Mohon tunggu...
Jefara Saputra
Jefara Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya membaca dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Program peer support,bimbingan konseling dan layanan psikososial.

21 Januari 2025   08:11 Diperbarui: 21 Januari 2025   08:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konselor dalam menghadapi perbedaan dan keragaman budaya tidak cukup

hanya dengan penggunaan pendekatan konvensional, diperlukan Konseling

multikultural yang menurut VonTress (1988) dalam Dayaksini & Yuniardi (2008:

175) merupakan "konselor dan konselinya berbeda secara kultural karena proses

sosialisasi yang berbeda dalam budaya, subkultur, rasial, etnik, atau sosial

ekonomi". Sementara budaya sebagai hubungan konseling dimana dua atau lebih peserta berbeda

berkenaan dengan latar belakang budaya, nilai nilai, dan gaya hidup (life style).

Sepertiga definisi mempertimbangkan konseling multikultural sebagai suatu situasi

dimana dua orang atau lebih dengan cara yang berbeda dalam memandang

lingkungan sosial mereka yang di bawa secara bersama dalam suatu hubungan yang

sifatnya menolong Pedersen, 1988 (Yuniardi, 2017).

Konseling multikultural tidak mengabaikan pendekatan tradisional yang

monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya beragam

(Rakhmat, 2008), tujuannya adalah memperkaya teori dan metode konseling yang

sesuai dengan konteks. It is important to understand that also the emergence of

multicultural thinking in various sciences and helping professions can be understood as a

part of more general developmental trends in our societies -- without forgetting that new

ideas always need individuals who are willing to commit themselves to presenting and

facilitating the new ideas with enthusiasm and persistence. (Launikari and Puukari, 2005).

Berkembangnya konseling multikultural dikarenakan kebutuhan masyarakat yang

beragam, dan masyarakat Indonesia yang hidup dalam keberagaman budaya, suku

agama dan sosial ekonomi. Gagasan baru selalu membutuhkan individu individu

yang bersedia memfasilitasi ide baru dengan antusiasme dan ketekunan, maka dari

itu konseling multikultur perlu dilaksanakan dengan kondisi keberagaman dan

berbagai faktor psikososial yang berkembang dimasyarakat Indonesia.

Gagasan baru mengenai konseling multikultural di Indonesia dan diperlukan

kompetensi yang utama dari konselor multikultur, Pedersen (2003), bahwa

kesadaran merupakan pondasi dan modal dari kompetensi multikultural, Cultural

awareness berimplikasi pada perubahan paradigmatik dalam dimensi konseling, the

main features of cultural competence are counselor self-awareness, knowledge about culture,

and skills. This belief is consistent with the multicultural counseling competencies developed

by Sue, Arredondo, and McDavis 1994 (Zalaquett, et all 2011), kompetensi utama bagi

konselor multikultur yakni kesadaran diri akan kehidupan budaya sebagai konselor

dan budaya orang lain, memiliki pengetahuan tentang budaya dan perbedaaan

budaya, serta memiliki keterampilan untuk menyikapi perbedaan budaya. Oleh

karena itu upaya nyata untuk mengintegrasikan pengetahuan tentang dua budaya

dan pengalaman hidup di kedua budaya memberi ruang lingkup refleksi dan

dipromosikan kesadaran diri konselor.

Corey (2005:24) mengemukakan bahwa dalam konseling multikultural

memiliki tiga dimensi kompetensi, yaitu : (1) Keyakinan dan sikap, (2) Pengetahuan,

dan (3) Keterampilan dan strategi intervensi. Keyakinan dan sikap konselor

menyangkut persoalan bias personal, nilai-nilai dan masalah yang akan dihadapi

serta kemampuan bekerja dalam perbedaan budaya, sedangkan faktor pengetahuan

menyangkut kemampuan membangun komunikasi personal secara profesional 

untuk memberikan layanan kepada klien dengan pemahaman latar belakang

budaya yang beragam. Kompetensi yang tidak kalah pentingnya adalah ketrampilan

menggunakan metode dan strategi dalam menjelaskan tujuan konseling secara

konsisten dalam latar perspektif budaya yang bervariatif. Cultural competence, as it

relates to the behavioral sciences, refers to "...the capacity to draw effectively upon cultural

knowledge, awareness, sensitivity, and skillful actions in order to relate appropriately to, and

work effectively with,others from different cultural backgrounds" Sperry, L, 2012 (Conner

& Walker, 2017). Kompetensi budaya berhubungan erat ilmu perilaku manusia,

mengacu pada kemampuan untuk menggambarkan secara efektif mengenai

pengetahuan tentang budaya, kesadaran, kepekaan dan tindakan terampil agar

konselor dapat dengan efektif bekerja pada kondisi latar belakang budaya klien

yang berbeda.

Secara komplek, Manuel Ramirez, 2015 (Wibowo & Anjar, 2017) menjelaskan

bahwa

". The multiculturalmodel has two categories of goals: individual and

institutional, or societal, goals. Individual goals emphasize self-understanding

and self-acceptance. In addition, the model encourages understanding the

effects of person environment fit on personality development and adjustment.

Multicultural therapy seeks to empower the client to produce significant

environmental changes. Institutional and societal goals focus on the

identification andelimination of barriers to multicultural development, and on

replacing thosebarriers with the positive politics of diversity in families,

interpersonal relationships, institutions, and in society as a whole".

Pelaksanaan konseling multikultural bukan sekedar tercapainya pemahaman

dan penerimaan diri individu, akan tetapi secara luas mencakup berbagai

pengentasan kecemasan akibat perubahan sosial, hubungan interpersonal,

hubungan dengan lingkungan dan lain lain yang disebabkan berbagai hal baik

perubahan paradigm kebijakan, teknologi dan lain lain. Berupaya menyadarkan

konseli agar bisa mengahasilkan perubahan lingkungan yang signifikan, tujuan

institusional dan sosial berfokus pada identifikasi hambatan yang bersumber dari

kondisi multikultur dan menghambat perkembangan multikultur itu sendiri serta

menggantikan daerah dengan politik positif keragaman dalam keluarga, hubungan

interpersonal, institusi dan masyarakat secara keseluruhan.

Tantangan Konselor dalam Konseling Multikultur Abad 21

Tantangan bagi konselor mempengaruhi etika profesional dalam bekerja,

mempengaruhi kepribadian termasuk kesadran diri profesional dan keterampilan

konselor. Pedersen 1997, (Ahmed, et all. 2011).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun