Sebagai pelukis, lanskap dan lekuk pegunungan yang berjejer di matanya adalah mahakarya. Binar mata Risti, benar-benar tersihir oleh panorama yang membuatnya takjub. Sesekali, ia mengusap kaca jendela kereta yang rabun tersebab uap napasnya. Ia tak rela jika pandangannya menjadi kabur. Benarlah kiranya ungkapan yang menyebutkan bahwa bahagia itu sederhana.
“Lihatlah!” telunjuknya mengarah ke jalan panjang yang baru saja dilintasi.
“Kenapa?” Yanto menyahut.
Nada lelaki itu memang biasa, namun kerut di keningnya menunjukkan ada yang tak biasa dari tanggapan tersebut. Ia memang tak tahu tapi ingin mencari tahu, apa yang sedang melintas di pikiran perempuan di sampingnya itu.
“Ahh! Kau melewatinya!”
“Apanya yang terlewat? Memang kenapa?”
Perempuan bergelang manik merah saga itu, lantas bercerita tentang isi lukisan alam anak TK atau SD. Punggungan gunung, sawah, mentari, awan, burung, rumah tua dan tentu saja jalan berliku yang berujung di kaki gunung. Lukisan yang juga berkaitan dengan impiannya. Ia kemudian menempatkan jalan yang dilihatnya itu pada lukisan yang sedang diceritakannya.
“Mirip bukan?”
“Apanya? Biasa saja!”
“Aku semakin percaya! Gambaran anak-anak yang seragam itu, memang diturunkan langsung oleh Tuhan.”
“Maksudmu, seperti wahyu?”
Risti membenarkan dengan penjelasan. Sekali pun belum bisa melihat dan tak ada yang mengajari, bayi bisa bergerak sendiri ke arah tetek ibunya di saat lapar. Begitu pun dengan anak-anak. Sekali pun tak ada yang mengajari dan tak pernah melihat secara langsung, setiap anak bisa memiliki gambaran dan pola yang sama saat melukis pemandangan. Dengan semangat ia merunut dasar-dasar tentang teori wahyu yang sedang dibangunnya.
“Jika dikatakan insting, dari mana datangnya jika tak ditunjukkan langsung oleh Tuhan?”
“Kamu memang di atas rata-rata!”
“Apanya?”
“Khayalanmu!”
Seketika tubuh kecilnya membalik searah dengan tatapan matanya. Dan cubitan manja pun mendarat di lengan kiri Yanto. Sikapnya terasa manja. Namun, justeru karena sikap seperti itulah yang seringkali membuat orang-orang di sekelilingnya merasa nyaman.
“Sudah! Sudah!” Yanto sedikit menjauh, tapi sama sekali tak ingin menepis jemari mungil yang menempel di lengannya. “Kau tak ingin melepasnya?”
“Sakit ya? Maaf!” ia mengusap-usap bekas cubitannya.
“Maksudku gelang manik itu! Sudah tiga tahun lebih melingkar di lenganmu.”
“Belum ada penggantinya!” Jawabnya cepat, secepat tarikan tangannya. “Dan tak mungkin terganti!”
Kedua tangannya kini terlipat di depan dada. Seolah ingin menyembunyikan gelang manik tersebut dari tatapan Yanto. Begitu pun dengan palingan wajahnya yang kembali dihadapkan pada kaca jendela. Namun, kali ini sikapnya berbeda. Ia hanya duduk terdiam dengan tatapan yang menerawang bayangan di dalam kepalanya.
“Hei! Ayolah! Bukankah kau sudah janji akan menikmati perjalanan ini?” Senggolan lengannya, mencoba membangunkan Risti dari lamunan.
“Aku hanya lelah!”
Kilahnya tersebut, tentu saja menjadi hal yang kontras dengan keantusiasan yang baru saja ditunjukkan. Tak perlu bertanya mengapa atau ada apa, Yanto sangat tahu alasan di balik perubahan sikap tersebut. Tapi, ia bisa apa? Wanita sensitif yang dihadapinya ini, akan bertambah peka jika salah satu sisi sensitifnya tersentuh. Terlebih jika berhubungan dengan gelang manik yang digunakannya itu.
“Lihatlah gunung itu! tidak terlalu tinggi, tapi...”
“Itu bukit.” potongnya.
Nadanya memang ketus, namun Yanto merasa itu lebih baik daripada dijawab dengan sikap acuh. Itu artinya, ada harapan untuk menuju ke suasana yang lebih baik dari yang dihadapinya kini. Kendati ia pun tahu, apa yang diucapkannya kemudian, akan terus menjadi hal yang salah di mata Risti.
“Ya, bukit itu. Coba kau bayangkan, rumah sederhana, kolam ikan di halaman dan pemandangan yang indah. Bukankah cocok dengan mimpi kita?”
“Seperti kuburan!”
“Hei! Ayolah! Jangan kau rusak hari bahagia ini dengan masa lalu! Aku tahu itu pahit, tapi kau tak bisa terus-menerus mengikuti bayang-bayang.”
“Kau tak tahu dan tak mengerti! Tak akan mengerti!”
“Aku memang tak mengerti dan tak akan mengerti apa yang ada di jalan pikiranmu. Setidaknya, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan! Ingat, aku ada saat itu! Aku minta, kuburlah masa lalu itu!”
“Jika itu yang kau minta, apa salah jika aku menyebut bukit itu sebagai kuburan?”
Yapto tertegun. Ia tahu benar ke mana arah pembicaraan itu. Gelang manik merah saga, lukisan anak-anak, rumah di pegunungan, semua itu seolah menjadi simbol-simbol yang terserak. Seumpama puzzle, serakan itu akan membentuk lukisan bercerita, jika saja digabungkan. Sayangnya, puzzle tersebut berkaitan dengan mimpi dan kehidupan di masa lalu yang dianggap pahit.
Tak ingin memantik perdebatan, Yanto diam. Baginya, bicara atau menanggapinya, adalah jebakan yang akan membawa mereka terperosok lebih dalam ke masa lalu. Terlebih, ia sadar jika perjalanan yang kini dilakukan, memang mengarah ke masa lalu.
Dalam hati ia berpikir, apa yang dikatakan Risti, mungkin saja benar. Mengubur masa lalu, memang mudah untuk dikatakan. Namun, bagaimana caranya? Ia tak pernah tahu dan tak ada seorang pun yang tahu. Bagaimana pun masa lalu tak lebih dari sekadar kenangan. Dan kenangan hanyalah bayangan yang hidup di alam ingat. Bahkan, kenangan tak pernah mati kendati aktor utamanya telah mati.
Seperti halnya sejarah yang senantiasa hidup, selama ada generasi yang menceritakannya. Seperti juga beragam kisah dari generasi ke generasi mengenai Terowongan Ijo yang kini dilewati. Kisah yang buruk, sudah pasti akan membekas sebagai trauma. Sementara kisah baik tentunya akan membuat berbunga-bunga. Lantas bagaimana mungkin seseorang bisa mengubur kenangan?
Laju kereta terus membawa mereka dari persinggahan ke persinggahan. Tak ada percakapan panjang, selain pertanyaan dengan jawaban tetutup. Perjalanan semakin sepi, hanya raung kereta yang sesekali mengisi kekosongan. Hingga sampai di perhentian terakhir, mereka tetap dalam kondisi berjarak seperti itu. Mungkin benar jika kebahagiaan mudah sekali dirusak oleh hal yang sangat sederhana.
***
Matahari sudah teramat rabun, Risti menenggelamkan kesedihannya di halaman belakang. Air matanya berderai di bawah pohon semboja, saat ia melakukan ritual tabur bunga. Tiga tahun sudah, anak semata wayangnya dikebumikan di tanah ini. Tiga tahun juga ia dirundung duka yang mendalam.
Ia beranjak saat Yanto memanggilnya. Langkahnya terlihat tegap dan teratur, berbanding terbalik dengan jiwanya yang rapuh. Sementara wajahnya yang becek, dibiarkannya seperti itu.
Ia yang percaya bahwa air mata adalah titisan jiwa yang murni, selalu menganggap bahwa air yang menyungai di pipinya itu bak gangga yang suci. Karenanya, ia selalu membiarkan setiap aliran dan rebesan air mata air sebagai media penyuci wajahnya.
“Kau benar!” kedua tangannya melingkar di pinggang Yanto.
“Tentang apa?” ia menenggelamkan Risti dalam pelukan.
“Maukah kau membuat lagi gelang yang baru?”
Perlahan Yanto melepas dekapannya. Kedua tangannya menelusuri bahu, lengan hingga ke pergelangan Risti.
“Ke mana gelangmu?”
“Masa lalu memang harus dikubur!”
“Lalu?”
Melihat kejanggalan meresapi raut muka Yanto, Risti tersenyum sambil mengusapi perutnya. Seketika, terpancarlah kebahagiaan dalam rona mentari yang tenggelam.
***
~hers,10216
wakwaw
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H