Aku melanjutkan langkah menuju kost, sambil terus kebingungan dengan kata-katanya.
###
Ah, bagaimana mungkin aku menceritakan semuanya? Dengan dirinya yang baru kukenal sesaat saja. Mungkin hanya sesaat aku mengaguminya. Begitu juga dengan dirinya. Mungkin hanya sesaat saja dia mengajakku bicara perkara itu, besok dia akan lupa dengan sendirinya.
Tapi, kalau pun aku menceritakan semuanya, apa ruginya? Tak ada yang kuharapkan selain berbagi cerita dengannya.
Pikiranku pun kembali kepada sebuah cita-cita. Cita-cita yang sudah lama sekali kubuat namun tak pernah kuungkap. Sebuah cerita sederhana : untuk menemani seseorang yang aku yakini, kemanapun dia pergi!.
Ya, memang sesederhana itu. Aku ingin sekali berdampingan dengan orang yang kuyakini bisa membawaku pergi dengan cita-citanya. Dengan perencanaan-perencanaannya yang siap kuikuti. Dengan cita-citanya yang menjadi cita-citaku juga. Asalkan ada satu komitmen bahwa kita siap hidup susah maupun senang bersama-sama. Mau belajar bersama. Sesimpel itu. Dan aku pun akan menemaninya, kemana pun dia pergi. Dan aku pun siap dengan resikonya, menjadi orang yang dia suka. Orang kepercayaannya. Orang kesayangannya. Orang yang dia tuju manakala jenuh memburu.
###
“Farida!”, aku kembali dikagetkan dengan panggilan seseorang yang sudah tak asing lagi di telinga. Mas Rizky.
“Eh, iya, Mas. Berangkat pagi lagi, Mas?”, tanyaku sambil berjalan. Pagi ini secara kebetulan aku menemukannya lagi siap-siap berangkat ke rumah sakit dari asrama. Mungkinkah dia sengaja menungguku lewat depan asramanya? Mungkinkah dia sengaja ingin berjalan bersamaku? Ntahlah. Aku tak ingin mengharapkan apa-apa.
“Iya, Far.. Kebetulan lagi ketemu kamu, hehe..”, jawabnya.
“Ohya, Far.. Pertanyaan kemarin siang, gimana? Udah nemu jawabannya? Apa masih bingung?”, tanyanya.