“Jika itu yang kau minta, apa salah jika aku menyebut bukit itu sebagai kuburan?”
Yapto tertegun. Ia tahu benar ke mana arah pembicaraan itu. Gelang manik merah saga, lukisan anak-anak, rumah di pegunungan, semua itu seolah menjadi simbol-simbol yang terserak. Seumpama puzzle, serakan itu akan membentuk lukisan bercerita, jika saja digabungkan. Sayangnya, puzzle tersebut berkaitan dengan mimpi dan kehidupan di masa lalu yang dianggap pahit.
Tak ingin memantik perdebatan, Yanto diam. Baginya, bicara atau menanggapinya, adalah jebakan yang akan membawa mereka terperosok lebih dalam ke masa lalu. Terlebih, ia sadar jika perjalanan yang kini dilakukan, memang mengarah ke masa lalu.
Dalam hati ia berpikir, apa yang dikatakan Risti, mungkin saja benar. Mengubur masa lalu, memang mudah untuk dikatakan. Namun, bagaimana caranya? Ia tak pernah tahu dan tak ada seorang pun yang tahu. Bagaimana pun masa lalu tak lebih dari sekadar kenangan. Dan kenangan hanyalah bayangan yang hidup di alam ingat. Bahkan, kenangan tak pernah mati kendati aktor utamanya telah mati.
Seperti halnya sejarah yang senantiasa hidup, selama ada generasi yang menceritakannya. Seperti juga beragam kisah dari generasi ke generasi mengenai Terowongan Ijo yang kini dilewati. Kisah yang buruk, sudah pasti akan membekas sebagai trauma. Sementara kisah baik tentunya akan membuat berbunga-bunga. Lantas bagaimana mungkin seseorang bisa mengubur kenangan?
Laju kereta terus membawa mereka dari persinggahan ke persinggahan. Tak ada percakapan panjang, selain pertanyaan dengan jawaban tetutup. Perjalanan semakin sepi, hanya raung kereta yang sesekali mengisi kekosongan. Hingga sampai di perhentian terakhir, mereka tetap dalam kondisi berjarak seperti itu. Mungkin benar jika kebahagiaan mudah sekali dirusak oleh hal yang sangat sederhana.
***
Matahari sudah teramat rabun, Risti menenggelamkan kesedihannya di halaman belakang. Air matanya berderai di bawah pohon semboja, saat ia melakukan ritual tabur bunga. Tiga tahun sudah, anak semata wayangnya dikebumikan di tanah ini. Tiga tahun juga ia dirundung duka yang mendalam.
Ia beranjak saat Yanto memanggilnya. Langkahnya terlihat tegap dan teratur, berbanding terbalik dengan jiwanya yang rapuh. Sementara wajahnya yang becek, dibiarkannya seperti itu.
Ia yang percaya bahwa air mata adalah titisan jiwa yang murni, selalu menganggap bahwa air yang menyungai di pipinya itu bak gangga yang suci. Karenanya, ia selalu membiarkan setiap aliran dan rebesan air mata air sebagai media penyuci wajahnya.
“Kau benar!” kedua tangannya melingkar di pinggang Yanto.