Mohon tunggu...
The Diary Of Daiva Kalyca
The Diary Of Daiva Kalyca Mohon Tunggu... -

Kalau suatu saat raga ini pergi, biarlah tulisan hidup abadi..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Our Story Begins

22 Juli 2014   03:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:38 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta.. Aku ingin selalu bersamamu, menjadi tua denganmu, dalam perjalanan panjang keluarga. Kita akan saling membina, saling membantu bicara, dan saling mengingatkan untuk selalu berjalan di arah yang benar menurutNya.

Cinta... Aku pun mulai berangan-angan tentang dirimu. Tentangmu yang berjiwa sederhana. Tentangmu yang selalu mengajakku bercerita. Tentangmu yang rajin mengingatkanku untuk bangun pagi. Tentangmu yang mau berjuang bersamaku. Melalui waktu-waktu sulit bersama. Sehari-harinya.

###

“Farida..”, kudengar seseorang memanggilku dari seberang jalan.

“Eh, Mas Rizky...Mau kemana Mas?”

“Mau follow up pasien, Far, kamu udah?”

“Udah Mas, kebetulan cuma tiga pasien aja tadi.. Jadi cepat. Mas Rizky berapa pasien?”, tanyaku sambil menyeberang jalan, menuju ke arahnya.

“Wah, aku banyak nih Far. Sepuluh pasien..”

“Sepuluh Mas? Banyak banget? Subhanallah.. semangat Mas Rizky..”, aku tidak berani menatapnya. Rona mukaku pasti akan kelihatan bersemu malu kalau sampai bertatapan dengan muka teduhnya. Teduh, teduh sekali. Ada sesuatu yang dia miliki, yang membuatku semakin segan dan menghormatinya.

“Iya Far, makasih yaa.. Kamu habis belanja apa Far? Cokelat lagi yaa?”, tanyanya ramah.

“Eh,uh, iya Mas.. Hehe.. Lagi stress ini Mas belum buat refleksi kasus buat besok..”

“Haha, santai Far.. seadanya dulu ndak papa.. Yang penting kan proses belajarnya..”, responnya begitu menenangkanku. Dia memiliki hal itu, hal yang jarang dimiliki oleh laki-laki yang selama ini kutemui. Dia sangat khas dengan ketenangan dan keramahan. Kehalusan dan ketulusan. Semua yang dia katakan seperti tidak pernah dibuat-buat. Dia alami seperti ini. Alami dengan kebaikannya. Alami dengan keramahannya. Ramah sekali.

“Iya Mas Rizky.. Makasih yaa... Mari Mas, Farida duluan ya.. Mas Rizky silahkan ke bangsal..”

“Yups.. Semangat ya Farida..”, dia melambaikan tangannya. Melangkah pergi dariku. Rasanya begitu senang melihatnya malam ini.

Aku pun melanjutkan perjalanan. Berjalan ke kos yang letaknya beberapa meter saja dari rumah sakit. Dalam perjalanan, aku terus terbayang Mas Rizky. Membayangkan caranya berkomunikasi dengan pasien, ramah sekali. Membayangkan caranya mengajariku pemeriksaan fisik ,oh sabar sekali.

Ah, Farida! Kenapa jadi begini, tidak boleh! Fokus, Farida.. Fokus!

###

Mas Rizky adalah kakak kelasku. Kami selisih satu tahun saja. Dia sekarang sudah hampir selesai menjalani koas. Koas atau Co-Assistant adalah program profesi yang harus kami jalani selama hampir dua tahun untuk menjadi seorang dokter.

Saat ini, kebetulan aku dan Mas Rizky sedang berada di rumah sakit yang sama, stase yang sama. Penyakit Dalam. Selama enam minggu ini kami dikirim ke rumah sakit daerah untuk belajar. Saat ini Mas Rizky sudah masuk minggu keempat, sedangkan aku baru minggu kadua di sini. Tak heran, aku masih sering bertanya kepadanya. Dia selalu mengajariku dengan riang dan bersemangat.

“Far..”, Diana, teman koasku memanggilku.

“Iya Di, kenapa?”

“Hari ini kamu mau presentasi kasus apa?”

“Oh, ini Di, CHF “, jawabku.

“Sudah selesai kan? Aku boleh baca-baca sebentar? Biar nanti kalau dokter Aan datang , aku sudah paham dengan kasusmu.”, tanyanya.

“Oh boleh Di, silahkan aja. Aku udah selesai kok bacanya.”, aku menyodorkan laptop 14’’ ku padanya.

Kubiarkan Diana membaca slide presentasiku. Selama itu, aku membaca-baca materi dari Harrison pocket yang sudah kupersiapkan sebelumnya.

“Di, kalau ada yang salah-salah, bilang ya. Hehe.. Kalau mau ada yang ditanyakan juga boleh. Deg-degan nih, takut ditanya-tanya sama dokter Aan..”

“Santai Far... Nggak papa. Insha Allah bisa,dokter Aan baik kok..”

Aku pun melanjutkan bacaanku. Semalam, sambil mengerjakan slide, sebetulnya aku sudah membaca-baca. Namun karena agak panik, aku merasa pagi ini perlu membaca lagi. Kalau-kalau ada yang terlupa. Kalau-kalau ada yang belum sempat terbaca.

CHF atau Congestive Heart Failure adalah kegagalan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Kegagalan ini bersifat kronis, artinya prosesnya terjadi selama beberapa tahun, sehingga menyebabkan komplikasi seperti bengkak di kedua tungkai, pembengkakan hati, maupun pembengkakan paru-paru.

Dan, saat asyik membaca materi, tiba-tiba dokter Aan datang membuka pintu diikuti beberapa seniorku di belakangnya. Mataku hanya terfokus pada satu orang saja : Mas Rizky. Kuperhatikan dia tersenyum ramah padaku sambil mengepalkan tangan kanannya : semangat!, bibirnya bergerak-gerak membisikkan kata itu.

Presentasiku pun berjalan lancar. Dokter Aan menanyakan beberapa pertanyaan saja, dan untungnya aku bisa menjawab semuanya. Tak banyak pertanyaan dari teman koas ataupun seniorku.

“Faar.. selamat yaaa, lolos juga presentasinya,”, Mas Rizky berkata lembut sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

Aku tersenyum lega melihatnya.

“Hehe, iya, Mas, alhamdulillah,”, jawabku.

“Mau kemana habis ini, Far? Pulang?”, tanyanya merdu.

“Iya, Mas. Ini mau pulang ke kost aja,”, jawabku jujur.

“Yuk, Far, jalan bareng keluar. Aku juga mau pulang ke asrama.”, ajaknya.

Deg! Tentu saja hal-hal seperti ini amat mengagetkanku. Apalagi sejujurnya aku sangat mengaguminya. Senang, tapi juga cemas bukan kepalang.

“Eh,uh..Iya mas, boleh.”

Kami pun berjalan bersama dari ruang ilmiah. Berjalan menyusuri bangsal demi bangsal, kanopi, hingga sampai di gerbang rumah sakit. Sepanjang perjalanan dia terus mengajakku bicara soal rumah sakit, dan aku hanya berani sekali-dua kali menatapnya.

“Far... aku boleh nanya sesuatu ndak?”, tiba-tiba Mas Rizky memperlambat langkahnya.

“Eh, iya, Mas.. Tanya apa ya?”, balasku.

“Tentang impian ke depan, gitu?”, tanyanya lagi.

Aku pun bingung dengan pertanyaan terakhirnya.

“Maksudnya, Mas?”

“Uhm... gimana ya, Far. Kamu punya impian apa gitu setelah lulus?”

Aku agak kaget dengan pertanyaan yang barusan dikeluarkannya. Kemana arah pertanyaan ini?

“Maksud Mas Rizky gimana ya? Hehe.. Sebetulnya aku masih bingung, Mas.”, jawabku.

“Hehe.. Maaf, Far. Aku cuma pengen tahu aja. Misalnya kamu mau ambil sekolah lagi di Indonesia, atau kamu mau nyari beasiswa master ke luar negeri, atau mungkin kamu mau berpetualang ke daerah-daerah terpencil di Indonesia.. Kurang lebih seperti itu maksudku, Far..”

Aku terdiam dengan penjelasannya. Haruskah aku menceritakan semua impianku padanya? Seseorang yang baru empat minggu kukenal, yang baru-baru ini kukagumi? Pantaskah aku bercerita sejauh itu dengannya?

“Hehe, maaf Far. Kamu kaget ya aku nanya gitu? Ndak harus dijawab kok, Far.. Atau ndak harus sekarang jawabnya. Besok-besok juga masih bisa..” jelasnya menenangkanku.

“Iya, Mas. Hehe... Masih bingung soalnya, Mas. Kalau aku boleh tahu, Mas Rizky sendiri gimana rencana setelah ini?”, tanyaku.

“Aku? Hehe...Aku pengen melanglang buana, Far. Aku mau berkeliling Indonesia. Bahkan mungkin berkeliling dunia!”

Mendadak jawabannya terdengar lucu bagiku. Ntah kenapa tiba-tiba aku melihat sosok anak-anak muncul dari dirinya. Dari dia yang dewasa, yang kukagumi empat minggu ini.

“Hahahaha, Mas Rizky lucu sekali. Beneran gitu?”

“Eh, kok kamu malah ketawa, Far... Aku serius. Serius banget, Faar. Aku memang berencana sekolah lagi, tapi tidak sekarang. Mungkin tiga sampai empat tahun ke depan, setelah internship, aku baru mau sekolah lagi. Tiga-empat tahun di awal, aku mau berkeliling Indonesia gitu. Seru!”, jelasnya.

“Oh gitu.. Asyik juga Mas, sepertinya. Hehehe..”, responku singkat. Mungkin dia akan sebal mendengar responku ini.

“Kalau kamu, Far? Gimana?”

“Aku? Hehe.. Bingung! Bingung, Mas. Bingung bangeeet. Hahaha.”, jawabku aneh.

“Laaah, kok bingung. Harus punya impian, dong. Apaa gitu. Yang seru-seru!”, balasnya.

“Ya punya, Mas.. Punyaa. Tapi memang masih bingung. Hahaha..”, jawabku kian aneh.

“Yasudah.. Dipikirin dulu masak-masak ya Far.. Nanti kalau udah, aku diceritain ya, Far. Kali aja impian kita sama,”, godanya.

Aku semakin bingung dengan tingkahnya. Benar-benar hari ini dia-tidak-seperti-biasa. Aneh.

“Ohya Far.. Aku duluan ya.. Nggak kerasa,ya, udah nyampe depan asrama. Sampe ketemu besok, Far... assalamu’alaikum.”, dia melambaikan tangannya padaku.

Aku pun melambaikan tangan dan membalas salamnya.

Aku melanjutkan langkah menuju kost, sambil terus kebingungan dengan kata-katanya.

###

Ah, bagaimana mungkin aku menceritakan semuanya? Dengan dirinya yang baru kukenal sesaat saja. Mungkin hanya sesaat aku mengaguminya. Begitu juga dengan dirinya. Mungkin hanya sesaat saja dia mengajakku bicara perkara itu, besok dia akan lupa dengan sendirinya.

Tapi, kalau pun aku menceritakan semuanya, apa ruginya? Tak ada yang kuharapkan selain berbagi cerita dengannya.

Pikiranku pun kembali kepada sebuah cita-cita. Cita-cita yang sudah lama sekali kubuat namun tak pernah kuungkap. Sebuah cerita sederhana : untuk menemani seseorang yang aku yakini, kemanapun dia pergi!.

Ya, memang sesederhana itu. Aku ingin sekali berdampingan dengan orang yang kuyakini bisa membawaku pergi dengan cita-citanya. Dengan perencanaan-perencanaannya yang siap kuikuti. Dengan cita-citanya yang menjadi cita-citaku juga. Asalkan ada satu komitmen bahwa kita siap hidup susah maupun senang bersama-sama. Mau belajar bersama. Sesimpel itu. Dan aku pun akan menemaninya, kemana pun dia pergi. Dan aku pun siap dengan resikonya, menjadi orang yang dia suka. Orang kepercayaannya. Orang kesayangannya. Orang yang dia tuju manakala jenuh memburu.

###

“Farida!”, aku kembali dikagetkan dengan panggilan seseorang yang sudah tak asing lagi di telinga. Mas Rizky.

“Eh, iya, Mas. Berangkat pagi lagi, Mas?”, tanyaku sambil berjalan. Pagi ini secara kebetulan aku menemukannya lagi siap-siap berangkat ke rumah sakit dari asrama. Mungkinkah dia sengaja menungguku lewat depan asramanya? Mungkinkah dia sengaja ingin berjalan bersamaku? Ntahlah. Aku tak ingin mengharapkan apa-apa.

“Iya, Far.. Kebetulan lagi ketemu kamu, hehe..”, jawabnya.

“Ohya, Far.. Pertanyaan kemarin siang, gimana? Udah nemu jawabannya? Apa masih bingung?”, tanyanya.

“Oh, yang kemarin.. Hehe.. “, aku kikuk menjawab.

“Iya, yang kemarin. Masih ingat kan pertanyaannya?”, tanyanya lagi memperjelas.

“Hehe, masih Mas..”, aku ragu-ragu.

“Jadi? Gimana Far? Mau kemana habis koas?”, dia mempersempit pertanyaannya.

“Uhm.. aku... uhmmm.. Mungkin aku mau menikah, Mas.”, jawabku polos.

Aku perhatikan roman mukanya. Mendadak berubah. Dia nampak sedikit kaget dengan jawabanku.

“Wow, menikah Far? “, tanyanya meyakinkan jawabanku.

“Iya, Mas. In sha Allah.. “

“Jadi, tahun depan kamu mau menikah?”, tanyanya kembali. Segurat kecemasan tergambar dari ekspresi mukanya. Aku tak tahu apa sebabnya.

“Doakan saja ya, Mas.. In sha Allah..”, tegasku.

“Oh gitu.. Uhm.. Memangnya sudah ada calon, Far?”, dengan dia cemas bertanya.

Aku hanya tersenyum dengan pertanyaannya. Rasanya itu tidak etis untuk dijawab. Aku tidak mungkin seterang itu mengatakan padanya bahwa ini hanyalah sebatas angan-angan. Bagaimana nanti, sudah kuputuskan untuk menerima kondisi apa adanya. Terserah Allah dengan rencana indahNya.

Dia nampak bingung. Kami pun berjalan bersama ke rumah sakit dengan saling mendiamkan. Kaku. Dingin.

Pembicaraan kami tak pernah berlanjut semenjak hari itu. Dia seperti segan mendekatiku, aku pun enggan mengajaknya bicara duluan. Kami, tidak pernah dekat lagi. Sampai akhirnya dia pun selesai stase di rumah sakit daerah ini. Sampai akhirnya dia selesai koas. Sampai akhirnya dia internship di tempat antah berantah yang aku tak tahu ada dimana.

###

Dan... dua tahun pun berlalu.

Rupanya takdir belum memberikan bunga manisnya untukku. Allah masih ingin aku menunggu untuk sesuatu yang baik itu. Untuk orang baik itu. Untuk dia yang akan kutemani kemanapun pergi.

Saat ini koasku sudah berakhir. Aku sedang menunggu saat-saat yang ditunggu-tunggu : ujian kompetensi. Ujian ini yang akan menentukan apakah kami layak atau tidak untuk disumpah menjadi dokter, untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi : internship.

Aku sudah hampir melupakan cita-citaku itu. Selama dua tahun ini aku hanya disibukkan dengan koas dan koas. Aku sibuk keliling kota untuk belajar di RSUD setempat. Aku sibuk mengemas barang-barang untuk kupulangkan ke kampung halaman manakala weekend supaya kamar kostku yang tidak terlalu luas ini tak penuh sesak dengan buku dan baju-baju. Kesibukanku hanya itu-itu. Tapi aku senang menjalaninya dan tidak berpikir untuk mencari kesibukan yang lainnya.

Dan.. pernahkah aku berpikir tentang Mas Rizky? Tidak, sama sekali tak pernah terpikirkan tentang dirinya.

Sampai akhirnya pesan singkat di ponselku muncul dengan sangat mengejutkan.

Assalamu’alaikum, dek.. Apa kabar? Sudah selesai koasnya?

-Rizky

Deg! Jantungku berdetak hebat. Mas Rizky.. benarkah ini Mas Rizky yang dua tahun lalu kujumpai di rumah sakit? Aku sudah tidak menyimpan nomornya karena ponsel lamaku rusak.

Wa’alaikumussalam.. Alhamdulillah sehat... Ini Mas Rizky Ahmad?, balasku cepat.

Ternyata itu memang benar dirinya. Mas Rizky yang dulu sempat kukagumi, namun perlahan kita berdua saling menjauh dengan sendiri. Percakapan demi percakapan mengalir begitu saja. Dia menceritakan kehidupannya sekarang, aku pun demikian. Dia menceritakan indahnya berpetualang di luar sana, aku hanya mengangguk-angguk gembira mendengarnya. Berharap kesempatan untuk seperti dirinya bisa kudapatkan juga.

Oh, ya, Far.. kira-kira kamu mau ndak, nemenin aku disini? , tanyanya.

Maksudnya nemenin, Mas?, balasku cepat. Kami beralih dari chat via sms ke BBM, dengan sigap kami sudah bertukaran pin.

Yaa, nemenin, Far. Nemenin aku selamanya. Nemenin aku kemana-mana. Dua tahun lalu aku ingin mengatakan ini, tapi nggak bisa, aku belum siap, dan kurasa kau juga masih punya banyak tanggungan. , jelasnya.

Spontan mataku berkaca-kaca. Yaa Robbii, seperti inikah indahnya penantian yang berkepanjangan itu? Rasanya tak jemu-jemu aku ingin mengucap syukur padaMu. Orang yang tepat, di saat yang tepat, pada moment yang tepat.

Tanpa ragu aku pun menjawab, Ya! Tentu saja!.

###

Keep spirit to achieve our dreams and hopes. All good things are worth waiting for, worth fighting for.

Ini adalah kisah yang terlalu sederhana untuk dimengerti. Mungkin kejadian demi kejadian tak semulus ini kita alami, tapi, yakin saja, pada akhirnya, banyak ending yang lebih bahagia daripada kisah sederhana ini.

Jogja, 21 Juli 2014.

Cerita ini mulai saya tulis pada akhir 2012 yang lalu, namun finishing baru saya selesaikan malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun