Sikap Kelima : Gotong-Royong
Perbedaan, ketidak-adilan, ketimpangan, tekanan hidup, kemunafikan, kesewenang-wenangan, dan ketidak-pedulian mungkin telah mempengaruhi perkembangan sikap hidup dan prilaku yang semakin individuastis di tengah masyarakat kita. Fenomena ini sesungguhnya telah disinyalir sejak lama. Salah satu ulasannya pernah dimuat majalah Prisma (Prisma, ‘Kota Bermuka Dua’, edisi no. 6, 1984, LP3ES). Tetangga rumah yang tidak saling mengenal bukan lagi hal yang aneh. Simpati dan pertolongan terhadap mereka yang ditimpa musibah acap terjadi jika menjadi sorotan media. Di sisi lain, sikap putus asa dan mudah menyalahkan pihak lain tanpa melakukan introspeksi pada diri sendiri juga semakin menggejala. Hal demikian sangat mungkin menjadi salah satu penyebab absurditas mereka yang secara sadar menjerumuskan dirinya ke dalam dunia gelap narkoba. GRANAT perlu mempromosikan sikap mulia ini kembali. Persoalan peredaran gelap dan penyalah- gunaan narkoba yang sudah bertali-temali kusut hanya bisa dihadapi dengan bergotong-royong, bahu-membahu. Mempopulerkan kembali sikap ini merupakan keniscayaan. Seperti 2 yang terakhir, pencitraannya dilakukan secara pembulanan. Melalui Gotong-Royong Bulan Ini dipilih kejadian yang paling fenomenal di tengah masyarakat berdasarkan nominasi yang diajukan perwakilan daerah.
REKOMENDASI RUANG KOTA YANG SEHAT
Jika rutinitas setiap hari hanya makan, tidur, dan bekerja maka kemungkinan kondisi tubuh cepat melemah dan rentan penyakit. Untuk kebugaran fisik kita perlu mengimbanginya dengan olahraga. Begitu juga mental dan psikologinya masing-masing. Itu sebabnya dibutuhkan rekreasi jiwa. Baik melalui kesenian, hiburan, diskusi, perpustakaan dan sebagainya.
Salah satu keanehan kota-kota di Indonesia hari ini adalah kemiskinan dalam penyediaan ruang-ruang publik yang digunakan masyarakat untuk hal-hal di atas. Sejumlah fasilitas berbayar seperti lapangan golf, fasiltas kebugaran, badminton hall, lapangan futsal, tenis, kolam renang, dan lain-lain memang tersedia. Tapi penggunaannya terbatas pada kelompok tertentu yang secara ekonomi mampu membayarnya. Ruang kota berkembang maupun dikembangkan hanya untuk tujuan komersial. Hampir tak ada yang mengedepankan kepentingan publik.
Mungkin kelangkaan fasilitas-fasilitas itu turut berperan menyuburkan penyakit kejiwaan yang berkait dengan penggunaan narkoba. Ruang bagi generasi muda mengekspresikan dirinya, mengasah kemampuan, ataupun mengembangkan bakat dan minatnya sangat terbatas. Kecuali dukungan keuangan keluarga mencukupi.
Jika bibit-bibitpun langka bagaimana mungkin ladang kompetisi untuk menyuburkannya berkembang? Jika ajang persaingan tidak tersedia bagaimana mungkin wilayah mengembangkan dan memacu prestasi meluas sehingga tak terbatas pada pilihan-pilihan sempit di bidang akademi semata? Jika demikian adanya, bukankah cukup dipahami jika mereka yang memutuskan untuk menggunakan narkoba tak memiliki keyakinan pada antithesis argumen-argumen yang dijelaskan di depan?
Mendorong setiap kepala daerah untuk memberikan perhatian lebih besar dan sungguh-sungguh terhadap penyediaan dan pengelolaan ruang-ruang publik yang dapat digunakan masyarakatnya untuk mengasah kemampuan dan mengekspresikan bakatnya merupakan bagian penting dari strategi putar haluan yang perlu dilakukan. Secara berkala GRANAT perlu memberikan pengakuan dan penghargaan kepada daerah-daerah yang memberi perhatian dan melakukan upaya terhadap pengembangan ruang dan fasilitas publiknya. Begitu pula terhadap penyelenggaraan aneka-ragam ajang kompetisi amatir yang terkait dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat pada ruang dan fasilitas publik tersebut.
Melalui perwakilan yang ada di masing-masing daerah, GRANAT dapat mendorong secara aktif kepala daerahnya untuk memperhatikan dan mengagendakan hal tersebut.