Aku dan keluarga saling menangis dan saling merangkul. Setelah berbincang banyak dengan keluargaku, kami memutuskan untuk pindah ke kontrakan secepatnya.
      Satu demi satu barang sudah keluar dari tempatnya. Satu per satu barang juga sudah kami angkut. Kami mengangkut barang-barang kami menggunakan motor seadanya dengan bolak-balik sana-sini untuk ambil barang. Sedih rasanya, merasa terusir dirumah kita sendiri.
      Satu hari setelah pindah ke kontrakan, kami merasa banyak perubahan. Dari yang kurang komunikasi, kami jadi saling berbagi kisah. Kisah dimana masa-masa sulit dan kejam itu kita harus tetap bahagia.
      Keesokan harinya, kaka pertamaku kecelakaan. Aku dan ibu ku sedang membereskan barang. Dengan gesit kami langsung menghubungi mobil untuk menjemput kaka pertamaku.
      Apa yang sebenarnya terjadi, Tuhan menuntut kami untuk terus bersabar , namun tetap tiada hasilnya.
      3 bulan bertahan dikontrakan, kami pindah ke rumah sederhana yang kai bangun dengan kasih sayang. Kami menjalani hidup baru dengan segala aktivitas baru, walaupun kepahitan selalu ada menghampiri.
      2 tahun berjalan kami hidup didalam rumah sederhana kami, melakukan ritual kebahagiaan pagi dengan menyiapkan sarapan untuk bekal sekolah.
      Kami menganggap semua peristiwa tak pernah terjadi menimpa kami. Kami menjalankan hari-hari dengan semangat berjuang untuk bangkit.
Setelah jauh dari lingkungan yang menyiksa batin dan fisik, kami menjalani hari dengan kesabaran.
Sampai pada akhirnya, aku lulus SD dan masuk SMP. Yang aku harapkan saat itu adalah teman SMP tak seburuk teman SD. Ternyata, harapanku gagal lagi. Berkali-kali aku dipatahkan semangat untuk berteman.
"Sama saja. Lebih keras dibanding yang ku harapkan," batinku.