Risti membenarkan dengan penjelasan. Sekali pun belum bisa melihat dan tak ada yang mengajari, bayi bisa bergerak sendiri ke arah tetek ibunya di saat lapar. Begitu pun dengan anak-anak. Sekali pun tak ada yang mengajari dan tak pernah melihat secara langsung, setiap anak bisa memiliki gambaran dan pola yang sama saat melukis pemandangan. Dengan semangat ia merunut dasar-dasar tentang teori wahyu yang sedang dibangunnya.
“Jika dikatakan insting, dari mana datangnya jika tak ditunjukkan langsung oleh Tuhan?”
“Kamu memang di atas rata-rata!”
“Apanya?”
“Khayalanmu!”
Seketika tubuh kecilnya membalik searah dengan tatapan matanya. Dan cubitan manja pun mendarat di lengan kiri Yanto. Sikapnya terasa manja. Namun, justeru karena sikap seperti itulah yang seringkali membuat orang-orang di sekelilingnya merasa nyaman.
“Sudah! Sudah!” Yanto sedikit menjauh, tapi sama sekali tak ingin menepis jemari mungil yang menempel di lengannya. “Kau tak ingin melepasnya?”
“Sakit ya? Maaf!” ia mengusap-usap bekas cubitannya.
“Maksudku gelang manik itu! Sudah tiga tahun lebih melingkar di lenganmu.”
“Belum ada penggantinya!” Jawabnya cepat, secepat tarikan tangannya. “Dan tak mungkin terganti!”
Kedua tangannya kini terlipat di depan dada. Seolah ingin menyembunyikan gelang manik tersebut dari tatapan Yanto. Begitu pun dengan palingan wajahnya yang kembali dihadapkan pada kaca jendela. Namun, kali ini sikapnya berbeda. Ia hanya duduk terdiam dengan tatapan yang menerawang bayangan di dalam kepalanya.