang tidak selalu seiring-sejalan dengan gagasan-gagasan besar yang dicanangkan.

Dalam hal pendanaan, Jokowi memang tangkas menghapus subsidi bahan-bakar-minyak (BBM) dan mengalihkannya ke sana. Kebetulan atau tidak, kebijakan tersebut memang bersamaan dengan terjun bebasnya harga minyak dunia. Alih-alih subsidi, tahun lalu Pertamina malah menyumbang kocek negara karena memperoleh untung besar dari penjualan eceran ke masyarakat. Laba korporasi pelat merah itu bahkan mampu mengungguli capaian Petronas Malaysia yang memiliki asset jauh lebih besar. 

Lalu tax amnesty. 

Program pengampunan bagi para maling dan perompak bangsa yang selama ini menyembunyikan harta dan mengingkari kewajiban pajaknya. Tapi dalam hal ini, harus diakui jika kenyataannya tak semulus cita-cita yang semula diharapkan. Kurang dari sebulan menjelang batas akhir tawaran pengampunan berakhir (31 Maret 2017), kekayaan disembunyikan yang kembali ke Ibu Pertiwi (repatriasi) ternyata masih terlalu jauh dari Rp 1.000 triliun target yang dicanangkan. 

Walaupun dongeng kembalinya harta yang disumputkan di manca negara ternyata jauh panggang dari api --- sebagian malah disumbang oleh kekayaan yang berserak di dalam negeri tapi belum atau lupa dilaporkan --- jumlah tebusan yang diperoleh akhirnya menyelamatkan capaian pendapatan pajak kita. Tahun 2016 kemarin, pendapatan pajak mencapai Rp 1.105 triliun, setara dengan 81.5 % target APBN Perubahan yang berjumlah Rp 1.355 triliun. Jika tanpa tax amnesty, pencapaiannya hanya Rp 998 triliun atau 73,6 persen. Di bawah perolehan tahun 2015 yang tercatat sebesar Rp 1.055,61 triliun.

***

Musang Berbulu Domba

Masalah yang paling serius memang terletak pada kepiawaian ‘orkestra’ yang dipimpin Presiden Republik Indonesia yang paling kurus itu dalam menanggapi improvisasi dan inovasi yang ditawarkannya. Seperti musik jazz, mereka semestinya tanggap mengimbangi dengan langkah-langkah yang memadai, agar mampu mengakomodasi dan mengantisipasinya.

Sebab percepatan pembangunan yang dimaksud, tentu bukan hanya bermakna jumbo secara fisik dan biaya. Tapi juga dalam hal mental, sikap, tekad, dan kesigapan dalam menerima, menanggapi, dan melakoninya. Sebagaimana gagasan-gagasan yang dilontarkan, penyikapan anggota team yang lain tentu perlu dilengkapi dengan penguasaan wawasan yang berimbang. Juga kemampuan melakukan berbagai terobosan yang tak kalah kreatif dan inovatif. Sungguh sulit jika mereka hanya bersandar pada pakem — cara pandang maupun pendekatan — usang yang di masa sebelumnya justru telah berulang kali terbukti bermasalah. Maksudnya, soal tata kelola dan administrasi birokrasi pemerintah yang lamban, kaku, dan dirancang penuh dengan kecurigaan, tapi justru menelanjangi titik-titik lemah yang malah mengundang syahwat para bajingan untuk beramai-ramai memperkosanya itu. 

Stadion  olahraga Hambalang yang mangkrak di Bogor dan nasionalisasi kartu tanda penduduk berbasis data elektronik (e-ktp) adalah contoh bukti yang terserak. Kini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedang sibuk menyiapkan tuntutan untuk segera menyidangkan mega korupsi yang ditengarai melibatkan wakil rakyat, pejabat berwenang, dan sejumlah partikelir di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu.

***

Transportasi Massal

Kembali ke Jakarta yang mau tak mau harus selalu didahulukan Indonesia. 

Dalam hal transportasi kota, kondisinya memang telah memasuki keadaan darurat yang sangat memprihatinkan. Penyediaan angkutan umum yang mampu mengangkut penumpang secara massal tak mungkin lagi dihindari. Jika tidak, ibukota negara kita itu akan macet total dan lumpuh.

Maka setelah BRT (bus rapid transit), pembangunan MRT (mass rapid transit) dan LRT (light rail transit) pun disegerakan. Kebetulan ada rencana perhelatan Asian Games pada tahun 2018 yang akan datang. Hajatan tersebut memperkuat alasan untuk mempercepat pembangunannya. Palembang yang menjadi mitra Jakarta sebagai tuan rumah penyelenggara pesta olahraga Asia tersebut, ikut beruntung. Sebab salah satu ruas LRT juga dicanangkan pembangunannya di ibukota propinsi Sumatera Selatan itu.

Pengerjaan tahap pertama MRT yang membelah Jakarta dari stasiun Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia didanai melalui pinjaman dari Jepang sebesar 120 milyar yen. Lebih dari sepertiganya merupakan pinjaman pemerintah pusat yang kemudian dihibahkan kepada Jakarta. Sisanya merupakan pinjaman yang akan menjadi tanggung jawab pemda DKI untuk mengembalikan. Melalui PT MRT Jakarta, BUMD yang didirikan khusus untuk mewadahi proyek tersebut.

***

Incorprated

JICA (Japan International Corporation Agency) adalah lembaga asing yang sejak lama setia ‘membantu’ kita. Terutama soal membangunan infrastruktur. Bantuan yang tentunya tak gratis. Sebab sesungguhnya dibalik 'bantuan' itu selalu ada perhitungan bisnis yang kompleks tapi terukur. Mereka sudah paham, bahkan telah melakoni, konsep ‘design and build’ sejak jaman studi rekayasa masih lebih banyak menggunakan kalkulator (sekitar tahun 1980-an). Jadi sebetulnya --- hal yang dibanggakan seperti tertuang pada Laporan Manajemen di Annual Report 2015 itu --- tak ada yang istimewa dengan konsep ‘design and build’ yang digunakan PT MRT Jakarta sekarang ini. Dengan perkataan lain, justru hampir dapat dipastikan kalau pendekatan 'design and build' tersebut memang diharapkan dan diinginkan JICA. 

Jika Anda menekuni pekerjaan, memiliki pengalaman, dan mengelola data maupun informasi dengan telaten --- apa sulitnya mengerjakan desain yang baik hingga memiliki tingkat penyimpangan atau deviasi yang terukur dalam pelaksanaannya (build)?

Pendekatan ‘design and build’ yang dilakukan Jepang di zaman ‘keemasan’ Orde Baru dulu, bukan dilakukan melalui salah satu raksasa korporasi usahanya. Tapi lewat sistem gotong-royong yang dilakoni berbagai bisnis mereka yang berkepentingan di sini. Japan incorporated telah mereka praktekkan dengan rapih, tertib, dan massive. Tanpa ribut-ribut. Sementara, ketika Tanri Abeng mulai masuk pusaran politik dan jajaran kabinet di era kepemimpinan Soeharto dulu, dengan penuh gaya ia mencetuskan istilah Indonesian Incorporated. Judul keren yang hanya berhenti di ruang-ruang dialog dan seminar. Padahal jauh hari sebelumnya, Jepang malah telah langsung mempraktekkan, menguji, serta memetik hasil dan manfaatnya.

Jepang memang negara yang tak pernah pelit menawarkan hibah (grant) untuk membiayai berbagai studi di Indonesia. Kita berterima kasih. Tapi, sesungguhnya mereka yang paling bersyukur dan menikmati. Karena dari studi-studi itu ‘peta jalan’ (business road map) bagi beragam usaha bangsanya di negeri ini, terproyeksikan dengan lebih baik. Rinci, terintegrasi, dan komprehensif.  

Bukankah gelombang relokasi industri Jepang ke Jakarta dan sekitarnya, berlangsung besar-besaran setelah pembangunan berbagai infrastuktur yang sebagian didanai lewat pinjaman lunak mereka? 

Telusurilah berbagai mega proyek infrastruktur listrik, jalan, pelabuhan hingga tata ruang yang dikembangkan Indonesia sejak Orde Baru dulu. Kita memang turut memperoleh manfaat. Tapi, berbagai korporasi mereka yang kemudian berkembang di sini, juga mendapat berkah kemudahan operasionalnya.

***

Budaya Catut

Sekali lagi, kita memang layak bersyukur terhadap 'bantuan' yang diberikan.

Sebab, walaupun bumi pertiwi menyediakan kekayaan alam yang melimpah ruah, dari dulu hingga sekarang sebetulnya kita memang (tetap dan masih) miskin. Tak punya modal hampir dalam segala hal. Termasuk sumberdaya manusia yang berpengalaman dan mumpuni. Maka kerjasama memang tak (pernah) terelakkan.

Hal yang menjadi masalah adalah sikap dan prilaku birokrasi bangsa kita dulu, ketika menyikapi 'bantuan' dan 'kerjasama' yang diberikan. Alih-alih menggunakan dan memanfaatkannya untuk mengejar ketertinggalan --- mengumpulkan, mengembangkan, dan melengkapi 'modal' bagi Indonesia incorporated --- para pejabat dan penguasa waktu itu malah sibuk menguntil dan menyisihkan keuntungan bagi pribadi mereka. Walau 'kampungan' tapi begitulah kenyataannya. Soeharto bersama hampir seluruh jajaran birokrasi dan kekuasaannya, mengembangkan faham dan budaya mereka sendiri sebagai tukang catut dalam memperantarai uluran tangan Jepang dan bangsa-bangsa asing lain, untuk membantu dan bekerjasama dengan bangsa kita. 

Akibatnya tentu berkebalikan. 

Faham dan budaya catut-mencatut yang amat keliru itu, menyebabkan birokrasi dan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru sesungguhnya hanya 'membantu' dan 'bekerjasama' untuk mengeruk dan mengalihkan kekayaan yang dimiliki ibu pertiwi, bagi keuntungan dan kesejahteraan Jepang dan bangsa-bangsa lain yang semula (mungkin) tulus dan bersungguh-sungguh ingin 'membantu dan bekerjasama dengan bangsa kita'.

Jadi, ketika hutan-hutan kita sekarang telah gundul, sumur-sumur minyaknya mulai kering, dan perut buminya menganga terkoyak-koyak --- tapi Indonesia incorporated masih saja sebatas mimpi yang muluk --- tak serta-merta tudingan kesalahan dapat kita arahkan kepada bangsa-bangsa asing yang semula ingin membantu dan bekerjasama itu. 

Sebab, mereka hanya bersungguh-sungguh melakoni skenario dan rencana kerja strategis yang dikembangkan untuk kepentingan bangsanya secara utuh. Sebaliknya, kitalah yang bermain-main menyikapi uluran tangan dan kebaikan hati mereka selama ini.

***

Soal Nilai Tambah

Ketika sumberdaya alam yang bisa diobral tak lagi memadai --- sementara gaya dan kehidupan sehari-hari sudah ikut-ikutan modern seperti bangsa lain, tapi dalam beberapa prinsip dan esensi yang mendasar sesungguhnya cara pandang dan berfikirnya belum banyak bergeser dari primitifisme --- kita baru tersadar kalau telah begitu terlambat menggarap sektor-sektor yang memberikan nilai tambah. 

Contohnya sektor industri manufacture, yang memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam (serta ilmu pengetahuan dan teknologi) milik sendiri yang selama ini menyebabkan bangsa-bangsa lain selalu termehek-mehek.  Selama 10 tahun SBY berkuasa, kontribusi sektor itu terhadap perekonomian kita justru melorot tajam, dari sekitar 30 persen di awal pemerintahannya (2004) menjadi kurang dari 20 persen saat  dia mengakhiri periode kedua kepresidenannya (2014). 

Seperti ahli waris yang selama ini berfoya-foya dengan mengobral harta peninggalan orangtua, lalu baru sadar bahwa yang tersisa dan bisa dijual tak lagi mampu bertahan lama untuk menopang gaya hidup selama ini. 

Jokowi datang, menebar pandangannya ke seantero Nusantara, terkesima, geram, lalu tak sabar ingin mengejar ketertinggalan --- serta memperbaiki kesalah-kaprahan atau kekhilafan yang telah berlangsung sejak bangsa ini merdeka --- tapi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dia seperti membabi buta, ingin membayar semua hutang-hutang itu, meski cadangan dan kemampuannya jelas tak mencukupi. Seperti telah diungkapkan pada bagian awal tadi, saat ini kondisi dan situasi global di sekitar juga tak kondusif untuk mendukungnya. Jokowi sesungguhnya hanya bergantung pada peruntungan dan nasib baik yang mudah-mudahan tetap berpihak karena ketulusan dan keikhlasan jiwa-raganya melakukan semua itu!

Bagaimanapun, tekad mulia itu harus kita syukuri dan yakini juga. Bukan seperti mitos Sangkuriang dan Tangkuban Perahu. Tapi seperti kisah pahlawan yang menggunakan senjata bambu runcing untuk mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan republik dulu.

***

Obyek Penderita

Jokowi,sebetulnya sama seperti masyarakat Indonesia umumnya, yang selama ini hanya menjadi obyek penderita. Dia memang tak ikut berperan langsung pada kebobrokan dan kekacauan yang diwariskan kekuasaan dan birokrasi masa lalu yang salah kaprah itu. 

Jadi, mestinya Jokowi lebih berani dan leluasa untuk juga 'membabi-buta' membongkar, memperbaiki, memperbaharui, atau mengganti berbagai tatanan dan birokrasi lungsuran yang menghambat gerak-geriknya.  Sesungguhnya, sah dan wajar saja jika dia bersikap skeptis ---  seandainya curiga dianggap terlalu tendensius --- terhadap berbagai produk tata kelola bangsa dan negara yang ada. Terutama jika dirasakan cenderung mempersulit atau menghambat. Sebab, bagaimanapun, semua itu merupakan peninggalan birokrasi pemerintah dan kekuasaan yang sedikit ataupun banyak, sebelumnya dipengaruhi faham dan budaya catut-mencatut, bukan? 

Jokowi juga tak perlu ragu mengajak dan mengerahkan seluruh bangsa untuk bahu-membahu memperbaiki keadaan, mengejar ketertinggalan, termasuk membayar hutang yang diwariskan. Asalkan dia tak berkompromi lagi dengan mereka yang selama ini sudah jelas dan nyata terbukti licik dan culas.

***

Kasihan APBN

Jokowi memang bermaksud baik kepada Jakarta dan sekitarnya ketika mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Sistem Kereta Api Ringan Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. BUMN Adhi Karya ditugaskan untuk membangunnya dengan anggaran yang dihitung sendiri. Setelah selesai nanti, kontraktor plat merah itu baru menyerahkan hasilnya ke Departemen Perhubungan yang akan membayarnya melalui alokasi APBN. Setali tiga uang dengan pendekatan design and build yang dikerjakan kontraktor Jepang pada proyek MRT yang didanai lewat pinjaman JICA itu.

Peraturan Presiden tersebut kemudian diperbaharui melalui Perpres nomor 65 tahun 2016 yang antara lain menambahkan ketentuan ukuran rel standar yang digunakan (1.435 mm) dan pelibatan PT Kereta indonesia sebagai penyelenggara pelayanan. 

Proyek itu kini mulai kisruh. Soal pendanaan untuk membayar Adhi Karya yang telah mengerjakannya berdasarkan Peraturan Presiden.

Sri Mulyani tentu pusing mengatur kas yang semakin cekak. Jangankan untuk pengeluaran-pengeluaran baru yang sebelumnya tak pernah ada. Untuk membiayai yang rutin dan mesti saja, mantan Managing Director pada World Bank Group itu harus tunggang langgang menyiasatinya. 

Di atas telah dijabarkan bahwa penerimaan negara tahun lalu --- jika tak menyertakan hasil tax amnesty yang sesungguhnyabersifat insidentil alias cuma berlaku tahun 2016 itu --- merosot hingga 73,6 persen dari target yang dicanangkan. Artinya, tahun lalu, sejumlah pengeluaran yang semula sudah direncanakan, terpaksa dipangkas atau bahkan mungkin ditunda sama sekali. 

Lalu kini, walaupun dilandasi maksud baik Jokowi untuk mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas ibukota --- yang menjadi etalase Indonesia --- yang sudah sampai tahap sangat memprihatinkan, Menteri Keuangan yang energik dan menarik itu tentu semakin gelisah terhadap kemampuan negara untuk membiayainya. Meski tak perlu dibayar sekaligus, dan boleh dicicil beberapa tahun ke depan sekalipun. Sebab, artinya ia harus mencadangkan tambahan pada daftar pengeluaran yang sebetulnya harus dan perlu dipangkas. Sementara, gambaran terhadap tambahan pemasukan yang masih mungkin dapat digali atau diupayakan, masih terlihat suram.

Kegelisahannya tentu lebih jauh dari sekedar soal membiayai proyek yang --- karena pembahasan soal kisruh pembiayaannya belum tuntas --- beberapa pekan terakhir ini terlihat sepi aktivitas. Kemungkinan ia pun membayangkan tuntutan pembiayaan yang lain berikutnya. Sebab, seperti MRT ruas Lebak Bulus - Bundaran HI yang dibangun dengan menggunakan pinjaman 120 milyar yen sekarang, biayanya tentu masih akan membengkak agar dapat menuntaskan lintasannya hingga Kampung Bandan di utara Jakarta. Konon sat ini pemerintah DKI berseteru dengan DPRD karena adanya wacana penambahan lintasan hingga berakhir di Ancol. Selain untuk menambah pelayanan agar MRT juga memberi kemudahan warga yang ingin berekreasi di sana, alasan lain yang tak kalah menarik adalah soal lahan yang semula dirancang untuk lokasi depo di Kampung Bandan. Katanya, PT KAI sudah terlanjur terikat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga di sana.  

Pada Annual Report 2015 yang sudah dipublikasikan, kerjasama untuk membiayai desain dasar koridor MRT lainnya yang membentang dari timur ke barat disebutkan sudah ditanda-tangani. Tahap awal studi akan dilaksanakan untuk lintasan sepanjang 27 kilometer dari sekitar 87 kilometer yang direncanakan keseluruhan. Jadi untuk melengkapi proyek MRT saja, Sri Mulyani setidaknya harus memikirkan sumber pembiayaan yang berjumlah lebih dari Rp 100 triliun lagi. 

LRT yang sekarang diperkirakan menyedot anggaran Rp 25 triliun pun baru sebuah permulaan. Ke depan tentu diikuti pengembangan jaringan lain untuk melengkapi dan menyempurnakannya. 

Ibu Menteri Sri Mulyani pasti juga membayangkan 'kecemburuan' kota-kota lain di Indonesia yang ingin memiliki fasilitas transportasi publik yang sepadan agar dapat mengatasi soal kemacetan mereka. Sudah sering mengemuka keinginan walikota Ridwan Kamil mengembangkannya di Bandung, atau walikota Tri Rismaharini untuk Surabaya, Ibukota propinsi Jawa Timur yang dipimpinnya. Diperkirakan begitu pula yang segera mengemuka dari Medan, Yogyakarta, Makasar, dan banyak kota-kota lain yang saat ini sesungguhnya juga sedang mengalami masalah yang sama. Maka, tanpa strategi dan jalan keluar pemecahan yang tepat maka soal pembiayaan MRT maupun LRT yang mempengaruhi APBN itu, kemungkinan besar akan menyisakan persoalan yang semakin membuat runyam negara yang sedang heboh karena salah urus berkepanjangan sebelumnya ini.

***

Lingkaran Setan

Kemarin telah diberitakan bahwa Presiden Jokowi akan menanda-tangani Peraturan Presiden untuk skema pembiayaan LRT yang baru, hari Jumat ini (17-3-2017). Menurut Luhut Binsar Panjaitan, skema tersebut telah diketahui dan disetujui Sri Mulyani. 

Skema baru tersebut tentu diharapkan semua pihak sebagai kebijakan yang sungguh-sungguh inovatif dan kreatif. Bukan yang berputat-putar di lingkaran yang sama dan berujung pada sekedar upaya rekayasa untuk memanfaatkan sumber-sumber pendapatan konvensional APBN yang sekarang. Misalnya seperti melalui Penempatan Modal Negara (PMN) pada korporasi plat merah seperti Adhi Karya. Atau penjualan obligasi yang diserap melalui pundi-pundi kekayaan lembaga negara lain (misalnya BPJS) yang sesungguhnya tak memiliki sumber pendapatan baru sehingga memiliki keleluasaan cash-flow untuk ditempatkan di sana. 

Sementara pembiayaan melalui sindikasi bank-pun pasti berujung pada evaluasi mereka terhadap kepastian sanggup atau tidaknya peminjam mengembalikan pokok dan membayar biaya bunganya. Di sana akan berujung lagi pada perdebatan yang tak habis-habisnya antara penjualan yang mampu digalang operator --- dari volume penumpang dikalikan tarif yang akan ditetapkan plus pendapatan lain-lain seperti nilai tambah dari bisnis properti yang dibangkitkan --- dan ketersediaan jaminan jika perkiraan yang dilakukan meleset. Pada bagian ini biasanya akan berujung pada 'kemurah-hatian' Menteri Keuangan untuk mengutak-atik APBN-nya lagi.

Sekali lagi, mari kita memanjatkan doa dan sungguh-sungguh berharap agar Keputusan Presiden yang katanya akan ditanda-tangani itu, akan berisi kebijakan cerdik dan cerdas sebagai pamungkas soal pembiayaan proyek LRT yang sekarang sedang terhenti.

***

Sahabat APBN

Seandainya berharap masih diperkenankan, seperti yang disinggung sebelumnya di atas, Jokowi sebaiknya tak hanya 'membabi-buta' dalam hal mengejar pembangunan infrastruktur yang tertinggal di seantero Nusantara. Tapi juga dalam hal membongkar tatanan birokrasi dan kekuasaan yang melandasi dan sekaligus memagari gerak-geriknya hari ini. Juga dalam hal pelibatan seluruh bangsa --- terutama yang sebetulnya sama-sama menjadi korban atau obyek penderita pemerintahan sebelumnya yang salah urus, seperti yang juga dialami dirinya sebelum duduk di kekuasaan --- untuk bergotong-royong menyelesaikan masalah. 

Sebab Jokowi sesungguhnya masih berada pada lingkaran kami yang selama ini tertindas dan terabaikan.

***

Gotong-Royong

Pertama, mulailah dengan menggalang gotong-royong untuk menyelesaikan permasalahan transportasi sehari-hari di perkotaan. Persoalan yang sekarang memang terlanjur kusut sehingga sulit diselesaikan dengan konsep 'alon-alon asal kelakon'. Sebab di tengah masyarakat bersemayam 'kemarahan' yang telah tersembunyi lama. Gara-gara diabaikan tapi harus menerima keadaannya. Jika ditanya, hari ini mereka sesungguhnya tidak bahagia karena harus memiliki dan menggunakan sepeda motor, lalu berebut ruang dengan kendaraan lain di jalan raya. Bagaimana mungkin mereka tak mengerti resiko yang harus ditanggung buah hatinya  --- yang terpaksa diangkut dengan sepeda motor beramai-ramai untuk berpergian --- agar mampu menyiasati ketiadaan layanan angkutan umum ataupun biayanya yang mahal?

Keterpaksaan untuk menerima keadaan itulah yang menjadi salah satu penjelasan mengapa jumlah sepeda motor di republik ini hampir 5 kali volume mobil pribadi. Menempuh perjalanan berpuluh kilometer setiap hari, ditengah pengapnya asap kendaraan, pada lintasan yang tak pernah disediakan khusus tapi harus berebut dengan moda lain, sambil berjaga agar terhindari dari resiko kecelakaan, tentu bukan pilihan yang asyik lagi menggembirakan.

Jadi, menyediakan angkutan umum massal menggunakan MRT, LRT, BRT, atau jenis lainnya yang tersedia dan sesuai, adalah keniscayaan. 

Jika demikian, mengapa Jokowi sungkan mengajak segenap komponen bangsa --- terutama yang tinggal dan beraktivitas di perkotaan --- untuk bersama-sama menanggulanginya? 

Ajukanlah usul Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik (BPTP) yang wajib ditanggung setiap warga terlepas mereka menggunakannya atau tidak. Pertama kali mungkin diterapkan di wilayah-wilayah perkotaan yang kebutuhannya sudah mendesak, seperti Metropolitan Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan seterusnya. Bagi warga yang tergolong tidak mampu, kewajiban itu menjadi tanggung jawab negara (pemerintah).

Maka dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah kota akan mempunyai sumber pendapatan baru yang dapat dialokasikan khusus untuk membiayai pengembangan dan pelayanan sistem angkutan umum massal yang dibutuhkan.

Berbagai kebijakan turunan yang terkait tentu perlu dipertimbangkan, termasuk meniadakan sepenuhnya subsidi atas bbm, pajak kendaraan, hingga kewajiban pengusaha atau pemberi kerja untuk memasukkan Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik sebagai salah satu komponen fasilitas yang wajib disediakan, seperti BPJS.

***

Eligible

Kedua, berhentilah untuk bersikap sebagai orangtua dari suatu keluarga besar yang seluruh kebutuhan anak-cucu menjadi tanggung jawabnya. Meskipun mereka telah dewasa dan selayaknya berdiri di atas kemampuan diri sendiri.

Hari ini, sebagian besar pendapatan negara kita mengandalkan berbagai pajak yang dikumpulkan dari aktivitas ekonomi masyarakat. Kita semua memahami jumlah wajib pajak yang terdaftar dan tertib menunaikan kewajibannya sangat sedikit. Hampir seluruh upaya --- kecuali sebagian kecil yang wewenang dan manfaatnya telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) maupun biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) --- diserahkan di pundak jajaran Direktorat Pajak yang kantornya tersebar di seluruh tanah air. Tanpa dukungan dan kerjasama yang cerdas, inovatif, dan kreatif dari pihak lain yang semestinya turut berkepentingan, institusi yang menjadi bagian Departemen Keuangan itu selamanya akan kesulitan untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. 

Jokowi mungkin perlu mempertimbangan kebijakan yang menawarkan kerjasama dengan daerah untuk sama-sama menggalang perolehan pajak dari masyarakat dan aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah masing-masing. 

Saat ini, kebijakan (undang-undang) yang manaungi masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah --- termasuk kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah --- memang belum memasukkan perolehan beberapa jenis pajak yang menjadi penyumbang terbesar, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagai salah satu komponen bagi hasil. Pembagian rezeki antara Pusat dan Daerah baru dibatasi pada hal-hal yang berasal dari eksploitasi  kekayaan alam yang dimiliki. Padahal, sumber utama yang menggerakkan suatu kemajuan adalah aktivitas yang membangkitkan nilai tambah, baik yang berbentuk produksi (manufacturing) maupun jasa pelayanan (services). Di sisi lain, daerah-daerah yang tidak menguasai sumberdaya alam seperti Jakarta dan wilayah perkotaan lain umumnya, tentu tidak memiliki potensi pemasukan yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan aktivitas di daerahnya.

Bagaimana jika Jokowi mengusulkan kebijakan membagi hasil komponen-komponen pajak utama tersebut dengan pemerintah daerah? Katakanlah sebagian --- misalnya 30% dari ketentuan PPh Badan yang sekarang besarannya 25% dari Laba Bersih ---dialokasikan sebagai hak daerah. Tentunya disertai dengan kewajiban untuk mengawasi dan mengumpulkan. Dengan demikian Departemen Keuangan (qq Dirjen Pajak) bisa lebih fokus mengembangkan sisi kebijakan dan prosedur operasional, serta pengawasannya. 

Instrumen tersebut akan memungkinkan Pemerintah Daerah bergiat untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi di wilayah masing-masing. Pelayanan juga akan membaik karena berkorelasi langsung dengan sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pelayanan dan pembangunan. Bahkan mereka dapat mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk menggunakan haknya sebagai instrumen insentif maupun berbagai terobosan menarik lain agar kegiatan usaha dan ekonomi di daerahnya bergairah.

Kebijakan mendasar ini, sebagaimana usul Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik di atas, tentu perlu diikuti dengan berbagai hal yang berkaitan lainnya. Tapi dengan 2 terobosan kebijakan pokok tersebut --- baik yang menyangkut Biaya Penyelenggaraan Transportasi Publik yang dikenakan kepada warga, maupun menyangkut bagi hasil atas pendapatan yang bersumber dari pajak yang selama ini dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat --- setidaknya akan membantu memberikan gambaran yang lebih dinamis sekaligus menarik bagi Menteri Keuangan untuk lebih leluasa mengelola APBN-nya. Langkah-langkah terobosan yang dilakukan Jokowi untuk mengejar ketertinggalan ataupun mendistribusikan keadilan bagi seluruh Indonesia, tak lagi selamanya bergantung kemampuan APBN semata. Bahkan secara agregat, penerimaan Nasional sangat mungkin tumbuh dan berkembang jauh berlipat dibanding sekarang.

***

Transformasi Indonesia

Memperbaiki, membenahi, dan membangun Indonesia hari ini memang tak cukup dengan niat baik, kesungguhan kerja, dan kejujuran yang tulus. Tapi juga harus disertai dengan tekad, upaya, dan pemikiran yang cerdas, cerdik, inovatif, sekaligus kreatif untuk membongkar berbagai kebuntuan. Di atas semua itu, perlu nekad dan keberanian yang terukur pula. 

Hanya dengan memenuhi berbagai prasyarat itu, transformasi Indonesia menjadi bangsa unggul dan pemenang dapat kita harapkan. Revolusi mental pun tak akan lagi berhenti pada tataran istilah dan wacana semata. Sebaliknya akan larut di dalamnya.

Bandung, 17 Maret 2017
Jilal Mardhani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun