Istilah dari suatu kata"nilai konstitusional" Menurut Soemantri Martosoewignjo dalam Teori Konstitusi Astim Riyanto, istilah konstitusi berasal dari kata "konstitusi" yang dalam bahasa Indonesia disebut hukum dasar.
SIFAT UUD Ada dua ciri utama konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yaitu Fleksibel (fleksibel) dan Rigid (kaku).
Berikut penjelasan singkat mengenai dua ciri UUD : a.
Konstitusi sangat fleksibel; Dalam hal ini konstitusi dapat diamandemen melalui prosedur seperti mengesahkan undang-undang dan menyesuaikan dengan perkembangan dari waktu ke waktu b.
Konstitusi sangat kaku; yaitu peraturan perundang-undangan yang sewaktu-waktu sulit atau tidak mungkin diubah atau hanya dapat diubah dengan cara selain tata cara pembuatan peraturan c.
Karl Loewenstein dalam bukunya "Refleksi Nilai Konstitusi" membedakan 3 (tiga) jenis nilai konstitusi atau nilai UUD , berdasarkan realitas kekuasaan dan norma UUD , yaitu merupakan norma nilai; nilai nominal (nilai nominal); nilai semantik (nilai semantik) d.
Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para ahli hukum selalu mencontohkan pandangan Karl Loewenstein mengenai tiga nilai konstitusi, yaitu: normatif, nominal, dan semantik.
Suatu konstitusi dikatakan mempunyai kekuatan normatif apabila diterima secara resmi oleh suatu negara.
Dan oleh karena itu konstitusi itu tidak hanya sah secara hukum (legal), tetapi juga efektif diterapkan dalam masyarakat dalam arti eksistensial.
efektif dan dilaksanakan secara jelas dan runtut.
Norma konstitusi inilah yang mengatur dan menjadi pedoman bagi proses politik yang terjadi di masyarakat.
VND.
Suatu konstitusi dikatakan mempunyai nilai nominal apabila mempunyai nilai hukum dan kekuatan hukum yang jelas, namun pada kenyataannya tidak sepraktis yang ada saat ini.
Ketentuan konstitusi hanya sekedar dokumen hukum, dan ketaatan politik tidak didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi f.
Dalam praktiknya juga bisa terjadi kerancuan antara nilai nominal dan nilai normatif.
Hanya sebagian ketentuan UUD yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktek, sehingga dapat dikatakan hanya sebagian saja yang diterapkan secara normatif, sedangkan d Bagian lainnya hanya mempunyai nilai nominal sebesar g.
Suatu konstitusi dikatakan mempunyai nilai semantik apabila aturan-aturan yang ada di dalamnya tetap sah secara hukum, namun pada kenyataannya konstitusi hanya memberikan bentuk pelaksanaan kekuasaan politik.
Banyak orang memandang konstitusi hanya sekedar "jargon" atau slogan yang sah untuk mempertahankan kekuasaan.
Tentang konten, nilai dan penerapan
bagaimana mempertahankan
kekuasaaan yang ada
ISI konstitusi
a. Organisasi negara
b.Hak Asasi Manusia
c.Tata cara perubahan UUD
d.Cita-cita rakyat
e. prinsip-prinsip ideologis
Selain itu, Jimly juga menyatakan dengan jelas bahwa konstitusi mempunyai 10 fungsi yang berjumlah , yaitu: 6 1.
Fungsi menentukan dan membatasi kekuasaan lembaga negara.
2.
Fungsi mengatur hubungan kekuasaan antar lembaga negara.
3.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara.
4.
Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5.
Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (rakyat) kepada organ negara.
6.
Fungsi simbolik pemersatu.
7.
Fungsi simbolik sebagai tolak ukur jati diri dan kebesaran bangsa .
8.
Fungsi simbolis merupakan inti dari upacara tersebut.
9.
Berfungsi sebagai alat kontrol sosial, baik dalam arti sempit hanya dalam bidang politik, maupun dalam arti luas meliputi bidang ekonomi dan sosial.
10.
Berfungsi sebagai sarana inovasi teknis dan sosial, baik dalam arti sempit maupun luas.
Konstitusionalitas norma tidak terlepas dari model judicial review UUD 1945.
Hal ini terlihat jelas melalui praktik pengujian norma abstrak dan aturan khusus Mahkamah Konstitusi.
Pembuktian norma khusus dalam rangka pengujian undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 pada hakikatnya berada di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara teoritis, pengujian MK terhadap suatu peraturan dimulai dari aturan-aturan yang bersifat abstrak sebagaimana tersirat dalam kedudukan MK sebagai pengadilan norma dan mengujinya terhadap UUD .
Untuk menilai konstitusionalitas suatu norma hukum, maka norma abstrak akan menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
.
Pada dasarnya standar spesifik lebih fokus pada penerapan atau penerapan standar.
Penerapan standar tidak terlepas dari legalitas standar yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA), sedangkan konstitusionalitas standar adalah untuk menguji kesesuaian standar dengan ketentuan UUD.
Jika yang menjadi dasar pengujian standar adalah UUD 1945, maka standar abstrak akan menjadi dokumen utama pengujian.
Di sisi lain, ketika mengkaji aturan tertentu, kita juga harus mempertimbangkan penerapan aturan ini, yang secara tidak langsung termasuk dalam cakupan kasus tertentu.
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan berbasis kasus (case-based pendekatan), yaitu 15 (lima belas) putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang [ 11/3 23.
54] y: 2003-2013 dalam uji materiil UUD Tahun 1945 dari segi isi, menitik beratkan pada proporsi putusan hakim konstitusi untuk menentukan konstitusionalitas peraturan.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa MK dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak memisahkan secara dikotomis antara norma abstrak dan norma konkret.
Dalam upaya melindungi hak-hak konstitusional warga negara, tidak adanya upaya hukum lanjutan yang akan ditempuh oleh Pemohon, serta untuk memberikan kepastian hukum yang adil, MK mengabulkan pengujian norma konkret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H