“Haha, santai Far.. seadanya dulu ndak papa.. Yang penting kan proses belajarnya..”, responnya begitu menenangkanku. Dia memiliki hal itu, hal yang jarang dimiliki oleh laki-laki yang selama ini kutemui. Dia sangat khas dengan ketenangan dan keramahan. Kehalusan dan ketulusan. Semua yang dia katakan seperti tidak pernah dibuat-buat. Dia alami seperti ini. Alami dengan kebaikannya. Alami dengan keramahannya. Ramah sekali.
“Iya Mas Rizky.. Makasih yaa... Mari Mas, Farida duluan ya.. Mas Rizky silahkan ke bangsal..”
“Yups.. Semangat ya Farida..”, dia melambaikan tangannya. Melangkah pergi dariku. Rasanya begitu senang melihatnya malam ini.
Aku pun melanjutkan perjalanan. Berjalan ke kos yang letaknya beberapa meter saja dari rumah sakit. Dalam perjalanan, aku terus terbayang Mas Rizky. Membayangkan caranya berkomunikasi dengan pasien, ramah sekali. Membayangkan caranya mengajariku pemeriksaan fisik ,oh sabar sekali.
Ah, Farida! Kenapa jadi begini, tidak boleh! Fokus, Farida.. Fokus!
###
Mas Rizky adalah kakak kelasku. Kami selisih satu tahun saja. Dia sekarang sudah hampir selesai menjalani koas. Koas atau Co-Assistant adalah program profesi yang harus kami jalani selama hampir dua tahun untuk menjadi seorang dokter.
Saat ini, kebetulan aku dan Mas Rizky sedang berada di rumah sakit yang sama, stase yang sama. Penyakit Dalam. Selama enam minggu ini kami dikirim ke rumah sakit daerah untuk belajar. Saat ini Mas Rizky sudah masuk minggu keempat, sedangkan aku baru minggu kadua di sini. Tak heran, aku masih sering bertanya kepadanya. Dia selalu mengajariku dengan riang dan bersemangat.
“Far..”, Diana, teman koasku memanggilku.
“Iya Di, kenapa?”
“Hari ini kamu mau presentasi kasus apa?”