Mazhab Pemikiran Hukum Positivisme
- Pengertian:
- Positivisme hukum memisahkan hukum dari moral (das sein dan das sollen).
- Hukum hanya diakui jika tertulis dalam undang-undang.
- Jenis Positivisme Hukum:
- Positivisme Yuridis: Hukum adalah sistem logis yang tidak dipengaruhi moral atau politik; tokoh utama: Hans Kelsen.
- Positivisme Sosiologis: Hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat; tokoh utama: Auguste Comte.
- Karakteristik:
- Hukum = Undang-undang.
- Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral.
- Hukum bersifat rasional, obyektif, dan tertutup (closed logical system).
- Kelebihan:
- Menjamin kepastian hukum.
- Menciptakan keteraturan masyarakat.
- Menjamin keadilan berdasarkan hukum tertulis.
- Kelemahan:
- Sulit mewujudkan keadilan sosial.
- Sistem hukum tertutup dan rentan dipengaruhi kekuasaan politik.
- Implikasi:
- Pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan hukum.
- Hukum harus rasional, logis, obyektif, dan berlaku secara merata.
Madzhab Pemikiran Hukum Sociological Jurisprudence
- Pengertian:
Sociological Jurisprudence memandang hukum sebagai norma sosial yang tidak bisa terlepas dari nilai-nilai masyarakat. Hukum yang baik adalah yang selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law). - Perbedaan dengan Positivisme Hukum:
- Positivisme hukum memisahkan hukum dari masyarakat, sementara Sociological Jurisprudence menganggap hukum terkait erat dengan kehidupan sosial.
- Sociological Jurisprudence menekankan pentingnya pengalaman dan akal.
- Tokoh-Tokoh:
- Eugen Ehrlich: Menganggap hukum tidak hanya ada pada undang-undang, tetapi pada kebiasaan dan norma sosial dalam masyarakat. Hukum yang hidup lebih penting daripada hukum positif.
- Roscoe Pound: Memperkenalkan teori hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Ia menggolongkan kepentingan yang dilindungi hukum menjadi kepentingan umum, masyarakat, dan pribadi.
- Perbedaan dengan Sosiologi Hukum:
- Sociological Jurisprudence: Fokus pada hubungan hukum dengan masyarakat.
- Sosiologi Hukum: Memiliki pendekatan yang lebih luas tentang kehidupan sosial secara keseluruhan, termasuk hubungan dengan politik.
Presentasi Book Review saya
Buku Petasan Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Kebudayaan karya Dr. Hj. Tina Asmarawati, SH., M.H., memberikan pemahaman mendalam tentang hubungan antara hukum dan tradisi budaya, khususnya dalam penggunaan petasan. Penulis menggabungkan aspek hukum formal dengan pengaruh norma sosial dan budaya, menunjukkan bahwa meskipun petasan berisiko, penggunaannya terkait erat dengan konteks sosial. Buku ini bermanfaat bagi mahasiswa dan akademisi sosiologi hukum, namun penggunaan bahasa akademisnya bisa sulit dipahami oleh khalayak umum, dan fokusnya terbatas hanya pada petasan. Secara keseluruhan, buku ini penting untuk memahami interaksi antara hukum, budaya, dan masyarakat.
MADZHAB PEMIKIRAN HUKUM (LIVING LAW DAN UTILITARIANISM)
- The Living Law adalah hukum yang ditemukan dalam masyarakat, berasal dari kebiasaan, tradisi, agama, dan norma yang berkembang secara sosial. Meskipun di negara modern lebih menekankan pada hukum positif, living law masih diakui di Indonesia, seperti dalam pengakuan terhadap masyarakat adat. Ciri khasnya adalah tidak tertulis, bersifat responsif, dan bertujuan untuk keadilan, dengan sanksi yang tidak selalu ada. Hukum ini berkembang dalam kehidupan sosial dan diikuti berdasarkan kewajiban moral, bukan paksaan.
- Mazhab Utilitarianisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Bentham, Jhering, dan Roscoe Pound, menekankan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, yang diukur melalui kebahagiaan. Hukum bertujuan untuk memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan, serta menjaga kepentingan sosial. Menurut aliran ini, hukum harus menjaga kebaikan bersama dengan menyeimbangkan kepentingan individu, masyarakat, dan negara, dengan tujuan sosial yang lebih besar.
PEMIKIRAN HUKUM DAVID MILE DURKHEIMÂ
David mile Durkheim, seorang tokoh sosiologi modern, mendirikan fakultas sosiologi pertama dan jurnal L'Anne Sociologique. Lahir pada 1858 di Prancis, Durkheim fokus pada bagaimana masyarakat mempertahankan integritas dan koherensinya di dunia modern, yang kurang memiliki latar belakang agama atau etnis bersama. Ia memperkenalkan konsep fakta sosial, yang merujuk pada fenomena sosial yang ada secara independen dan lebih objektif daripada tindakan individu.
Durkheim berkontribusi pada fungsionalisme, yang menjelaskan bagian-bagian masyarakat berdasarkan fungsinya dalam mempertahankan keseimbangan sosial. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan, yang berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial, mempertahankan peranan sosial, dan membagi kerja dengan menyesuaikan kecakapan individu dengan pekerjaan yang sesuai.
IBNU KHALDUN
Ibnu Khaldun, seorang pemikir Muslim abad ke-14, lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 dan wafat pada 17 Maret 1406 di Kairo. Ia mengembangkan teori ashabiyah (solidaritas kelompok) dan membagi masyarakat menjadi tiga tingkatan: masyarakat primitif (wahsy), masyarakat pedesaan yang sederhana, dan masyarakat kota yang berperadaban tinggi dengan mata pencaharian dari perdagangan dan perindustrian.
Dalam teori siklus sejarahnya, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa masyarakat melalui empat fase yang berulang: kebangkitan, kegemilangan, kemerosotan, dan keruntuhan. Ia juga mengemukakan empat tahap dalam pendirian negara: pemusatan kekuasaan, menikmati kekuasaan, ketundukan dan kemalasan, serta foya-foya dan pemborosan kekayaan.