***
Sebagian masyarakat selalu ada yang menginginkan pelayanan yang lebih baik, khusus, dan istimewa dibandingkan dengan apa yang telah disediakan angkutan (umum) publik sesuai standar pelayanan yang ditetapkan. Kebutuhan dan permintaan terhadap hal yang demikian tentunya diluar tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepada pemerintah (negara). Bagi kalangan pengusaha, kemungkinan-kemungkinan seperti itu selalu diterjemahkan sebagai peluang. Dengan demikian maka semestinya undang-undang dapat mengatur agar pelayanan angkutan (umum) komersial dimungkinkan dimana model usaha pelayanannya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam hal ini pemerintah (negara) juga dibebaskan dari kewajiban untuk menanggung atau mensubsidi biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan itu. Kalangan pengusaha perorangan maupun berbadan hukum yang ingin menggarap peluang usaha layanan tersebut tentu dapat diperlakukan sebagaimana pengusaha komersial di bidang lainnya.
Undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan justru tak pernah mendefinisikan secara tegas hal demikian. Oleh karena itu, dalam hal-hal tertentu pasal demi pasal pada akhirnya menyajikan standar ganda yang kadang saling bertentangan. Salah satu contohnya adalah dalam hal tanggung jawab menyelenggarakan angkutan umum. Jika pasal 138 dan 139 menjelaskan tentang kewajiban pemerintah (negara) menyelenggarakannya maka di bagian lain, seperti pada pasal 173 hingga 185, undang-undang itu seolah menggambarkan angkutan umum sebagai bidang usaha komersial dari jasa pelayanan yang kesehatan persaingannya perlu dikelola dan dipelihara oleh negara.
Semua itu merupakan akibat dari kerancuan rancang-bangun mendasar dan substansial yang digunakan ketika undang-undang itu disusun. Akibat dari perumusan yang keliru tentang konsep dasar pelayanan negara sehingga undang-undang itu diperlukan sebagaimana yang diutarakan pada bagian awal tulisan ini, banyak hal yang dijelaskan didalamnya tidak dirumuskan secara tegas dan jernih. Selain soal pendefinisian angkutan (umum) publik dan komersial tadi, hal tersebut juga dapat terlihat ketika menguraikan cita-citanya untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu untuk menghubungkan semua wilayah di daratan (pasal 14). Hal yang sesungguhnya mustahil dan tak mungkin direalisasikan hingga dunia ini kiamat sekalipun. Begitu pula tentang Dana Preservasi Jalan yang dituangkan hampir tanpa makna konkrit pada pasal 29 hingga 32. Celakanya pada bagian penjelasan ke empat pasal tersebut dinyatakan sebagai ‘cukup jelas’. Dan tentu masih banyak lagi yang tak perlu diuraikan satu per satu disini.
***
Kita kembali pada kejelasan konsepsi tanggung jawab penyelenggaraan pemerintah dalam hal angkutan umum, serta ketegasan pendefinisiannya terhadap bentuk pelayanan publik atau komersial. Inilah sesungguhnya dasar utama kerancuan pemerintah untuk menyikapi kehebohan yang terjadi akhir-akhir ini akibat berkembangkan layanan angkutan (umum) komersial berbasis teknologi aplikasi.
Taksi konvensional yang hari ini menyatakan keberatan terhadap kehadiran saingannya yang berbasis teknologi aplikasi berlindung dari berbagai aturan naif yang diturunkan dari undang-undang yang amburadul itu. Misalnya seperti keharusan penggunaan badan usaha, SIM Umum yang harus dimiliki pengemudi, ketetapan tarif, penyediaan pool kendaraan, uji kelaikan, dan seterusnya. Semua aturan-aturan tersebut sesungguhnya sudah harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman atau bahkan tak relevan lagi. Sementara itu, kedua bisnis taksi tersebut - konvensional maupun berbasis teknologi aplikasi - sesungguhnya berada di ranah komersial yang memang menuntut inovasi dan upaya terus-menerus untuk mempertahankan kelanggengan usahanya. Sudah menjadi kelaziman universal dalam dunia usaha tentang siklus abadi yang selalu mengintainya. Mereka yang tidak tanggap untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman, cepat atau lambat, akan tergilas oleh persaingan pasar.
DARURAT TRANSPORTASI
Tapi pada kenyataan yang kita hadapi di Indonesia yang tercinta ini, negara memang lalai dan belum pernah bersungguh-sungguh hadir dalam dunia lalu-lintas dan angkutan jalan. Ia tak berdaya terhadap hal yang menjadi tanggung-jawab dan kewajibannya. Pun tak pernah terlihat kesungguhan membenahi dan memperbaikinya. Apa yang disaksikan maupun dirasakan melalui pengalaman sehari-hari adalah aneka pembiaran yang semakin meluas.