“Hitam? Coklat? Mungkin dengan selingan uban dan kutu-kutu yang membuat gatal. Itu sebabnya kusembunyikan dalam kerudung ini, Josh,” sahut Jannah seraya mengalihkan pandangannya dari terkaman mata Josh.
“Oh, give me a clue, please. Supaya fantasiku tentangmu mendekati sempurna,” Josh menghiba.
Jannah tertawa, lepas, tidak setengah-setengah seperti perempuan Jawa di masa strata masih sangat dipuja. “Sebatas ketiakku, semoga itu dapat membantu.”
“Well, itu sangat membantu, thank you.”
Lalu keduanya serempak tertawa. Dan dedaun kecoklatan pun berguguran karenanya. Selesa tawa mengudara, selesa itu keheningan lekas tercipta di antara mereka berdua. Beberapa pelancong sibuk mengarahkan lensa kameranya, sebagian berbincang tentang gedung yang menjadi kantor sekaligus kediaman pemimpin negara adi kuasa ini, pria-pria berseragam mondar-mandir, beberapa ada yang menunggang kuda dengan gagahnya. Tak lama lagi halaman berselimut rumput hijau di balik pagar besi itu akan tertutupi dedaun coklat yang meluruh di setiap penjuru negeri. Musim gugur takkan bertahan. Musim berikutnya akan mengubah lansekap menjadi kristal-kristal dingin dan membekukan. Dan entah bila keriangan ini akan berkelanjutan…
“Please, Josh, don’t look at me like that,” Jannah tunduk sedalam-dalamnya. Andai ayah melihatnya duduk berduaan, walau di lahan terbuka, pastilah beliau kan murka. Andai ayah tahu, semburat kemerahan yang sulit ia sembunyikan di bawah tatapan tajam pria yang seumur hidupnya tak pernah berpuasa ini apalagi mengerti tentang shalat lima waktu yang tak boleh ditinggalkan walau dalam keadaan apapun kecuali saat sukma bercerai raga. Maafkanku ayah…
“Jangan hentikan aku, tidak Jannah, kau tak dapat menghentikanku sepuasnya memandangmu. Sebab dengan begitu kuharap bisa meruntuhkan benteng Takeshimu.”
“What?” Jannah tertawa lagi. Pria ini benar-benar kampiun membuatnya tenggelam dalam bahagia. Mungkin inilah godaan syaitan yang senyatanya. “Benteng Takeshi, did you say?” Jannah kian terbahak, debar-debar yang sesaat hendak runtuhkan itu menghablurlah. “Kau dan kosakata gilamu itu, Josh. Ampuun deh.”
Jannah menutupi wajahnya dengan rumbai kerudungnya. Oh, ayah, maaf, maaf. Ya, ayah, aku sadar kesenangan macam ini sangatlah dekat dengan syaitan. Tapi ayah, aku juga perempuan biasa. Rasa ini sungguh luar biasa, ayah. Bantu aku agar tak terlena dan hilang waspada, ayah. Beri aku kekuatan dengan doa-doa yang tak pernah putus di sepertiga malammu.
“Aku tahu tentang daging babi, anjing dan alcohol. It is a NO, right?” Josh bertanya.
“Yeah, you’re right. Absolutely NOT,” Jannah menyahut penuh ketegasan.