Penanganan terhadap pejalan kaki adalah contoh yang paling konkrit. Mencari ruas jalan yang menyediakan prasana yang aman, nyaman, dan memudahkan sepanjang 1 kilometer saja rasanya tidak memungkinkan hampir di setiap kota besar Indonesia. Apalagi kota-kota yang lebih kecil lainnya. Padahal, seyogyanya ketersediaan prasarana aman-nyaman-mudah yang menerus bagi pejalan kaki dari ujung kota yang satu ke ujung kota yang lain sesungguhnya adalah sebuah keharusan. Kelalaian itu kemudian mendorong lahir dan berkembangnya prilaku masyarakat yang sangat tergantung pada peran serta kendaraan. Bahkan hanya untuk membeli sesuatu di toko yang hanya terletak beberapa ratus meter dari rumahnya saja. masyarakat akhirnya terbiasa menggunakan kendaraan. Sebab berjalan kaki bukan pilihan karena prasarana idealnya hampir tidak tersedia dan justru lebih berisiko menjadi korban kecelakaan lalu-lintas. Hilangnya kebiasaan dan budaya jalan kaki ini sesungguhnya menggerus nilai-nilai luhur yang pernah kita banggakan sebelumnya, seperti rukun tetangga, gotong-royong, dan kepedulian sosial lainnya. Hal tersebut karena hilangnya peluang interaksi sosial yang dimungkinkan dari aktivitas berjalan kaki.
Ketidak mampuan pemerintah menyelenggarakan pelayanan angkutan umum publik pada akhirnya menghadirkan pelaku-pelaku partikelir mengisi kekosongannya. Celakanya, hampir semua instansi pemerintah yang berkepentingan terkesan berpangku tangan. Sebagian besar kekacauan lalu-lintas jalan raya hari ini disebabkan oleh prilaku dan etika pengemudi angkutan umum yang untung-rugi usaha pengoperasian layanan angkutan yang dilakoninya sepenuhnya bergantung dari jumlah penumpang yang dapat dilayani. Akibatnya, mereka berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, menunggu penumpang di tempat-tempat yang mengundang kemacetan, bersaing memperebutkan penumpang dengan armada lain, dan seterusnya.
Pelayanan angkutan umum yang buruk menyebabkan setiap anggota masyarakat bercita-cita memiliki kendaraan pribadi masing-masing. Setidaknya sepeda motor jika memiliki mobil masih belum dimungkinkan. Lalu peningkatan kesejateraan ekonomi yang terjadi salah satunya dimanfaatkan untuk membeli kendaraan itu. Hal yang dimudahkan ketika sistem pembiayaan komersial mikro berkembang semakin memudahkan. Tidak mengherankan jika jumah sepeda motor yang ada ditengah masyarakat hari ini telah hampir menyamai jumlah kepala keluarga di kota-kota kita.
SEPEDA MOTOR
Masalahnya, fenomena lonjakan kendaraan sepeda motor yang memenuhi jalan-jalan kota dan desa Indonesia itupun tak pernah diantisipasi memadai. Alasan utama lonjakan kehadirannya adalah karena ketidak berdayaan negara menyediakan fasiltas publik yang memadai. Meskipun bahaya mengendarai sepeda motor secara tak lazim - seperti membonceng anak-anak di bawah umur tanpa pengamanan memadai, membawa anggota keluarganya yang lebih dari 1 orang, dan sebagainya - banyak masyarakat yang seperti mengabaikannya.
Jika negara tak mampu menyelenggarakan tanggung-jawabnya terhadap angkutan umum yang memadai - meskipun untuk sementara waktu - ia semestinya memberikan penanganan layanan khusus terhadap kendaraan sepeda motor yang tumbuh pesat itu. Setidaknya dengan mengelola ruang-ruang jalan raya hingga mereka memiliki lintasan tersendiri yang aman, nyaman, dan memudahkan. Hingga hari ini, tak satupun upaya sungguh-sungguh yang ditunjukkan. Padahal, jumlah sepeda motor yang lalu lalang di sebagian besar ruas jalan pada jam-jam tertentu jauh lebih banyak dari kendaraan roda empat atau lebih. Jalan-jalan raya masih dan tetap dirancang khusus untuk kendaraan roda empat atau lebih. Hal ini terlihar dari pembagian lajur-lajurnya. Akibatnya, sepeda motor seperti anak haram yang kehadirannya tak pernah diharapkan. Tapi karena ia harus bertahan hidup maka ia mencari jalannya sendiri. Menyerobot ruang-ruang kosong tersisa pada lintasan yang tak pernah dirancang untuknya. Hal yang pada giliran berikutnya justru menghadirkan kekacauan yang semakin menjadi di jalan-jalan kita hari ini.
Kelincahan, kehandalan, dan kemudahan yang ditawarkan moda roda dua ini, bersinergi dengan kemajuan teknologi informasi digital khususnya di bidang aplikasi, menghadirkan gagasan inovatif untuk mengelola usaha informal perorangan di bidang angkutan umum komersial yang sebelumnya banyak dilakoni sebagian masyarakat secara sporadis. Dengan sentuhan managemen modern kehadiran mereka terorkestrasi jauh lebih baik bahkan dengan pelayanan yang lebih luas melalui layanan aplikasi. Kini ojek - sebutan layanan angkutan umum komersial yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua itu - tak hanya untuk mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi juga mencakup jasa kurir dan asisten berbagai keperluan pribadi konsumennya.
Dan negara yang selama ini tak pernah menggubrisnya tiba-tiba blingsatan tak tentu arah ketika pengusaha ojek konvensional melakukan protes atas kehadiran saingannya yang menggunakan aplikasi. Hal yang walaupun tak sebangun tapi hampir sama terjadi pada pertikaian taksi konvensional dengan yang berbasis teknologi aplikasi hari ini.
Dua kericuhan fenomenal yang terjadi pada industri layanan taksi dan ojek yang informal itu sesungguhnya lonceng yang amat nyaring bagi negara untuk segera membenahi undang-undang yang terkait dengan lalu-lintas dan angkutan jalan. Atau mungkin dapat lebih luas lagi mencakup aspek pengangkutan darat yang merupakan ibu dari semua sistem pengangkutan yang ada. Kekacauan soal kehadiran negara dan dasar hukum yang menaunginya itu juga telah menyebabkan banyak kericuhan yang tak perlu (collateral damage) yang lain. Contohnya seperti kejengkelan Ridwan Kamil, Walikota Bandung, yang dikabarkan melakukan kekerasan fisik kepada supir angkot (omprengan) yang berhenti sembarangan sehingga menyebabkan kekacauan lalu-lintas saat kebetulan ia melintas di sana. Belum lagi berbagai tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat akibat ulah angkutan umum yang ugal-ugalan dan menjengkelkan di jalan raya sebagaimana kerap diberitakan berbagai media.
Presiden selaku Kepala Negara dan Pemimpin Tertinggi Pemerintah Republik Indonesia adalah pihak yang harus bertanggung jawab sepenuhnya. Bahwa pemimpin-pemimpin sebelumnya telah lalai melakukan tugas dan tanggung jawab mereka dalam bidang lalu-lintas dan angkutan jalan yang sangat penting ini, adalah hal yang terpisah. Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo harus melakukan langkah revolusioner untuk mereformasi sistem pengangkutan darat di republik kita yang tercinta ini. Betapapun beratnya, karena hampir di semua lini ia harus berhadapan pada berbagai masalah yang kompleks dan amburadul, kodrat itu harus diterima dan dilakoninya.
Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo tentu tak bekerja sendiri. Selain adanya Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia juga dibantu orang-orang pilihan yang telah ditunjuknya sebagai Menteri-menteri kabinetnya. Soal lalu-lintas dan angkutan jalan ini, ia telah menunjuk Ignatius Jonan sebagai Mentri Perhubungan. Jonan yang telah malang melintang lama di dunia perbankan internasional sangat memahami pentingnya peran kebijakan dan prosedur baku yang memandu sekaligus menjadi acuan pelaksanaan corporate governance. Maka semestinya dialah yang paling tanggap terhadap kekeliruan dan amburadulnya undang-undang 22/2009 yang diwariskan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Berinisiatif lah bung! Sebagai pembantu Presiden di bidang yang terkait maka hal tersebut adalah ranah tanggung jawabmu. Lalu bicara dan berembuglah dengan para wakil rakyat yang duduk di DPR.
Hal yang disayangkan jika bung Jonan ngotot berkelit dibalik undang-undang yang jelas sudah ketinggalan dan tak sesuai dengan keadaan zaman itu. Juga yang terkait dengan rekan sejawat Anda yang lain, seperti Kemeninfo, BKPM, Perpajakan, Tenaga Kerja, dan seterusnya.