Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jannah dan Janji Josh

11 Januari 2016   19:57 Diperbarui: 12 Januari 2016   13:35 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jannah tersenyum. Ceruk kecil di pipinya timbul tenggelam seiring gerakan tulang wajahnya. Gadis itu berulang kali berusaha untuk selangkah di belakang Josh, namun entah pria itu tahu atau tidak maksudnya, sepertinya tidak, karena Josh pun terus berupaya mensejajarkan langkah. Jannah ngeri membayangkan pundaknya bersentuhan dengan, hm, mungkin lengan besar itu, atau saling beradu pundak karena Josh, layaknya seorang gentleman, tak henti bergerak melindunginya dari turis lokal yang banyak bersliweran di depan “The Executive Mansion”, gedung bercat white-gray sandstone yang karenanya pula disebut White House. Josh tengah menepati janji menemaninya melihat Gedung Putih yang ikonik itu di masa libur keduanya.

“A-ah, mengapa aku harus repot bertanya, ya? Come on, angel, ini kan hanya sehelai kain, ”Josh berkata seraya menahan diri agar tangannya kali ini tak tergoda menyentuh ceruk kecil di pipi itu, setelah sebelumnya ia nyaris meraih rumbai kerudung Jannah.

“Kau benar. Ini hanya sehelai kain, bahkan harganya pun tak lebih dari 5 bucks. Tapi inilah kehormatanku, Josh. Aku juga takut, sekali kau kubiarkan menyentuhnya, lepas itu kaupun lantas ingin tahu apa yang ada di balik kain tak berharga ini, “suara Jannah bergetar. Panggilan “angel” itu menelusup jauh ke relung hatinya. Dingin, sejuk, dan menentramkan. Ia lekas teringat ayah. Satu-satunya pria yang sekian lama ini selalu memanggilnya “bidadariku, my little angel, my sunshine, peri kecilku.” Sekarang Josh meng-copy-nya. Andai saja ayah mendengarnya, maka sudah barang tentu habislah si Josh yang dianggapnya terang-terangan menantang sebagai rivalnya. Bule ini pasti sudah dijerembabkannya ke kandang bersama kawanan sapi. Jannah tak sadar tersenyum geli.

“Apakah itu berarti kau masih perawan, Jannah?”

“Oh, you! Kau dan pertanyaanmu itu. One hundred percent yes, and that’s for sure, Josh!” Jannah merengut. Kerling matanya berhasil mencuri sesisi wajah Josh. So manly. Pipinya pun menghangat seketika. Andai ayah memergokinya berzinah mata macam begini, tak tahu berapa hari ia kan mendekam dalam kurungan kamarnya sendiri.

“Gosh! Perawan? Memang berapa umurmu, dear?”

“Kau bule gendeng! Beraninya menanyakan usia kepada perempuan, itu tabu, tahu?!” Jannah membelalakkan matanya garang. “Well, cukup tua untuk punya anak dua,” jawab enteng Jannah.

“Auw, god damn it, itu mubadzir sekali bukan?”

“Hahaha! Darimana kau tahu muhrim, dan sekarang mubadzir? Itu kata serapan dari bahasa arab yang umumnya tidak diketahui seorang alien sepertimu!” Jannah terpingkal-pingkal. Andai ayah mendengar diskusi konyol ini. Andai ayah mendengar apa-apa yang ditanyakan dan dikomentari si cablak Josh. “Mubadzir ndasmu atos, Josh!” Jannah membuang snapback milik Josh. Oh, andai ayah juga mendengar betapa fasihnya sekarang ia memaki. Maaf ayah…

Josh memungut topinya, mengembalikan snapback hitam itu ke tempatnya semula, di atas rambut ikal coklat keemasan yang sangat dikagumi Jannah. Ia membiarkannya melewati batas tengkuk, sedikit saja, karena ia tak suka terlalu panjang, gerah, walau rambut panjang ala rocker selalu digilai perempuan Asia. Dan, hmm, angin kering dingin yang dibawa musim gugur ini, berlari riang mencandai rambutnya. Josh memejamkan mata. Membayangkan sepanjang apakah rambut yang memahkotai Jannah. Hitam? Coklat? Tapi tidak mungkin pirang, sebab Jannah pernah berkata tak tahan dengan aroma pewarna rambut, sewangi apapun itu. Bisa jadi itu hanya alasan, sebab Jannah yang dikenal sangat relijius ini –setidaknya bila dibandingkan dengan dirinya yang tak pernah mengunjungi rumah peribadatan apapun– hampir selalu memakai agama dengan segala kerumitan peraturannya sebagai alasan.

“Wanita Asia, mostly, mereka berambut hitam, benar? Jadi kurasa kaupun, hitam pula rambutmu. Panjang atau pendek?” Josh tak menutupi rasa penasarannya. Ditelitinya gadis yang kini duduk di sampingnya itu, berbalut sweater dengan bawahan yang selalu rok panjang, di ujung bawahnya Josh masih melihat kaki itupun terbungkus entah kaus kaki entah celana panjang, Josh bertekat hendak menanyakannya suatu saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun