Mohon tunggu...
Izza Madani
Izza Madani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister PPKn Universitas Negeri Yogyakarta

Izza Madani menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Universitas Syiah Kuala, dengan gelar S1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan sekarang melanjutkan pendidikan S2 Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Negeri Yogyakarta. Selama masa perkuliahan, Izza Madani aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Dengan latar belakang pendidikan yang kuat dan pengalaman organisasional yang beragam, Izza Madani siap untuk menghadapi tantangan di masa depan, baik dalam karir profesional maupun dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Politik dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Konflik

1 Januari 2025   17:17 Diperbarui: 1 Januari 2025   17:16 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Politik dan pendidikan kewarganegaraan dalam konteks konflik di Indonesia mencakup berbagai aspek yang saling terkait antara pendidikan, politik, dan dinamika sosial. Dalam konteks Indonesia, pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berfungsi sebagai alat transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk membentuk karakter dan moralitas warga negara. Menurut Monaki et al. (2023), pendidikan kewarganegaraan memiliki peran strategis dalam menanggulangi konflik sosial dengan membentuk pemahaman nilai-nilai demokrasi dan toleransi di kalangan peserta didik.

Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dihadapkan pada tantangan besar, terutama dalam mengatasi isu-isu politik yang kompleks, seperti korupsi dan diskriminasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Yuhana & Fathurrohman (2021), pendidikan ini harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai konstitusional dan hak asasi manusia ke dalam kurikulum untuk membangun kesadaran kritis di kalangan siswa. Namun, implementasi pendidikan kewarganegaraan sering kali terjebak dalam praktik yang dangkal, lebih fokus pada penguasaan pengetahuan daripada pengembangan keterampilan berpikir kritis.

Dalam konteks konflik, pendidikan kewarganegaraan berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis. Harmanto (2013) menekankan bahwa pendidikan ini dapat membangun pola pikir yang damai dan toleran, yang sangat diperlukan untuk mengatasi potensi konflik di masyarakat multikultural Indonesia. Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan harus dirancang untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan di tengah keragaman etnis dan budaya.

Lebih lanjut, pendidikan kewarganegaraan juga berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan generasi muda agar terlibat aktif dalam proses politik. Menurut penelitian oleh Saud et al. (2020), keterlibatan politik kaum muda melalui media sosial menunjukkan bahwa mereka memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Pendidikan yang efektif dapat membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam kehidupan politik.

Namun, tantangan yang dihadapi pendidikan kewarganegaraan tidak hanya datang dari dalam sistem pendidikan itu sendiri, tetapi juga dari lingkungan sosial-politik yang lebih luas. Sebagai contoh, praktik politik uang dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas sering kali menciptakan ketidakadilan yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik (Yuhana & Fathurrohman, 2024). Oleh karena itu, penting bagi pendidikan kewarganegaraan untuk mengajarkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan agar siswa dapat memahami dan menanggapi isu-isu tersebut secara kritis.

Pendidikan kewarganegaraan juga harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan isu-isu global. Kalidjernih (2005) mencatat bahwa pembelajaran harus mampu menawarkan berbagai pilihan kepada peserta didik untuk memahami fenomena sosial yang kompleks. Dengan demikian, siswa tidak hanya dilatih untuk menjadi warga negara yang baik tetapi juga sebagai individu yang peka terhadap isu-isu global dan lokal.

Akhirnya, keberhasilan pendidikan kewarganegaraan dalam konteks konflik di Indonesia sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan ini harus dipandang sebagai gerakan sosio-kultural yang bertujuan untuk membangun karakter bangsa melalui partisipasi aktif (Widiatmaka, 2016). Dengan pendekatan ini, diharapkan pendidikan kewarganegaraan dapat menjadi solusi efektif dalam meredakan konflik dan membangun masyarakat yang lebih damai dan sejahtera.

Secara keseluruhan, tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara politik dan pendidikan kewarganegaraan dalam konteks konflik di Indonesia, dengan mempertimbangkan berbagai perspektif akademis serta tantangan praktis yang ada. Melalui analisis mendalam ini, diharapkan dapat ditemukan rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kewarganegaraan sebagai alat pembentuk karakter dan partisipasi politik warga negara.

Peran Politik Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara  

Politik memiliki peran sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena ia mengatur bagaimana kekuasaan dikelola, sumber daya didistribusikan, dan kepentingan berbagai kelompok diakomodasi. Politik menjadi sarana untuk mewujudkan kepentingan kolektif melalui kebijakan publik yang dirumuskan secara demokratis. Sebagaimana dijelaskan oleh Budiardjo (2003), politik berkaitan dengan tujuan dari seluruh masyarakat, termasuk cara untuk mencapainya, dengan melibatkan proses perumusan dan pengambilan keputusan yang mencakup aspek kekuasaan dan legitimasi. Dalam konteks bernegara, politik berfungsi untuk menjaga stabilitas, mengatasi konflik, dan memastikan kesejahteraan bersama. 

Salah satu peran penting politik adalah sebagai alat untuk membangun demokrasi. Melalui sistem politik yang demokratis, rakyat dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui pemilu, partisipasi dalam partai politik, atau gerakan sosial. Dalam konteks ini, partisipasi politik menjadi indikator penting dari budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, yang kemudian mencerminkan tingkat kesadaran dan kematangan politik warga negara. Dengan demikian, politik juga menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan sosial, memberikan ruang kepada kelompok marginal, dan memperjuangkan hak asasi manusia (Bendianto dkk, 2024).

Politik juga berperan dalam menciptakan stabilitas nasional. Dalam kehidupan bernegara, stabilitas menjadi prasyarat utama bagi pembangunan dan kemajuan bangsa. Politik menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui dialog, mediasi, atau lembaga perwakilan. Ketika proses politik berjalan dengan baik, ia dapat meminimalisasi potensi kerusuhan dan disintegrasi, serta memperkuat kohesi sosial. Menurut teori fungsi struktural dari Parsons (2013), politik berfungsi sebagai sistem untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat, dengan menjembatani berbagai kepentingan yang saling bertentangan. 

Selain itu, politik menjadi medium untuk mewujudkan visi dan misi negara. Dalam konteks Indonesia, politik bertujuan untuk merealisasikan cita-cita yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam perdamaian dunia. Oleh karena itu, peran politik tidak hanya terbatas pada lingkup domestik, tetapi juga pada hubungan internasional. Indonesia, misalnya, menggunakan diplomasi politik untuk memperkuat posisinya di tingkat global, menjalin kerja sama, dan mendukung stabilitas regional (Triningsih, 2017).

Dengan segala perannya, politik menuntut adanya aktor-aktor yang memiliki integritas dan kompetensi. Ketika aktor politik gagal menjalankan perannya dengan baik, politik dapat menjadi sumber korupsi dan konflik. Oleh karena itu, pendidikan politik dan penguatan budaya politik yang sehat menjadi penting untuk memastikan bahwa politik benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan kebaikan bersama. 

Hubungan Politik dan Pendidikan Kewarganegaraan  

Politik dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki hubungan erat karena keduanya berfokus pada pembentukan individu yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga negara yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik, di sisi lain, merupakan ruang di mana nilai-nilai dan tindakan kewarganegaraan tersebut diterapkan dalam pengambilan keputusan publik dan kehidupan bersama (Hermawan, 2013).

Menurut Winataputra (2016), Pendidikan Kewarganegaraan adalah sarana untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, demokrasi, dan hak asasi manusia yang menjadi landasan kehidupan politik. Proses pendidikan ini bertujuan membangun pemahaman individu tentang sistem politik, meningkatkan partisipasi dalam kehidupan politik, serta mendorong keterlibatan dalam menciptakan kebijakan publik yang adil. Hubungan ini menegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan menjadi alat strategis dalam membangun budaya politik yang demokratis dan inklusif.

Poston dan Micklin (2005) menekankan bahwa sistem pendidikan merupakan institusi penting dalam proses sosialisasi politik. Dalam konteks ini, PKn memberikan pemahaman kepada siswa mengenai struktur pemerintahan, peran institusi politik, serta mekanisme demokrasi. Sosialisasi politik ini bertujuan untuk menciptakan warga negara yang memahami cara kerja politik dan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses politik, baik melalui pemilu, dialog kebijakan, maupun aktivisme sosial.

