“Mungkin setahun sekali atau kurasa kapanpun aku merindukan negerimu. Such a beautiful country,” terang si bule, rahangnya bergerak turun-naik dengan jejak kebiruan seperti habis bercukur, mungkin tadi pagi?
“Waw, very impressive,” Jannah menanggapi.
“Josh,” bule itu lalu mengulurkan tangannya.
Jannah meragu. Namun pada akhirnya menyambut jabat tangan itu dengan erat. Mungkin karena intuisi atau semacam dorongan sebagai efek dari binar keakraban dari pria ber-snapback itu. Atau mungkin karena tak ada ayah. Karena ia kini tengah sendiri, di negeri super dengan keterasingan yang juga super. Hm, sedang apakah ayah nun jauh di sana? Pasti tengah disibukkan dengan sapi-sapinya, kawanan memamah biak yang telah mengantarkannya ke negeri Paman Sam ini.
Itulah awal perkenalan mereka, Jannah dan Josh, dua anak manusia dengan segala perbedaan di hampir semua aspek kehidupannya yang sangat keduanya sadari. Namun sejak perjumpaan di taman nan asri depan gedung berdisain hijau yang berkharisma dan bangga menyandang nama besarnya, National Geographic Society DC, berangsur-angsur perbedaan pun bergeser. Hingga keduanya merasa perlu berupaya lebih untuk menemukan dan menggali lebih banyak lagi persamaan di antara mereka. Josh merasa beruntung dengan pengetahuannya yang sangat luas tentang alam serta bakat dirinya yang menguasai beragam alat musik. Dan keberuntungan itu seakan overwhelming saat mengetahui gadis yang unik dan sangat menarik hati ini pun menyukai musik. Jannah betah memeluk gitar untuk mengiringi suaranya yang jernih mengalun.
Jannah, pada suatu waktu yang ia sendiri tak pernah mengimpikannya, berhasil memenangi lomba karya tulis tentang “Alam, Lingkungan Hidup dan Keberlangsungan Spesies Dunia”, yang diprakarsai National Geographic. Tulisannya tentang kearifan lokal terhadap hewan ternak yang kerap dicap sebagai satu dari tiga kontributor utama penyokong gas metana, dianggapnya akan sangat tidak menarik dibandingkan isu tentang pembantaian Pilot Whale yang lama diperjuangkan Paul Watson bersama Sea Shepperd-nya. Namun siapa nyana, bila bintang fortuna ternyata jatuh kepadanya. Sekarang agaknya, fortuna itupun tengah menghampirinya lagi bersama kehadiran Josh atau Joseph Kenneth Bernstein seperti yang tertulis dalam tanda pengenalnya. Pria yang –setelah hampir empat bulan Jannah perhatikan– nyaris setiap saat ber-ripped jeans ini tercatat sebagai anthropologist juga aktif sebagai anggota organisasi Greenpeace yang ditunjuk menjadi salah satu tutor program edukasi lingkungan dunia bagi para pemenang lomba yang pesertanya datang dari seluruh negara di dunia.
“Amerika, wanita dengan segala kecantikannya ada. Pakistan, India, mereka memiliki wanita-wanita misterius dengan saree dan ragam budaya yang menakjuban. Lalu China, South Korea, South America, Africa, Balkan, well, yeah, aku sudah banyak berjumpa dengan banyak wanita, tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita macam dirimu, Jannah, “Josh memecah lamunan Jannah.
“Okay… So, macam apakah aku?” berdebar Jannah mengira jawaban.
“This,” Josh berusaha menjawil rumbai kerudung Jannah. “I guess, ini bukan sekedar syal atau fashion, benar?”
Jannah reflek mengelak dari tangan besar yang hendak menggapainya. “Sorry. Don’t touch me.”
“Why? Bukan muhrim, berdosa, heh?”