Mohon tunggu...
Jihan Azkiya
Jihan Azkiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siswi SMA

Hallo nama saya Jihan Azkiya Maulidha, saya mempunyai cita-cita profesi sebagai Dokter. Namun, saya disarankan oleh orang tua untuk menjadi guru saja. Jadi saya mengalihkan rencana pendidikan saya di bidang Biologi agar bisa menjadi dokter pribadi untuk keluarga saya nantii...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berjuang untuk Bangkit

29 September 2022   22:51 Diperbarui: 29 September 2022   23:03 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       Hari itu adalah dimana aku menjadi anak SD yang bahagia. Yang pada akhirnya masa di Taman Kanak-kanak berakhir. Aku bersekolah di salah satu Madrasah di daerahku. Saat itu, yang aku harapkan adalah sebuah kebahagiaan akan menyelimutiku. Pertama kali aku duduk di bangku Madrasah, aku merasa bahagia itu mulai ada, namun tak kunjung lama ketakutan itu hadir dan menghantui. Ketakutan-ketakutan itu menjadikanku lemah, kaki ku lumpuh untuk melangkah, tubuh ku dingin, dan hati yang sakit.

Aku berfikir, mungkin ini tak akan terjadi lama menimpaku. Semuanya akan selesai ketika mereka mengenal baik tentangku. Namun, apa yang aku harapkan dan fikirkan itu semuanya tidak berguna. Mereka terus mencaci maki kekuranganku sampai pengetahuanku. Aku bingung, apa yang sebenarnya membuat mereka menjadi seperti itu. Kita yang belum saling mengenal baik satu sama lain, mereka sudah menyimpukan aku buruk. Tetes tangis pun selalu ku jatuhkan setiap kali mereka menghina.

Saat itu, pelajaran dimulai. Semua murid memasuki kelasnya masing-masing. Dan aku yang saat itu memasuki kelas juga, ejekan itu kembali ada. Mereka mengatakan,

"Kotor banget si jadi orang." Kata itu yang keluar dari mulut mereka. Apa yang sebenarnya sudah ku perbuat sampai-sampai mereka berkata seperti ini. Aku duduk di tempat duduk ku dan memulai pelajaran. Saat itu, aku pikir mungkin hanya teman-temanku saja yang bersifat seperti itu, tetapi guru-guru ku juga. Semua tidak ada yang menghiraukan ku saat aku bertanya. Semua mata memandang aneh seolah aku adalah orang asing.

Aku hanya terdiam diri saat itu. Berharap semuanya akan baik-baik saja setelah kita saling mengenal lebih dekat.

Hari demi hari ku lalui dengan langkah kaki yang terus ku tapak kan. Maju perlahan dan menganggap semua tidak terjadi apa-apa. Tersenyum menyambut hari dengan sapa hangat menyemangati.

Aku fikir, mungkin hanya di sekolah saja yang membuat sedih. Ternyata, lingkungan rumahku juga. Aku tidak ditemani oleh tetangga-tetangga di lingkungan rumahku. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi pada ku.

Saat aku ingin bermain dengan mereka, orang tua nya selalu memanggil temanku untuk tidak bermain denganku karena rumahku yang hampir roboh saat itu. Rumah yang sudah disanggah oleh kayu agar tak runtuh. Atapnya bolong sehingga kalau hujan turun, rumah ikut banjir.

Saat aku sedang bermain, orang tua teman-temanku memanggil dan berkata, "Pulang, jangan main di rumah hantu."

Mungkin keluarga ku saat itu sangat memahamiku. Mereka merangkul aku untuk masuk ke dalam rumah.

"Apa yang sebenarnya terjadi mah?," tanyaku.

"Tidak apa-apa mereka hanya harus tidur siang."

Keesokan harinya, aku diajak bermain oleh sepupuku ke rumah temannya, dan temannya adalah tetanggaku. Saat masuk ke dalam rumahnya, orang tuanya kembali berteriak kepada anaknya,

"Masukin semua mainannya, beresin. Nanti kotor."

Aku hanya tersenyum dan masih tidak merasa bahwa aku yang membuatnya kotor. Saat memasuki rumah kawanku, aku duduk di sofa yang temanku punya. Orang tuanya kembali menegurku,

"Duduknya dibawah aja, nanti kotor."

Aku langsung bergegas untuk duduk dibawah. Saat temanku dan sepupuku bermain, mereka naik ke sofa dan duduk diatas sofa. Orang tua dari kawanku melihatnya dan hanya berkata,

 "Jangan loncat-loncat nanti jatuh."

Aku berfikir, apakah sehina ini dan semiskin ini untuk duduk diatas sofa?

Aku bergegas pulang menemui orang tuaku, mereka merangkulku lagi sembari berkata,

"Tidak apa-apa mungkin saat itu bajunya terlihat kotor."

Aku menangis dan hanya terdiam.

Keesokan harinya, tetanggaku membeli scooter, mainan hits pada zaman saat itu. Aku hanya melihatnya dari jendela, aku tidak berniat untuk meminjamnya. Hanya saja, temanku yang menawarkan,

"Azka, mau pinjem?"

Aku yang dengan sumringah menerima tawarannya itu. Namun lagi-lagi orang tuanya berteriak,

"De pulang! Scooternya jangan dipinjemin azka nanti rusak"

Aku yang kembali lari masuk ke dalam rumah menangis di kamar. Saat itu hanya ada kaka dan ibu ku. Mereka mendengar semua perkataan tetanggaku itu. Kemudian mereka bertanya,

"Mau beli scooter?"

Aku hanya menangis terdiam dan mengangguk.

"Nanti kita beli. Jangan nangis ya, sekarang beli"

Mungkin Ibu dan Kakakku merasa sakit hati saat itu mendengar anak dan adik bontotnya di hina.

Aku menunggu dengan kakak pertamaku dirumah, dan Ibu ku membeli scooternya saat itu juga. Saat mereka datang, aku menyambutnya.

"Yeayyy aku punya scooter"

Aku yang tanpa berfikir panjang, langsung mengajak teman-teman ku untuk bermain.

"Main yuu, aku udah beli scooter," Ucapku pada temanku.

"Yuu."

Saat kami akan berangkat bermain, orang tuanya kembali menegur,

"Jangan main sama dia!",

"Dia udah beli scooter Pah",

"Yaudaa sok main hati-hati ya".

Sesakit itu untuk mendengar percakapan yang seharusnya tak ku dengar.

Aku merasa, apa yang sebenarnya harus diperbaiki. Sikap aku? Atau Apa?

            Setelah berjalan lama kehidupanku sama seperti itu dengan terus berulang-ulang. Aku merasa keadaan mulai membaik setelah aku mengkondisikan dengan lingkunganku. Namun, semuanya tiba-tiba hancur dan sangat hancur ketika kita tahu bahwa rumah yang menjadi tempat tinggal kita sekarang telah dijual. Kita terpaksa untuk mendadak mencari tempat tingal untuk sementara sampai rumah yang akan kita bangun selesai.

            Aku dan keluarga saling menangis dan saling merangkul. Setelah berbincang banyak dengan keluargaku, kami memutuskan untuk pindah ke kontrakan secepatnya.

            Satu demi satu barang sudah keluar dari tempatnya. Satu per satu barang juga sudah kami angkut. Kami mengangkut barang-barang kami menggunakan motor seadanya dengan bolak-balik sana-sini untuk ambil barang. Sedih rasanya, merasa terusir dirumah kita sendiri.

            Satu hari setelah pindah ke kontrakan, kami merasa banyak perubahan. Dari yang kurang komunikasi, kami jadi saling berbagi kisah. Kisah dimana masa-masa sulit dan kejam itu kita harus tetap bahagia.

            Keesokan harinya, kaka pertamaku kecelakaan. Aku dan ibu ku sedang membereskan barang. Dengan gesit kami langsung menghubungi mobil untuk menjemput kaka pertamaku.

            Apa yang sebenarnya terjadi, Tuhan menuntut kami untuk terus bersabar , namun tetap tiada hasilnya.

            3 bulan bertahan dikontrakan, kami pindah ke rumah sederhana yang kai bangun dengan kasih sayang. Kami menjalani hidup baru dengan segala aktivitas baru, walaupun kepahitan selalu ada menghampiri.

            2 tahun berjalan kami hidup didalam rumah sederhana kami, melakukan ritual kebahagiaan pagi dengan menyiapkan sarapan untuk bekal sekolah.

            Kami menganggap semua peristiwa tak pernah terjadi menimpa kami. Kami menjalankan hari-hari dengan semangat berjuang untuk bangkit.

Setelah jauh dari lingkungan yang menyiksa batin dan fisik, kami menjalani hari dengan kesabaran.

Sampai pada akhirnya, aku lulus SD dan masuk SMP. Yang aku harapkan saat itu adalah teman SMP tak seburuk teman SD. Ternyata, harapanku gagal lagi. Berkali-kali aku dipatahkan semangat untuk berteman.

"Sama saja. Lebih keras dibanding yang ku harapkan," batinku.

            Aku jalani hari-hariku dengan kesabaran. Dikelilingi lingkungan cacian, makian, hinaan, dan perkataan yang membuat ku sakit. Sampai saat itu, aku bingung, apa yang sebenarnya salah dari hidupku. Padahal, untuk bekal sekolah saja, aku tak meminta.

            2 tahun berlalu, merasa masih baik-baik saja. Dan ada masanya dimana aku selalu dipanggil oleh BK (bidang kesiswaan) dengan segala macam hinaan. Bukan hanya dari murid saja, namun dari guru juga.

            Saat itu, aku mulai lelah dan mulai belajar menentang. Ini memang bukan hal yang terpuji. Namun, aku belajar membela diriku sendiri agar tidak selalu direndahkan orang lain. Aku selalu menentang apapun yang merasa bertolak belakang dengan apa yang aku lakukan. Sampai pada akhirnya, aku membuktikan bahwa aku adalah murid yang tidak sama bahkan sangat jauh dengan apa yang mereka nilai.

            9 tahun berlalu dengan segala cacian, hinaan, makian orang-orang disekitar. Mentalku sempat rusak dan takut untuk betemu orang baru. Namun, keluargaku selalu mendukung dan mensupport aku untuk selalu bersemangat meraih prestasi yang harus aku capai. Masih banyak perjalanan dan rute cita-cita yang harus aku lalui.

            Sampai pada akhirnya, aku kembali kepada pendirianku sendiri untuk tetap tidak menghiraukan apa yang menyakitiku. Tetap berbuat baik karena balas dendam bukanlah penyelesaian masalah. Berhenti membenci dan kembali menjalani hari-hari ku dengan tersenyum. Dan pada akhirnya, aku menemukan lingkungan baru dengan beribu semangat, dukungan serta bimbingan. Yaitu, masa-masa SMA ku. Aku sangat bahagia menemukan lingkungan yang merangkulku untuk terus berjalan.

            Dari kejadian ini, aku sadar bahwa lantai tak akan selalu kotor, jika kita mau membersihkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun