Konflik sosial, terutama yang memiliki dimensi politik, merupakan fenomena yang kompleks dan sering kali muncul akibat perbedaan kepentingan, identitas, dan distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Di Indonesia, konflik politik sering berakar pada faktor sejarah, identitas etnis, agama, dan ketidakadilan sosial. Selain itu, lemahnya institusi politik dan kurangnya pengelolaan konflik secara efektif turut memperburuk situasi. Berikut ini merupakan faktor penyebab konflik politik :
Ketidakadilan Ekonomi dan Sosial; Ketimpangan ekonomi dan distribusi sumber daya yang tidak merata sering memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakadilan ini dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memobilisasi massa dalam upaya menuntut perubahan politik. Misalnya, konflik di Aceh sebagian dipicu oleh eksploitasi sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi yang dirasakan tidak memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal (Ross, 2005).Â
Identitas dan Politik Etnis; Identitas etnis atau agama sering menjadi basis mobilisasi dalam konflik politik. Di Indonesia, perbedaan identitas seringkali diperkuat oleh sejarah marginalisasi kelompok tertentu. Contohnya adalah konflik di Maluku yang terjadi pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, di mana ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen meningkat akibat politisasi identitas agama (Van Klinken, 2007).Â
Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Penerapan desentralisasi pasca-reformasi membawa tantangan baru dalam pengelolaan konflik politik. Di satu sisi, desentralisasi memberi kesempatan bagi daerah untuk mengelola sumber daya sendiri, namun di sisi lain, hal ini memunculkan persaingan baru atas kekuasaan di tingkat lokal yang terkadang berujung konflik (Santoso, 2012).
Lebih lanjut, berikut ini dapat diuraikan sejumlah studi kasus konflik politik di Indonesia :
Konflik di Aceh; Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Faktor utamanya adalah ketidakpuasan terhadap pembagian hasil sumber daya alam dan keinginan masyarakat Aceh untuk mengelola kekuasaan secara otonom. Kesepakatan damai melalui MoU Helsinki pada 2005 menjadi solusi penting yang mengakhiri konflik ini dengan memberikan otonomi khusus kepada Aceh (Stegmann, 2010). Â
Konflik di Maluku; Konflik di Maluku dimulai pada tahun 1999 sebagai konflik horizontal antara komunitas Muslim dan Kristen. Namun, konflik ini segera berkembang menjadi konflik politik dengan campur tangan elite lokal dan nasional. Ketidakmampuan negara dalam mengelola keragaman agama dan identitas di Maluku memperpanjang kekerasan hingga beberapa tahun sebelum berhasil diredakan (Van Klinken, 2007).Â
Konflik di Poso; Konflik di Poso yang memuncak pada tahun 1998-2001 adalah salah satu contoh konflik sosial-politik yang dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan di tingkat lokal dan politisasi identitas agama. Faktor utama yang memperburuk konflik ini adalah lemahnya penegakan hukum dan kurangnya upaya rekonsiliasi yang efektif pada tahap awal konflik (McRae, 2013).Â
Konflik politik di Indonesia mencerminkan interaksi kompleks antara berbagai faktor struktural dan non-struktural, seperti ketimpangan ekonomi, politisasi identitas, dan kelemahan institusi. Penyelesaian konflik memerlukan pendekatan holistik yang mencakup penguatan institusi negara, peningkatan keadilan sosial, dan pengelolaan keberagaman secara inklusif.Â
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Alat Mitigasi KonflikÂ
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan sarana strategis untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, kerukunan, dan kesadaran kritis dalam masyarakat yang pluralistik. Sebagai upaya mitigasi konflik, PKn dirancang untuk membekali individu dengan kemampuan berpikir kritis, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan. Menurut Istianah dkk (2024), PKn dapat membangun kesadaran akan pentingnya keberagaman sebagai kekayaan bangsa serta mengajarkan keterampilan menyelesaikan konflik melalui dialog dan pendekatan damai. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat yang kerap menghadapi konflik sosial akibat perbedaan identitas, agama, maupun kepentingan politik.Â