Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

16 Tahun GRANAT - Mempertimbangkan Strategi Putar Haluan

1 November 2015   00:31 Diperbarui: 1 November 2015   10:54 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ancaman Nasional yang Membutuhkan Bela Negara. Sumber archive.constantcontact.com/"][/caption]

28 Oktober 2015 kemarin tak hanya untuk memperingati 87 tahun pencanangan Sumpah Pemuda. Tapi juga Gerakan Nasional Anti Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (GRANAT) yang resmi berdiri 16 tahun yang lalu. Beberapa saat setelah Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya di tengah jalan, berkumpullah 14 anggota masyarakat yang resah menyaksikan perkembangan pesat peredaran gelap dan penyalah gunaan narkoba. Mereka sepakat mendirikan lembaga yang non-partisan.

Sejak awal, organisasi nirlaba yang membiayai seluruh kegiatannya secara swadaya itu, mendapat simpati luas dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam waktu singkat perwakilannya di daerah-daerah berdiri sehingga kini telah hadir di (hampir) seluruh propinsi yang ada di Indonesia.

Untuk gerakan sejenis, GRANAT adalah yang pertama di Indonesia. Bahkan jauh sebelum organisasi yang dimiliki dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, Badan Narkotika Nasional (BNN), berdiri.

Garis yang tegas bahkan keras terhadap wujud dan prilaku apapun yang berkait dengan penyalah- gunaan maupun peredaran gelap narkoba telah disuarakannya dengan lantang di ujung pemerintahan Presiden BJ Habibie yang sementara dan singkat itu (1998-1999). Berlanjut pada kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid - Megawati Soekarnoputri (1999 - 2001) yang ditengah jalan berganti dengan Megawati Soekarnoputri - Hamzah Haz (2001-2004). Lalu selama 2 musim perioda berikutnya, yaitu Susilo Bambang Yudoyono - Jusuf Kalla (2004-2009) maupun Soesilo Bambang Yudhoyono - Boedino (2009-2014).

Kini, di era pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mulai memimpin sejak 2014 lalu, ia masih berdiri tegar. Tetap mengejar mimpinya terhadap Indonesia yang bersih dari narkoba. Karena cita-cita memang harus digantung setinggi langit. Betapapun muskilnya. Walau 2 diantara 14 pendirinya telah dipanggil Sang Khalik : Dr. Sudirman SpKJ (2011) dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH (2015).

 

***

 

Sesungguhnya, candu hadir di tengah kehidupan hampir seumur peradaban manusia yang mengisinya. Semula ditemukan tak sengaja sebagai buah interaksi dengan alam sekitar. Demikianlah yang dialami suku asli Indian di daratan Amerika yang mengonsumsi daun koka. Begitu pula yang dilakukan budak-budak Afrika yang didatangkan ke sana. Mereka membawa mariyuana lalu digunakan saat istirahat malam hari setelah lelah bekerja seharian. Di sebagian wilayah Indonesia seperti tumbuhan itu semula justru merupakan bahan penyedap makanan (Dhira Narayana, Irwan M. Syarif, dan Ronald C.M., ‘Hikayat Pohon Ganja - 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia’, Gramedia, 2011).

Penyalah-gunaan kegunaan tumbuhan itu kemudian hari berkembang menjadi sebuah ketagihan yang tak hanya merusak kesehatan hingga merenggut nyawa. Tapi juga prilaku, tatanan sosial, dan budaya hidup masyarakat.

Efek memabukkan dan kenikmatan sesaat yang semu, secara tak sengaja, ditemukan pula oleh segelintir masyarakat pada obat-obatan tertentu. Sebetulnya tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menciptakannya adalah untuk membantu pengobatan penyakit. Tapi kemudian penyalah-gunaan obat-obatan itu justru banyak digandrungi. Lalu meluas dengan amat cepat. Dan kita selalu terlambat menyusun dan menyepakati aturan keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari. Acap terjadi, dampak buruk yang tak pernah diinginkan justru terlanjur meluas.

Fenomena paling dahsyat berlangsung di awal tahun 1990-an. Obat-obatan yang mengandung unsur kimia amphetamine (https://en.wikipedia.org/wiki/Amphetamine) - lazim disebut ecstassy - memasuki pasar pergaulan masyarakat menengah ke atas kota-kota besar Indonesia. Obat-obatan yang sesungguhnya dirancang untuk diresepkan kepada pasien-pasien yang mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), narcolepsy, dan obesity itu lalu banyak dikonsumsi bebas untuk menyemarakkan pesta-pesta yang diselenggarakan semalam suntuk bahkan hingga siang hari keesokannya. Ketika itu legalitas peredaran dan penggunakannya masih diperdebatkan. Tak ada aturan tegas yang mengharamkannya. Banyak yang tak menyadari - ditengah perdebatan perlu dan tidaknya mengatur legalisasi peredaran obat-obatan itu - pintu masuk bagi jenis narkotika dan obat- obatan terlarang lain yang jauh berbahaya dan lebih mematikan justru terbuka lebar. Karena semua kenikmatan semu yang diberikannya tak lagi asing. Hanya soal jenis dan bentuk bakunya yang berbeda. Juga tingkat kecanduan dan daya rusaknya.

Lalu di pertengahan tahun 1990-an Indonesia dihebohkan dengan berita kematian seorang pemuda bernama Aldi (Rivaldi Sukarno) di rumah artis Ria Irawan yang diduga mengkonsumsi narkotika secara berlebih (link terkait). Kehebohan demi kehebohan lain yang bertaut dengan penyalah gunaan maupun peredaran gelap narkoba kemudian silih-berganti menghias media cetak maupun elektronik. Mula-mula menimpa artis-artis kondang. Kemudian melebar ke lapisan masyarakat lain. Termasuk pejabat pemerintahan dan anggota keluarganya. Bahkan kerabat almarhum Presiden Soeharto (lihat link).

 

***

 

Saat ini mungkin tak perlu lagi mengulas jumlah korban yang masih terus berjatuhan akibat peredaran gelap dan penyalah-gunaan narkoba. Juga tentang tokoh-tokoh masyarakat yang tersangkut. Demikian sering dan banyaknya pemberitaan yang melibatkan oknum kekuasaan di lingkungan sipil maupun militer, bahkan mereka yang berada di wilayah penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman). Apalagi dari kalangan tokoh-tokoh terpandang di tengah masyarakat, seperti komunitas artis, pemuka agama, eksekutif perusahaan, kalangan profesional yang berpendidikan, hingga dosen perguruan tinggi dan guru sekolah. Sedemikian banyak jumlah dan ragam pemberitaan menyangkut hal itu hingga sering tak lagi mengejutkan. Bahkan tak cukup mampu menarik perhatian masyarakat luas. Mungkin mereka telah muak, juga tak acuh.

Secara jumlah, pengedar maupun pengguna, boleh disimpulkan tak mengalami penurunan. Bahkan, walau tak ada data sahih yang mendukung, menilik perkembangan kasusnya dari hari ke hari, jumlahnya sangat mungkin terus meningkat. Jika sebelumnya banyak menelan korban dari kalangan berpunya maka kini paparannya semakin merata terdistribusi di semua lapisan. Dalam hal kualitas justru semakin parah. Setelah berbelas tahun berbagai pihak tak pernah berhenti mengutuk, sungguh aneh dan sangat mengecewakan ketika kita menemukan kenyataan seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat yang berpangkat Letnan Kolonel tertangkap petugas polisi dengan dugaan sebagai bagian dari jaringan pengedar beberapa hari yang lalu (http://m.okezone.com/read/ 2015/10/26/338/1238170/terlibat-narkoba-bnn-amankan-perwira-tni). Seakan melengkapi kabar yang tersia beberapa minggu sebelumnya : salah seorang penyidik BNN tertangkap dan diduga sebagai bagian dari jaringan pengedar.

 

***

 

Penyalah-gunaan narkoba tak pernah dilakukan terang-terangan bahkan diantara sesama pemakainya sekalipun. Kecuali satu dengan yang lain telah saling memaklumi.

Mereka selalu berupaya bersembunyi dengan rapih sehingga kehadirannya di tengah kehidupan sehari-hari acap tak disadari. Layaknya jaringan organisasi terorisme bawah tanah : kemunculannya sering mengejutkan sekaligus menakutkan!

Hampir semua keluarga yang mengalami musibah narkoba tak pernah mengira - dan tentu saja tak pernah berharap - jika salah satu anggotanya terlibat. Perisitiwanya seperti bom yang meledak di tengah keramaian. Tak disangka-sangka dan meminta banyak korban yang tak bersalah. Keceriaan seketika terenggut. Berganti dengan cemas. Bingung. Malu. Marah. Lalu putus asa terasa begitu dekat.

Sebagaimana terorisme, pemicu utama hingga seorang manusia terjerumus menggunakan narkoba sesungguhnya sebangun. Pengikut gerakan terorisme selalu diawali dengan fanatiisme yang berlebihan terhadap hal yang diyakini sehingga melahirkan sikap yang radikal. Sementara di kalangan pengguna narkoba argumentasi yang terpopuler kurang-lebih seperti berikut ini :

- bahwa dia merasa tak seberuntung yang lain

- bahwa puncak kenikmatan hanya bisa teraih disana

- bahwa keberadaannya baru diakui jika dia turut berpartisipasi menggunakan

- bahwa dia hanya mampu bersembunyi atau melupakan (sesaat) kesulitan yang dihadapi jika berada di bawah pengaruhnya

- bahwa mereka yang dikaguminya terlihat tak bermasalah dan keren!

- bahwa dia telah terjebak dan tak kuasa membebaskan diri

Sekilas semua alasan itu terkesan mengada-ada. Tak wajar. Berlebihan. Lebay. Tak masuk akal. Absurd. Tolol. Naif. Tapi demikianlah kenyataannya. Lalu haruskah kita baru tersadar ketika segalanya sudah terlanjur terjadi?

 

***

 

Upaya mengawal kesungguhan memerangi peredaran gelap dan penyalah gunaan narkoba tentu harus terus dilakukan. Memastikan tak ada pihak manapun yang bermain mata atau menyelewengkan tugas maupun kewenangannya - sebagaimana pula kewajiban maupun hak-hak dari setiap yang terkait - adalah sebuah keniscayaan.

Tapi setelah semua yang dilalui untuk mewujudkan mimpi melenyapkan peredaran gelap maupun penyalah-gunaan narkoba dari kehidupan masyarakat sehari-hari, mungkin sudah saatnya meninjau ulang efektifitas semua energi yang dicurahkan. Dengan tujuan dan keyakinan yang tetap sama, peta jalan (roadmap) dan lintasan yang berbeda mungkin sudah saatnya dipertimbangkan dan dirumuskan kembali.

 

***

 

Dari serangkaian pernyataan yang ditengarai berpeluang menjerumuskan seseorang ke neraka jahanam narkoba di atas, tentu sangat mudah dipahami jika pertahanan pertama dan utama untuk menghindarinya ada pada diri masing-masing manusia yang menghadapi.

Bukankah kabar mengerikan tentang pengaruh, dampak, maupun resiko yang harus dipikul telah bertebaran dimana-mana? Bahkan bisa dipastikan, tak akan pernah ada argumentasi meyakinkan tentang kegunaan maupun manfaat yang diperoleh dari penyalah-gunaan narkoba itu! Jadi, prilaku menyimpang para pengguna narkoba itu (sebagian besar) sesungguhnya berawal dari inisiatif atau persetujuan dirinya sendiri. Sebuah keputusan salah yang sangat mungkin diambil dengan sadar. Bahkan mungkin dengan keyakinan - apapun keyakinannya itu - yang penuh.

Argumentasi para pengguna yang disampaikan sebelumnya di atas tentu mengesampingkan korban- korban yang dirampok kemerdekaannya lalu dipaksa menggunakan. Atau mereka yang tanpa menyadarinya dijerumuskan oleh yang lain untuk menggunakan.

Pergaulan dan lingkungan sehari-hari boleh jadi turut berperan pada mereka yang secara sadar mengorbankan diri ke dalam dunia penyalah-gunaan narkoba. Tapi seandainya ia memiliki kepribadian utuh dan menolak semua argumentasi itu maka semua pengaruh buruk pada lingkungan dan pergaulan sangat mungkin diabaikannya dengan mudah. Bahkan jika perlu - ketika potensi pengaruhnya dianggap cukup tinggi sehingga dapat membuat dirinya sulit menghindar - maka dengan cara apapun ia semestinya akan memilih upaya menjauh, bahkan jika perlu meninggalkan sama sekali, lingkungan maupun pergaulan yang dianggapnya tak sehat itu.

Tapi faktanya, tak sedikit yang ragu. Seolah percaya pada salah satu, beberapa, atau seluruh argumen yang dikemukakan di atas tadi sehingga memberi persetujuan terhadap dirinya untuk menggunakan narkoba. Dengan kata lain, mereka tak percaya pada antithesis dari argumen-argumen itu. Dan perlahan-lahan, mereka justru begitu fanatik meyakininya!

 

***

 

Setiap langkah dan semua keputusan yang diambil insan manusia dalam melakoni hidupnya selalu bersandar pada kesimpulan terhadap pertimbangan kebaikan dan keburukan yang akan diperoleh. Dalam situasi yang mengharuskan - walaupun antara baik dan buruk berselisih amat tipis hingga ia diliput keraguan yang sangat - langkah dan keputusan tetap akan dilakukan berdasarkan kesimpulan yang terbaik.

Sesuai kodratnya, manusia yang sepanjang hidupnya dipenuhi rasa ingin tahu, selalu tergoda untuk menafsir - melakukan interpretasi - terhadap hal-hal yang ada disekitarnya. Disana tentu terdapat hubungan yang dinamis dengan beragam pengetahuan yang dimiliki. Hal yang berperan menyatukan berbagai pemahaman yang ada ke dalam suatu sudut pandang yang bersifat objektif (lihat).

Tapi tidak semua pemahaman yang kita miliki - berikut dengan nilai-nilai yang dikandungnya - berawal dan berkembang dari buku, naskah akademik, bangku sekolah, ruang kuliah, seminar, pelatihan, workshop, dan seterusnya. Sebagian justru diperoleh seseorang dari hal-hal yang dialaminya pada kehidupan sehari-hari. Dan disana selalu ada tokoh-tokoh panutan yang secara subjektif berpeluang mempengaruhi perkembangan berbagai pandangan objektifnya.

Apa yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan pada lingkungan keluarga sejak pertama lahir di dunia hingga sesaat menjelang dewasa - ditandai dengan dimulainya kemampuan bersangkutan memahami sesuatu secara utuh dan mandiri - merupakan ‘pengetahuan’ awal dan mendasar yang berpotensi memberikan pengaruh besar terhadap berbagai pemahaman dan pengembangan nilai- nilai yang diyakininya di kemudian hari. Begitu pula ketika ia mulai berinteraksi lebih luas dari sekedar lingkungan keluarga di rumah, seperti lingkungan bermain yang ada di sekitar maupun lingkungan sekolah tempat ia belajar. Disana selalu hadir tokoh-tokoh perkasa, karismatik, pelindung, berkuasa, dan seterusnya yang secara subjektif mampu mempengaruhi objektifitas proses pemahamannya. Walau demikian, semua pengalaman yang diperoleh itu tentu akan turut memperkaya pengetahuan maupun berbagai proses pemahaman yang akan terus-menerus terjadi. Pada tahapan ini, mungkin untuk pertama kalinya potensi konflik akibat adanya pertentangan yang dirasakan antara pemahaman baru dengan yang sebelumnya akan mulai mengemuka. Kadang diikuti pula dengan bentuk pemberontakan.

Begitu pula pada tahap-tahap selanjutnya ketika ia beranjak dewasa dan memasuki lingkungan dan pergaulan yang lebih luas. Misalnya lingkungan kampus tempat ia melanjutkan pendidikan tinggi, lingkungan kerja, lingkungan informal dimana ia menyalurkan bakat atau mengasah hal-hal tertentu yang diminati, hingga lingkungan sosial kemasyarakatan yang lebih luas mencakup kota, daerah, dan negara dimana ia tinggal dan mengarungi hidup sehari-hari. Disana selalu hadir tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat tapi tak selamanya bersesuaian secara objektif, seperti dosen, dekan, rektor, senior, pelatih, ketua, bos, direktur, pemodal, pimpinan, walikota, wakil rakyat, gubernur, jenderal, hingga presiden. Bagaimanapun mereka akan memberikan pengaruh pada kemampuan seseorang memahami sesuatu dan membangun nilai-nilai yang diyakininya.

 

***

 

Mungkinkah berbagai konflik yang terjadi dalam proses memahami bermacam aspek kehidupan sehari-hari telah menyebabkan mereka dengan sadar dan sengaja menolak antithesis argumen- argumen yang dikemukan sebelumnya tadi, lalu memilih menjerumuskan diri di dunia narkoba?

Mungkinkah mereka terpengaruh oleh berbagai konflik yang mencuat dari pertentangan antara nilai- nilai yang disuarakan dengan lakon yang dipertontonkan tokoh-tokoh berpengaruh pada lingkungan sehari-hari mereka?

Bukankah tidak terlalu sulit bagi mereka untuk memahami kemewahan sehari-hari di tengah keluarganya tak sebanding dengan kemampuan resmi yang dihasilkan profesi orangtuanya?

Mungkinkah mereka memelihara dan mengembangkan keyakinan terhadap antithesis argumen- argumen yang dikemukan tadi jika dari hari ke hari persoalan maupun hambatan yang dihadapi bukan berkurang tapi semakin besar, semakin berat, dan semakin beragam?

Bukankah tidak terlalu sulit bagi mereka untuk memahami kenyataan sehari-hari yang mempertontonkan penyalah-gunaan kekuasaan, ketidak-adilan yang sangat culas, kemunafikan yang semakin terang-benderang, kejujuran yang palsu, penindasan kelompok tak berdaya yang semakin semena-mena, dan seterusnya?

Mungkinkah mereka menumbuhkan dan mengembangkan harapan terhadap antithesis argumen- argumen yang dikemukakan tadi jika hal yang nyata-nyata diyakini masyarakat umum sebagai kebaikan hakiki - yaitu pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme - justru selalu, terus-menerus, dan terang-terangan dihalangi bahkan ingin dihancurkan kekuasaan tertentu?

Daftar pertanyaan di atas masih bisa diteruskan. Tapi hanya 2 jawaban yang tersedia terhadap semuanya: YA dan MUNGKIN!

***

Setelah 16 tahun perjalanannya mungkin Gerakan Nasional Anti Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (GRANAT) perlu mempertimbangkan strategi (tambahan) yang lain untuk melanjutkan peperangannya. Untuk jangka pendek dan segera beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan :

 

PANCA SIKAP GRANAT

Lima sikap dasar ini merupakan hal mendasar yang perlu diusung kembali sesuai dengan situasi dan kondisi yang kontemporer. Tidak berhenti pada jargon tapi melalui hal-hal nyata yang ada di tengah masyarakat. Sudah barang tentu kelima sikap tersebut diberlakukan dan diamalkan terlebih dahulu di kalangan internal GRANAT.

Sikap Pertama : Jujur.

Sikap yang paling sederhana ini harus betul-betul diresapi seluruh lapisan masyarakat. Pikirkan dan pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan seksama setiap kata maupun laku yang diperbuat. Mulai dari peran sebagai orang-tua di dalam rumah tangga, guru di sekolah, pimpinan di perusahaan, lurah di kampung, pegawai di instansi pemerintahan, aparat di institusi penegak hukum, sampai presiden di Indonesia. GRANAT tak perlu memberikan toleransi sekecil apapun terhadap sikap curang dan bohong. Untuk pencitraannya bisa dilakukan Festival Jujur yang mengundang pejabat negara dari tingkatan apapun, mulai dari Presiden sampai Lurah, anggota DPR, aparat penegak hukum, dan seterusnya, mempublikasikan harta dan kekayaan yang dimiliki. Festival diselenggarakan setiap tahun dan tampil di website organisasi.

Sikap Kedua : Berani.

Tentunya berani karena benar. Bukan karena berkuasa. Bukan karena posisi mayoritas karena jumlahnya lebih banyak. Bukan juga karena bersenjata. GRANAT sebaiknya mendukung siapapun yang berani menyuarakan kebenaran yang hakiki dan menentang kebatilan. Sebaliknya, mencela yang bertindak semena-mena dan diluar batas karena kekuasaan, suara mayoritas, ataupun senjata yang dimilikinya. Untuk pencitraannya bisa dilakukan Anugerah Berani. Disamping memberikan pengakuan dan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dinilai paling benari menyuarakan atau mempertahankan kebenaran, setiap tahun GRANAT mempublikasikan catatan sikapnya terhadap tindakan pengecut yang dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan, mayoritas, dan senjata.

Sikap Ketiga : Semangat

Pada uraian panjang-lebar di atas telah dijelaskan bahwa keputusan sadar mereka yang menjerumuskan diri menjadi pengguna narkoba adalah sesuatu yang sungguh absurd. Dan diduga kuat mereka tak meyakini antithesis argumen-argumen yang dijadikan alasan mengapa mereka terjerumus. Ditengarai berbagai kebobrokan moral yang dipertontonkan orang tua kepada anak- anaknya, pemimpin dan tokoh masyarakat kepada rakyat, dan seterusnya, turut andil memperuncing konflik batin mereka yang terjerumus. Tidak berlebihan jika kita memerlukan simbol-simbol kegigihan, berjuang sampai akhir, dan pantang menyerah yang dilakukan berbagai kalangan, terutama dari masyarakat luas yang hidup dengan segala keterbatasan. Pencitraan GRANAT terhadap sikap ini dapat dilakukan melalui publikasi Semangat Bulan Ini yang mengetengahkan dan mengulas prestasi dan capaian terbaik yang terjadi di tengah masyarakat. Perwakilan yang ada di setiap propinsi bisa dimintakan untuk menyampaikan nomasi dari daerahnya masing-masing untuk kemudian dipilih satu atau beberapa setiap bulannya. Acara penganugerahannya sendiri tak harus selalu dilakukan di Jakarta tapi bisa bergilir di kota-kota yang lain.

Sikap Keempat : Keberagaman

Kita hidup di negeri yang majemuk. Bukan hanya beragam suku-bangsa, bahasa dan tradisi, serta keyakinan dan kepercayaan, tapi juga status sosial, kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, dan ketersediaan fasilitas umum. Menghormati dan merayakan perbedaan adalah salah satu sikap yang harus diperjuangkan GRANAT sehingga rasa percaya diri dan keyakinan akan kemampuan setiap insan di Indonesia ini tumbuh dan bangkit. Pencitraan GRANAT bisa dilakukan melalui publikasi Keberagaman Bulan Ini yang mengetengahkan dan mengulas sikap maupun tindakan luar biasa yang terjadi di tengah masyarakat dalam menghormati dan merayakan kemajemukan. Seperti publikasi sebelumnya, perwakilan organisasi yang ada di setiap propinsi diminta untuk menyampaikan nominasi dari daerahnya masing-masing. Kemudian panitia yang ditunjuk memilih satu atau beberapa setiap bulannya. Acara penganugerahan juga dilakukan bergilir dari satu kota ke kota yang lain.

Sikap Kelima : Gotong-Royong

Perbedaan, ketidak-adilan, ketimpangan, tekanan hidup, kemunafikan, kesewenang-wenangan, dan ketidak-pedulian mungkin telah mempengaruhi perkembangan sikap hidup dan prilaku yang semakin individuastis di tengah masyarakat kita. Fenomena ini sesungguhnya telah disinyalir sejak lama. Salah satu ulasannya pernah dimuat majalah Prisma (Prisma, ‘Kota Bermuka Dua’, edisi no. 6, 1984, LP3ES). Tetangga rumah yang tidak saling mengenal bukan lagi hal yang aneh. Simpati dan pertolongan terhadap mereka yang ditimpa musibah acap terjadi jika menjadi sorotan media. Di sisi lain, sikap putus asa dan mudah menyalahkan pihak lain tanpa melakukan introspeksi pada diri sendiri juga semakin menggejala. Hal demikian sangat mungkin menjadi salah satu penyebab absurditas mereka yang secara sadar menjerumuskan dirinya ke dalam dunia gelap narkoba. GRANAT perlu mempromosikan sikap mulia ini kembali. Persoalan peredaran gelap dan penyalah- gunaan narkoba yang sudah bertali-temali kusut hanya bisa dihadapi dengan bergotong-royong, bahu-membahu. Mempopulerkan kembali sikap ini merupakan keniscayaan. Seperti 2 yang terakhir, pencitraannya dilakukan secara pembulanan. Melalui Gotong-Royong Bulan Ini dipilih kejadian yang paling fenomenal di tengah masyarakat berdasarkan nominasi yang diajukan perwakilan daerah.

 

REKOMENDASI RUANG KOTA YANG SEHAT

Jika rutinitas setiap hari hanya makan, tidur, dan bekerja maka kemungkinan kondisi tubuh cepat melemah dan rentan penyakit. Untuk kebugaran fisik kita perlu mengimbanginya dengan olahraga. Begitu juga mental dan psikologinya masing-masing. Itu sebabnya dibutuhkan rekreasi jiwa. Baik melalui kesenian, hiburan, diskusi, perpustakaan dan sebagainya.

Salah satu keanehan kota-kota di Indonesia hari ini adalah kemiskinan dalam penyediaan ruang-ruang publik yang digunakan masyarakat untuk hal-hal di atas. Sejumlah fasilitas berbayar seperti lapangan golf, fasiltas kebugaran, badminton hall, lapangan futsal, tenis, kolam renang, dan lain-lain memang tersedia. Tapi penggunaannya terbatas pada kelompok tertentu yang secara ekonomi mampu membayarnya. Ruang kota berkembang maupun dikembangkan hanya untuk tujuan komersial. Hampir tak ada yang mengedepankan kepentingan publik.

Mungkin kelangkaan fasilitas-fasilitas itu turut berperan menyuburkan penyakit kejiwaan yang berkait dengan penggunaan narkoba. Ruang bagi generasi muda mengekspresikan dirinya, mengasah kemampuan, ataupun mengembangkan bakat dan minatnya sangat terbatas. Kecuali dukungan keuangan keluarga mencukupi.

Jika bibit-bibitpun langka bagaimana mungkin ladang kompetisi untuk menyuburkannya berkembang? Jika ajang persaingan tidak tersedia bagaimana mungkin wilayah mengembangkan dan memacu prestasi meluas sehingga tak terbatas pada pilihan-pilihan sempit di bidang akademi semata? Jika demikian adanya, bukankah cukup dipahami jika mereka yang memutuskan untuk menggunakan narkoba tak memiliki keyakinan pada antithesis argumen-argumen yang dijelaskan di depan?

Mendorong setiap kepala daerah untuk memberikan perhatian lebih besar dan sungguh-sungguh terhadap penyediaan dan pengelolaan ruang-ruang publik yang dapat digunakan masyarakatnya untuk mengasah kemampuan dan mengekspresikan bakatnya merupakan bagian penting dari strategi putar haluan yang perlu dilakukan. Secara berkala GRANAT perlu memberikan pengakuan dan penghargaan kepada daerah-daerah yang memberi perhatian dan melakukan upaya terhadap pengembangan ruang dan fasilitas publiknya. Begitu pula terhadap penyelenggaraan aneka-ragam ajang kompetisi amatir yang terkait dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat pada ruang dan fasilitas publik tersebut.

Melalui perwakilan yang ada di masing-masing daerah, GRANAT dapat mendorong secara aktif kepala daerahnya untuk memperhatikan dan mengagendakan hal tersebut.

 

***

 

Jika peredaran gelap dan penyalah-gunaan narkoba sungguh-sungguh menjadi ketakutan kita bersama, seandainya kuantitas dan kualitas permasalahan seperti yang diuraikan sebelumnya sama- sama kita sepakati sebagai menakutkan, maka pemikiran strategi putar haluan ini sangat layak untuk dipertimbangkan. Usulan-usulan yang disampaikan tentu hanya wacana yang masih bisa diperdebatkan ataupun dikembangkan lebih lanjut. Tapi mudah-mudahan semangat dan keinginan yang ingin diinspirasikan dapat tergambar dengan baik.

Selamat ulang tahun dan mudah-mudahan setiap upaya yang dilakukan selalu memberi manfaat dan kebaikan bagi kehidupan Indonesia!

 

- Jilal Mardhani :: Dewan Pendiri -

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun