“Habiskan!”ulangnya. Tangannya menggebrak meja. Dan seperti anjing piaraannya aku melahapkue yang ada di meja itu tanpa tersisa. Hari-hari kulalui seperti anjing yangselalu menurut apa yang dikatakan Tuannya. Setiap waktu kulalui berada di dekatPak Susastio. Kecuali dia sedang ada urusan, dan malam hari saat aku lelap diperaduan. Saat itulah aku merasa bebas dari semua tekanannya.
Akhirnya tanpakesulitan yang berarti aku sudah pindah di sekolah yang jauh lebih baik darisekolahku sebelumnya. Entah bagaimana juga aku bisa masuk sekolah ini. Tapiyang menyenangkan hatiku hampir semua teman-teman menyambutku. Merekamenerimaku seutuhnya tidak seperti di sekolahku yang dulu. Tak ada orang yangmengejekku anak haram. Justru sebaliknya, mereka sangat menghargai aku. Mungkinhanya karena aku anak angkat mantan orang yang berkuasa di kota itu. Haha...coba kalau aku datang sebagai gembel. Tentu tak akan ada orang yang menengokku. Seolah-olah hidup hanya ternilai sebatas rupiah. Padahal dirumah itu pun aku sendiri tidak ada harganya. Aku sudah seperti anjing yangsetiap kali harus menjilati kaki Tuannya. Meski kelihatannya saat berangkat danpulang sekolah aku dijemput sopir. Tapi di rumah aku hanya boneka tempat untukpelampiasan amarah. Aku nyaris tak percaya bahwa hati nurani itu ada. Bahwakasih sayang sejati itu ada. Sepanjang hidupku aku mencarinya. Tapi kenyataanyang kudapatkan sebaliknya. Amarah dan ego mengikis naluri. Rasanya aku inginkembali pulang tapi kalau aku pulang, Ibu tidak akan mungkin meneruskan sekolahku, dan jalan satu-satunya aku harusbertahan. Bertahan, apa pun yang terjadidengan hidupku. Toh hidupku memang sudah tidak menentu. Yang harus aku pikirkansekarang adalah bagaimana sekolahku. Aku harus tetap sekolah. Aku tidak inginseperti Ibuku atau seperti ayahku. Aku tidak ingin seperti mereka. Aku bencimereka, yang tak pernah peduli padaku. Biarlah aku jadi anjing yang terusdicambuk dan menjilati kaki tuannya. Biarlah Ibuku bahagia dengan caranyasendiri. Biarlah….
Minggu pagi takada yang bisa aku kerjakan. Kucoba untuk mengisi waktuku dengan mencuci mobil.Sopir Pak Susastio yang bernama Pak Ryan itu tampak senang mobilnya kucuci. Akupun senang melakukannya. Lumayan buat sejenak melupakan semua masalah yang akuhadapi. Belum selesai aku mengerjakannya kurasakan ada seseorang yang sudahberdiri di belakangku.
“Syan, ikutbapak!”
“Sebentar, sayaganti pakaian, pak! “ ucapku.
“Masuk kemobil!” bentaknya. Aku tak mengerti dengan bapak angkatku. Sedikit pun akutidak diberi waktu untuk ganti pakaian. Padahal hanya kaos singlet dan celanakolor yang membalut tubuhku, itu pun basah. Bahkan aku pun tidak memakai alas kaki. Kuikuti saja apayang ia mau. Aku segera masuk ke mobil, duduk di belakang. Namun…
“Bapak yangdisuruh nyetir buat kamu? Duduk di depan!” Bentaknya.
Dan mobil, dengan satu letter angka itu sudah melaju dilalulintas kota. Di mobil, aku duduk diam di sampingnya, seperti anak kucingyang tersiram air. Aku diam tak berani bergerak.
“Itu apa?”Tiba-tiba tangan Pak Susastio menunjuk ke satu arah.
“Elizabet pak,Rumah Sakit Elizabeth”.
“Bagus,”katanya. Kembali tangannya menunjuksesuatu.