Sebab, walaupun bumi pertiwi menyediakan kekayaan alam yang melimpah ruah, dari dulu hingga sekarang sebetulnya kita memang (tetap dan masih) miskin. Tak punya modal hampir dalam segala hal. Termasuk sumberdaya manusia yang berpengalaman dan mumpuni. Maka kerjasama memang tak (pernah) terelakkan.
Hal yang menjadi masalah adalah sikap dan prilaku birokrasi bangsa kita dulu, ketika menyikapi 'bantuan' dan 'kerjasama' yang diberikan. Alih-alih menggunakan dan memanfaatkannya untuk mengejar ketertinggalan --- mengumpulkan, mengembangkan, dan melengkapi 'modal' bagi Indonesia incorporated --- para pejabat dan penguasa waktu itu malah sibuk menguntil dan menyisihkan keuntungan bagi pribadi mereka. Walau 'kampungan' tapi begitulah kenyataannya. Soeharto bersama hampir seluruh jajaran birokrasi dan kekuasaannya, mengembangkan faham dan budaya mereka sendiri sebagai tukang catut dalam memperantarai uluran tangan Jepang dan bangsa-bangsa asing lain, untuk membantu dan bekerjasama dengan bangsa kita.
Akibatnya tentu berkebalikan.
Faham dan budaya catut-mencatut yang amat keliru itu, menyebabkan birokrasi dan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru sesungguhnya hanya 'membantu' dan 'bekerjasama' untuk mengeruk dan mengalihkan kekayaan yang dimiliki ibu pertiwi, bagi keuntungan dan kesejahteraan Jepang dan bangsa-bangsa lain yang semula (mungkin) tulus dan bersungguh-sungguh ingin 'membantu dan bekerjasama dengan bangsa kita'.
Jadi, ketika hutan-hutan kita sekarang telah gundul, sumur-sumur minyaknya mulai kering, dan perut buminya menganga terkoyak-koyak --- tapi Indonesia incorporated masih saja sebatas mimpi yang muluk --- tak serta-merta tudingan kesalahan dapat kita arahkan kepada bangsa-bangsa asing yang semula ingin membantu dan bekerjasama itu.
Sebab, mereka hanya bersungguh-sungguh melakoni skenario dan rencana kerja strategis yang dikembangkan untuk kepentingan bangsanya secara utuh. Sebaliknya, kitalah yang bermain-main menyikapi uluran tangan dan kebaikan hati mereka selama ini.
***
Soal Nilai Tambah
Ketika sumberdaya alam yang bisa diobral tak lagi memadai --- sementara gaya dan kehidupan sehari-hari sudah ikut-ikutan modern seperti bangsa lain, tapi dalam beberapa prinsip dan esensi yang mendasar sesungguhnya cara pandang dan berfikirnya belum banyak bergeser dari primitifisme --- kita baru tersadar kalau telah begitu terlambat menggarap sektor-sektor yang memberikan nilai tambah.
Contohnya sektor industri manufacture, yang memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam (serta ilmu pengetahuan dan teknologi) milik sendiri yang selama ini menyebabkan bangsa-bangsa lain selalu termehek-mehek. Selama 10 tahun SBY berkuasa, kontribusi sektor itu terhadap perekonomian kita justru melorot tajam, dari sekitar 30 persen di awal pemerintahannya (2004) menjadi kurang dari 20 persen saat dia mengakhiri periode kedua kepresidenannya (2014).
Seperti ahli waris yang selama ini berfoya-foya dengan mengobral harta peninggalan orangtua, lalu baru sadar bahwa yang tersisa dan bisa dijual tak lagi mampu bertahan lama untuk menopang gaya hidup selama ini.