Secara praktis, PKn memainkan peran penting dalam membentuk budaya politik masyarakat. Budaya politik, menurut Almond dan Verba (1963), adalah pola orientasi warga terhadap sistem politik dan peranannya di dalamnya. Pendidikan Kewarganegaraan membantu membentuk budaya politik partisipan, di mana individu memiliki kesadaran tinggi untuk terlibat dalam proses politik, dibandingkan budaya politik parokial yang pasif.

Studi oleh Print (2009) menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan yang berkualitas dapat meningkatkan keterlibatan politik generasi muda. Ditemukan bahwa siswa yang mendapatkan pendidikan kewarganegaraan dengan pendekatan partisipatif lebih cenderung memiliki sikap kritis dan kesadaran politik dibandingkan mereka yang hanya menerima pendidikan secara pasif. Hal ini membuktikan pentingnya pendekatan interaktif dalam PKn untuk mendorong partisipasi politik.

Kesimpulannya, hubungan antara politik dan Pendidikan Kewarganegaraan terletak pada perannya dalam membangun warga negara yang sadar politik, aktif, dan bertanggung jawab. PKn menjadi media strategis untuk menanamkan nilai-nilai politik yang demokratis dan membangun budaya politik yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan untuk mengintegrasikan nilai-nilai politik ke dalam kurikulum PKn agar tercipta masyarakat yang lebih partisipatif dan demokratis.

Politik dan Konflik Sosial di Indonesia

Konflik sosial, terutama yang memiliki dimensi politik, merupakan fenomena yang kompleks dan sering kali muncul akibat perbedaan kepentingan, identitas, dan distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Di Indonesia, konflik politik sering berakar pada faktor sejarah, identitas etnis, agama, dan ketidakadilan sosial. Selain itu, lemahnya institusi politik dan kurangnya pengelolaan konflik secara efektif turut memperburuk situasi. Berikut ini merupakan faktor penyebab konflik politik :

Ketidakadilan Ekonomi dan Sosial; Ketimpangan ekonomi dan distribusi sumber daya yang tidak merata sering memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakadilan ini dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memobilisasi massa dalam upaya menuntut perubahan politik. Misalnya, konflik di Aceh sebagian dipicu oleh eksploitasi sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi yang dirasakan tidak memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal (Ross, 2005). 

Identitas dan Politik Etnis; Identitas etnis atau agama sering menjadi basis mobilisasi dalam konflik politik. Di Indonesia, perbedaan identitas seringkali diperkuat oleh sejarah marginalisasi kelompok tertentu. Contohnya adalah konflik di Maluku yang terjadi pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, di mana ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen meningkat akibat politisasi identitas agama (Van Klinken, 2007). 

Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Penerapan desentralisasi pasca-reformasi membawa tantangan baru dalam pengelolaan konflik politik. Di satu sisi, desentralisasi memberi kesempatan bagi daerah untuk mengelola sumber daya sendiri, namun di sisi lain, hal ini memunculkan persaingan baru atas kekuasaan di tingkat lokal yang terkadang berujung konflik (Santoso, 2012).

Lebih lanjut, berikut ini dapat diuraikan sejumlah studi kasus konflik politik di Indonesia :

Konflik di Aceh; Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Faktor utamanya adalah ketidakpuasan terhadap pembagian hasil sumber daya alam dan keinginan masyarakat Aceh untuk mengelola kekuasaan secara otonom. Kesepakatan damai melalui MoU Helsinki pada 2005 menjadi solusi penting yang mengakhiri konflik ini dengan memberikan otonomi khusus kepada Aceh (Stegmann, 2010).  

Konflik di Maluku; Konflik di Maluku dimulai pada tahun 1999 sebagai konflik horizontal antara komunitas Muslim dan Kristen. Namun, konflik ini segera berkembang menjadi konflik politik dengan campur tangan elite lokal dan nasional. Ketidakmampuan negara dalam mengelola keragaman agama dan identitas di Maluku memperpanjang kekerasan hingga beberapa tahun sebelum berhasil diredakan (Van Klinken, 2007). 

Konflik di Poso; Konflik di Poso yang memuncak pada tahun 1998-2001 adalah salah satu contoh konflik sosial-politik yang dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan di tingkat lokal dan politisasi identitas agama. Faktor utama yang memperburuk konflik ini adalah lemahnya penegakan hukum dan kurangnya upaya rekonsiliasi yang efektif pada tahap awal konflik (McRae, 2013). 

Konflik politik di Indonesia mencerminkan interaksi kompleks antara berbagai faktor struktural dan non-struktural, seperti ketimpangan ekonomi, politisasi identitas, dan kelemahan institusi. Penyelesaian konflik memerlukan pendekatan holistik yang mencakup penguatan institusi negara, peningkatan keadilan sosial, dan pengelolaan keberagaman secara inklusif. 

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Alat Mitigasi Konflik 

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan sarana strategis untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, kerukunan, dan kesadaran kritis dalam masyarakat yang pluralistik. Sebagai upaya mitigasi konflik, PKn dirancang untuk membekali individu dengan kemampuan berpikir kritis, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan. Menurut Istianah dkk (2024), PKn dapat membangun kesadaran akan pentingnya keberagaman sebagai kekayaan bangsa serta mengajarkan keterampilan menyelesaikan konflik melalui dialog dan pendekatan damai. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat yang kerap menghadapi konflik sosial akibat perbedaan identitas, agama, maupun kepentingan politik. 

Lickona (2013) menekankan bahwa pendidikan kewarganegaraan memainkan peran kunci dalam pengembangan karakter warga negara. Dengan fokus pada penguatan nilai-nilai demokrasi, seperti keadilan dan kesetaraan, PKn mampu menciptakan individu yang memiliki kepekaan terhadap potensi konflik dan mampu mengelola perbedaan tanpa kekerasan. Konsep ini didukung oleh pendapat Banks (2006), yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural dalam PKn dapat membantu membangun inklusivitas di tengah keragaman, sehingga mencegah eskalasi konflik menjadi kekerasan. 

Selanjutnya, penelitian Mazid & Istianah (2023) menunjukkan bahwa PKn yang berorientasi pada pendidikan perdamaian memiliki dampak positif dalam menurunkan sikap intoleransi di kalangan pelajar. Dengan metode partisipatif, seperti diskusi kelompok dan simulasi, siswa diajak untuk memahami perspektif pihak lain dalam konflik. Hal ini sejalan dengan pendekatan pendidikan konflik oleh Galtung (1996), yang menekankan pentingnya membangun "positive peace" melalui transformasi nilai dan perilaku masyarakat. 

Secara implementasi, PKn juga menjadi media untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, melalui pembelajaran kolaboratif, siswa diajarkan untuk mempraktikkan musyawarah dalam mengambil keputusan, sebagaimana diatur dalam sila keempat Pancasila. Latihan ini menjadi bekal penting untuk menghadapi situasi konflik dalam masyarakat yang membutuhkan penyelesaian berbasis konsensus. Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya menjadi alat untuk menanamkan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam membangun budaya damai di masyarakat. Melalui pendekatan ini, PKn mampu menjadi salah satu strategi mitigasi konflik yang efektif di berbagai konteks sosial. 

Peran PKn dalam Mempromosikan Toleransi dan Resolusi Konflik

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki peran penting dalam mempromosikan toleransi dan resolusi konflik di tengah masyarakat yang multikultural. PKn dirancang untuk membentuk warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya serta memiliki nilai-nilai demokratis, termasuk toleransi, penghargaan terhadap keberagaman, dan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai. Menurut Jannah & Sulianti (2021), PKn bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan warga negara yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga memungkinkan peserta didik untuk memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebangsaan yang harmonis di tengah perbedaan.

Salah satu aspek utama dalam PKn adalah pendidikan toleransi. Menurut (Suharyanto, 2013), toleransi adalah sikap menghormati dan menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hal budaya, agama, maupun pandangan politik. Melalui pembelajaran PKn, siswa diajak untuk memahami keragaman sebagai kekayaan bangsa dan mengembangkan empati terhadap perbedaan. Dengan cara ini, PKn berkontribusi dalam mencegah potensi konflik yang muncul akibat kesalahpahaman atau prasangka antar kelompok.

Dalam konteks resolusi konflik, PKn juga berperan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan mediasi dan negosiasi. Dahrendorf (2006) menyatakan bahwa konflik merupakan bagian alami dari interaksi sosial yang perlu dikelola secara konstruktif. Pembelajaran PKn dapat memberikan pengetahuan tentang strategi resolusi konflik, seperti komunikasi yang efektif, pemahaman perspektif pihak lain, dan pencarian solusi win-win. Melalui simulasi atau studi kasus, siswa dilatih untuk menerapkan keterampilan ini dalam situasi nyata, sehingga mampu menjadi agen perdamaian di komunitasnya.

Lebih lanjut, penelitian oleh Istianah dkk, (2023) menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan berbasis nilai dalam PKn efektif dalam membangun sikap toleransi dan kemampuan menyelesaikan konflik pada siswa. Dengan menggunakan metode diskusi kelompok dan pembelajaran kolaboratif, siswa lebih mampu memahami pentingnya dialog dan kerja sama dalam menyelesaikan masalah sosial.

Oleh karena itu, PKn tidak hanya menjadi sarana pembelajaran tentang kewarganegaraan, tetapi juga alat strategis untuk membentuk masyarakat yang damai dan harmonis. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan resolusi konflik ke dalam kurikulum, PKn berkontribusi signifikan dalam menjaga keutuhan sosial di tengah keberagaman budaya Indonesia. 

  • Implementasi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia 

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Indonesia bertujuan untuk membentuk warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan memiliki komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia. Kurikulum PKn dirancang untuk memupuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang relevan dengan konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam. Menurut Wulandari dkk (2023), pendidikan kewarganegaraan harus mampu membentuk individu yang kritis, toleran, dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun, pelaksanaan pendidikan ini menghadapi berbagai tantangan, khususnya dalam mengintegrasikan isu-isu lokal, termasuk konflik sosial, ke dalam pembelajaran.

  • Analisis Kurikulum PKn di Indonesia

Kurikulum PKn di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, dari Kurikulum 1994 hingga Kurikulum Merdeka saat ini, dengan tujuan untuk lebih relevan terhadap dinamika masyarakat. Kurikulum PKn harus mencakup tiga aspek utama: civic knowledge, civic skills, dan civic disposition. Di bawah Kurikulum Merdeka, PKn diharapkan lebih kontekstual, yaitu menghubungkan pembelajaran dengan isu-isu lokal yang dihadapi masyarakat sekitar. Namun, integrasi ini sering kali terhambat oleh terbatasnya pemahaman guru tentang isu lokal yang kompleks serta kurangnya bahan ajar yang mendukung pembelajaran berbasis konteks (Cicilia, & Santoso, 2022).

  • Tantangan Integrasi Isu Konflik Lokal dalam Pembelajaran

Integrasi isu konflik lokal, seperti konflik agraria, konflik etnis, atau konflik berbasis sumber daya, ke dalam pembelajaran PKn merupakan tantangan tersendiri. Menurut Hadi & Bayu (2021). pembelajaran yang melibatkan isu-isu lokal sering kali membutuhkan sensitivitas budaya dan penguasaan materi yang mendalam oleh pendidik. Salah satu kendala utama adalah resistensi dari masyarakat atau sekolah yang khawatir bahwa diskusi mengenai konflik dapat memicu ketegangan. Selain itu, beberapa guru masih memiliki keterbatasan dalam mengolah isu konflik menjadi materi pembelajaran yang relevan dan netral.

Penelitian oleh Hadi dkk (2024) menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis konflik lokal lebih mampu memahami nilai-nilai toleransi dan resolusi konflik. Namun, keberhasilan ini bergantung pada dukungan kurikulum yang fleksibel dan pelatihan guru yang memadai. Guru harus dilatih untuk menggunakan pendekatan yang tidak hanya informatif tetapi juga transformatif, di mana siswa diajak untuk menganalisis, memahami, dan mencari solusi terhadap konflik tersebut.

  • Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Pemerintah dapat menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi guru PKn untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam mengintegrasikan isu-isu lokal ke dalam pembelajaran. Menurut Banks (2008), pendidikan multikultural yang inklusif dapat menjadi pendekatan yang efektif dalam mengatasi konflik dan membangun kohesi sosial. Selain itu, pengembangan bahan ajar yang berbasis lokal dan studi kasus aktual dapat membantu guru dalam menyampaikan pembelajaran yang relevan dan menarik.

Kesimpulannya, implementasi PKn di Indonesia memerlukan penguatan kurikulum yang adaptif serta pemberdayaan guru untuk mampu menghadirkan pembelajaran berbasis isu lokal, termasuk konflik. Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun masyarakat yang harmonis dan demokratis.

REFERENSI :

Almond, G. A., & Verba, S. (2015). The civic culture: Political attitudes and democracy in five nations.

Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama.

Bendianto, S., Armada, R., & Adon, M. J. (2024). Representasi Kebenaran (Verum) Dalam Dunia Politik di Indonesia: Usaha untuk Menciptakan Keadilan Sosial dalam Terang Immanuel Kant. Aggiornamento, 4(02), 1-13.

Cicilia, I., & Santoso, G. (2022). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Upaya Membentuk Generasi Penerus Bangsa yang Berkarakter. Jurnal Pendidikan Transformatif, 1(3), 146-155.

Dahrendorf, R., Collins, R., & Further, S. (2006). Conflict and critical theories. Conflict and Critical Theories, 211-241.

Hadi, H., Suprapto, S., Djuita, W., & Muhtar, F. (2024). Mengintegrasikan Pendidikan Multikultural dalam Upaya Resolusi Konflik Etnis. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 9(1), 148-159.

Hermawan, I. C. (2013). Revitalisasi pendidikan politik dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. ATIKAN, 3(1) : 9-26

Harmanto. (2013). Pengintegrasian pendidikan antikorupsi dalam pembelajaran pkn sebagai penguatan karakter bangsa. Studi evaluasi dan pengembangan perangkat pembelajaran bermodel pakem di sekolah menengah pertama. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia

Istianah, A., Maftuh, B., & Malihah, E. (2023). Konsep Sekolah Damai: Harmonisasi Profil Pelajar Pancasila Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar. Jurnal Education and Development, 11(3), 333-342.

Jannah, F., & Sulianti, A. (2021). Perspektif mahasiswa sebagai agen of change melalui pendidikan kewarganegaraan. ASANKA: Journal of Social Science And Education, 2(2), 181-193.

Kalidjernih, F. K. (2005). Post-Colonial Citizenship Education: A critical study of the production and reproduction of the Indonesian civic ideal (Doctoral dissertation, University of Tasmania).

Lickona, T. (2013). Character education: The cultivation of virtue. In Instructional-design theories and models (pp. 591-612). Routledge.

Monaki, R., Nurzaman, M. A., & Muslim, R. (2023). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Solusi Menanggulangi Konflik Sosial di Masyarakat. Advances In Social Humanities Research, 1(4), 211-214.

McRae, D. (2013). A few poorly organized men: Interreligious violence in Poso, Indonesia. Netherlands: Brill.

Parsons, T. (2013). The social system. Routledge.

Ross, M. L. (2005). Resources and rebellion in Aceh, Indonesia. Washington, DC: World Bank pencegahan korupsi. Jakarta : Prenada Media.

Santoso, L. (2012). Problematika Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di Indonesia. Jurnal Supremasi Hukum, 1(2), 267-286.

Stegmann, C. (2010). Book Review: Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia. England: SAGE Publications.

Saud, M., Ida, R., Abbas, A., Ashfaq, A., & Ahmad, A. R. (2020). Media sosial dan digitalisasi partisipasi politik pada generasi muda: perspektif indonesia. Jurnal Society, 8(1), 87-97.

Suharyanto, A. (2013). Peranan pendidikan kewarganegaraan dalam membina sikap toleransi antar siswa. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, 2(1), 192-203

Triningsih, A. (2017). Politik Hukum Pendidikan Nasional: Analisis Politik Hukum dalam Masa Reformasi. Jurnal Konstitusi, 14(2), 332-350.

Van Klinken, G. (2007). Communal violence and democratization in Indonesia: Small town wars. Routledge

Widiatmaka, P. (2016). Kendala Pendidikan Kewarganegaraan dalam membangun karakter peserta didik di dalam proses pembelajaran. Jurnal Civics, 13(2), 188-198.

Wulandari, Z. R., Azzahra, N., Wulandari, P., & Santoso, G. (2023). Memperkuat Jiwa Kewarganegaraan di Era Digital dengan Pendidikan Kewarganegaraan yang Komprehensif. Jurnal Pendidikan Transformatif, 2(2), 415-424.

Winataputra, U. S. (2008). Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal lka Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14(75), 1009-1027.

Yuhana, Y., & Fathurrohman, M. (2024). Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Praktik Keterlibatan Politik di Indonesia. Jurnal Tinta: Jurnal Ilmu Keguruan dan Pendidikan, 6(1), 35-43.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun