Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ditinggal Pasukan Perdamaian RI, Rakyat Sudan Banyak Mati Kelaparan

17 Agustus 2024   05:03 Diperbarui: 17 Agustus 2024   06:41 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UN News Center / Upacara Kesedihan Gugurnya Pasukan Perdamaian dari Indonesia

Jenewa Swiss, Pada hari Kamis 15/8/2024, Amerika Serikat menyerukan militer Sudan untuk bergabung dalam pembicaraan yang bertujuan meredakan konflik berkepanjangan di negara tersebut, yang kini tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. 

Meski desakan internasional untuk ikut serta dalam perundingan semakin gencar, militer Sudan tetap memboikot negosiasi di Jenewa, Swiss, yang kini memasuki hari ketiga. 

Militer Sudan saat ini tengah bertempur melawan pasukan paramiliter kuat yang dikenal sebagai Pasukan Dukungan Cepat (RSF). "RSF tetap di sini siap untuk memulai pembicaraan; SAF (Angkatan Bersenjata Sudan) perlu memutuskan untuk datang," ujar Tom Perriello, Utusan Khusus AS untuk Sudan, melalui unggahannya di platform X pada hari Jumat. 

Para diplomat dari Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Uni Afrika, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa hadir dalam perundingan yang dimulai awal minggu ini. Delegasi dari pasukan paramiliter Sudan telah tiba di Jenewa untuk berpartisipasi. 

Pada hari Kamis, dewan pemerintahan Sudan yang dipimpin oleh jenderal-jenderal militer terkemuka mengumumkan bahwa mereka telah membuka jalur perbatasan penting di Adre, yang menghubungkan Sudan dengan Chad dan masuk ke wilayah barat Sudan yang bergolak, Darfur. Daerah ini merupakan wilayah yang paling parah terdampak oleh pertempuran dan pengungsian massal. 

Pengumuman ini disambut baik oleh PBB dan Amerika Serikat, meskipun masih belum jelas bagaimana hal ini akan mempengaruhi penyaluran bantuan di lapangan, terutama karena banjir besar dalam beberapa minggu terakhir telah menghalangi akses ke daerah-daerah yang membutuhkan bantuan.

Kekacauan yang terus berlangsung di Sudan adalah contoh memilukan tentang bagaimana kerakusan akan sumber daya dari negara luar dan hanya demi kekuatan yang dijanjikan mereka untuk merebut kekuasaan dapat menghancurkan sebuah bangsa. Alih-alih mencari perdamaian atau menangani krisis kemanusiaan, berbagai faksi militer dan pemain eksternal, seperti UEA, Iran, dan Rusia, telah mengeksploitasi konflik internal Sudan demi kepentingan mereka sendiri.

 Keterlibatan mereka hanya memperburuk kekerasan, memperpanjang penderitaan jutaan orang. Meskipun dekat dengan negara-negara Arab yang kaya di seberang Laut Merah, Sudan tetap terperangkap dalam konflik brutal di mana kepentingan asing saling bertabrakan memperebutkan kekayaan dari pertambangan emas dan minyak, meninggalkan rakyat negara ini dalam kehancuran dan kelaparan yang mematikan tanpa sempat melihat dan merasakan hasil tambang emas dan minyak mereka sedikitpun. 

Bukan berarti rakyat Indonesia dapat melihat dan merasakan hasil berbagai tambang emas, nikel, batu bara, gas LNG bahkan sampai pasir laut. Semua rakyat dari semua negara pasti mengalami perangkap kekayaan, bahwa  sebagian besar kekayaan masuk dalam perangkap dan sisa tetesannya saja baru dapat dinikmati rakyatnya, atau bahkan tidak dapat dinikmati sama sekali kekayaannya malah menyengsarakan, seperti dalam kasus Sudan atau kobalt merah Kongo yang memperbudak anak anak kecil.

Revolusi demokrasi Sudan yang dulu sempat menjanjikan dan memberikan kekayaan rakyatnya telah dihancurkan oleh kudeta militer dan pertikaian internal. Jadi aliansi antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (rapid support force atau RSF) dengan cepat hancur sejak kudeta ini dilancarkan. Setelah itu meningkat menjadi perang brutal untuk memperebutkan kendali wilayah, terutama ibukota Sudan. 

Sementara itu, keterlibatan kekuatan eksternal telah mengubah konflik ini menjadi perang proxy. Disamping UEA telah mempersenjatai RSF, Iran juga ikut memasok drone ke militer, dan Rusia mendukung kedua belah pihak pada titik-titik yang berbeda, tergantung poin negosiasi dalam konsesi tambang emas  Tambang emas ini akan dijual di Turki atau UEA dan hasil jualnya akan dipakai untuk mengongkosi mesin perang penghancur Ukraina. 

Makanya rakyat Sudan banyak menerima bantuan team ahli senjata untuk sabotase dan menangkap Wagner dari Ukraina. Ukraina dan AS hanya berusaha untuk mencegah Rusia merampok pertambangan emas di Sudan tanpa ada usaha menguasainya, ataupun menggunakannya untuk membantu rakyat Sudan yang kelaparan. 

Bagaimana dengan Indonesia? Kita past tidak berani menghadapai Rusia karena kita selalu segan atau kagum dengan Rusia, dan juga UAE, Saudi dan Iran. Walaupun, Indonesia memiliki cerita panjang yang penuh dedikasi dalam misi perdamaian dunia, dan peranannya di Sudan adalah salah satu bab yang paling membanggakan. 

Dalam kekacauan yang melanda wilayah Darfur, Sudan, Indonesia hadir dengan semangat damai yang teguh. Pasukan perdamaian Indonesia, yang dikenal sebagai Batalyon Indonesia atau Indobatt, telah memainkan peran penting di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Misi UNAMID (United Nations-African Union Mission in Darfur). 

Ketika dunia menyaksikan Sudan terjerumus dalam konflik yang tak kunjung usai, Indonesia justru maju ke garis depan, mengirimkan ratusan personel militer terbaiknya untuk menjaga kedamaian di wilayah yang tengah bergejolak. 

Indobatt 03, salah satu kontingen perdamaian Indonesia di Darfur, melaksanakan patroli rutin di daerah-daerah rawan konflik, memastikan bahwa masyarakat sipil dapat hidup dengan aman tanpa rasa takut. 

Tetapi mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan; Indobatt juga berperan aktif dalam kegiatan Civil Military Coordination (CIMIC), sebuah pendekatan unik yang menitikberatkan pada interaksi positif antara militer dan masyarakat sipil. 

Dalam program CIMIC, pasukan perdamaian Indonesia menunjukkan wajah humanis mereka. Mereka memberikan perawatan medis kepada masyarakat setempat yang sering kali tidak memiliki akses ke layanan kesehatan. 

Mereka juga mendistribusikan bantuan kemanusiaan, memastikan bahwa bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya sampai ke tangan mereka yang paling membutuhkan. 

Selain itu, pasukan ini membantu membangun infrastruktur, seperti jalan dan fasilitas umum, yang tidak hanya meningkatkan kualitas hidup tetapi juga menumbuhkan rasa percaya masyarakat lokal terhadap pasukan perdamaian internasional. 

Kehadiran Indonesia di Darfur bukan hanya soal menjaga perdamaian; ini adalah tentang membangun kembali kehidupan, memberikan harapan kepada masyarakat yang telah lama hidup dalam bayang-bayang konflik. 

Melalui kerja sama erat dengan komunitas lokal, pasukan Indonesia berhasil menciptakan hubungan yang lebih harmonis di wilayah tersebut. Mereka menjadi simbol bahwa di tengah gelapnya perang, masih ada sinar harapan yang datang dari tindakan nyata.

Indonesia tidak hanya menjalankan misi ini dengan profesionalisme tinggi, tetapi juga dengan hati yang tulus. Ini sejalan dengan prinsip diplomasi Indonesia yang mengutamakan perdamaian dan kerja sama internasional. 

Misi di Sudan adalah perwujudan dari komitmen Indonesia untuk selalu menjadi negara yang berperan aktif dalam menciptakan stabilitas dunia. 

Meskipun Misi UNAMID resmi berakhir pada tahun 2020, kontribusi Indonesia dalam misi ini meninggalkan jejak yang mendalam. Peran ini tidak hanya memperkuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara-negara Afrika, tetapi juga memperkuat reputasi Indonesia sebagai mitra terpercaya dalam upaya perdamaian global. 

Dengan komitmen yang konsisten, Indonesia terus memantau situasi di Sudan, siap kembali jika dunia memanggilnya lagi untuk membantu dalam misi kemanusiaan dan perdamaian. Melalui misi ini, Indonesia telah membuktikan bahwa di tengah dunia yang penuh dengan tantangan dan konflik, semangat damai selalu bisa membawa perubahan positif.

Jadi misi hebat ini bukan seperti yang dibayangkan akan menggelora seperti semangat 45 yang akan mengusir dan mengganyang penjajah Rusia, UEA, Iran, Libya dan berjuang bersama rakyat sipil sudan untuk merdeka dan makan bahkan menikmati pertambangan emas dan minyaknya, melainkan tentara yang melindungi rakyat supaya tidak diburu dan dibantai, dan memberi makanan supply dari PBB dalam arti sementara, bukannya berjanji akan datang lagi membasmi serangga emas dan minyak sumber kesengsaraan. 

Berarti sekarang ada kevakuman setelah selesainya masa tugas tentara perdamaian Indonesia. Mungkin saja ada yang pergi ke Sudan dengan biaya pribadi, seperti tentara dan bekas tentara AS yang secara sukarela pergi ke Ukraina dan Afrika menyerang pengganggu penduduk sipil. 

Juga ada tentara bayaran seperti Wagner dengan upah kawasan pengurasan pertambangan demi menjaga petinggi gerombolan pejuang egois, mungkin ada juga tentara Indonesia yang diperbantukan secara rahasia atau bayaran, tapi sejauh ini tidak ada indikasi. 

Dan ini bukan merupakan karakter tentara Indonesia yang suka berpetualangan di medan peperangan. Masak hobi perang, berarti bukan merupakan kebudayaan Indonesia.

Libya, negara tetangga berikutnya, memainkan peran penting dalam mendukung Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dalam konflik yang sedang berlangsung di Sudan, terutama melalui keterlibatan panglima perang Libya, Khalifa Haftar. 

Haftar, pemimpin Tentara Nasional Libya (LNA), diduga memasok senjata dan dukungan logistik kepada RSF. Dukungan Haftar terhadap RSF adalah bagian dari jaringan aliansi regional yang lebih besar, melibatkan aktor-aktor seperti UEA, yang bertujuan untuk mengekspresikan pengaruh di Sudan demi keuntungan strategis dan ekonomi, termasuk penguasaan sumber daya dan wilayah.

Dukungan Haftar juga sejalan dengan kepentingan lebih luas dari kekuatan eksternal seperti Rusia, yang telah terlibat dalam konflik Libya dan Sudan melalui proxy seperti Grup Wagner. Hubungan yang rumit ini telah memperdalam krisis di Sudan dengan menambahkan dimensi eksternal pada perjuangan internal, membuat upaya perdamaian semakin sulit.

Grup Wagner, sebuah organisasi paramiliter Rusia, terlibat di Sudan terutama untuk mengamankan akses ke operasi penambangan emas yang menguntungkan. Kegiatan Wagner di Sudan melayani kepentingan Rusia yang lebih luas dalam mendapatkan pengaruh ekonomi di Afrika dengan mengendalikan sumber daya berharga seperti emas. 

Ini memungkinkan Rusia menghindari sanksi Barat dan memperkuat cadangan ekonominya. 

Sebagai agen asing jahat, Wagner tidak peduli dengan 100 kematian akibat kelaparan di negara penambangan lokal setiap hari, maupun berusaha mengurangi kelaparan mereka dengan biji-bijian yang berlebihan yang dapat diperdagangkan dengan emas Sudan. 

Wagner telah menyediakan dukungan militer dan senjata kepada Pasukan Dukungan Cepat (RSF) sebagai imbalan akses ke tambang emas Sudan, memperdalam keterlibatan mereka dalam konflik yang sedang berlangsung.

Peran UEA dalam konflik Sudan didorong terutama oleh kepentingan geopolitik dan ekonominya di kawasan tersebut. UEA telah memberikan dukungan signifikan, termasuk senjata, kepada Pasukan Dukungan Cepat (RSF), untuk mencari pengaruh atas sumber daya Sudan, terutama emasnya. 

Keterlibatan ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk memperluas pengaruhnya di Tanduk Afrika. Meskipun dampak kemanusiaan yang menghancurkan, UEA memprioritaskan kepentingan strategis, seperti melawan saingan regional seperti Turki dan Iran, daripada menangani biaya manusia dari konflik tersebut.

Keterlibatan Arab Saudi di Sudan mencerminkan campuran geopolitik regional dan kepentingan ekonomi, mirip dengan UEA. Arab Saudi melihat Sudan sebagai mitra strategis dalam upayanya melawan pengaruh Iran dan menegaskan kontrol atas kawasan Laut Merah. 

Selain itu, negara tersebut berusaha mempertahankan akses ke sumber daya alam Sudan, termasuk pertanian dan mineral. Meskipun Arab Saudi terlibat dalam diplomasi seputar konflik, tindakannya sering kali memprioritaskan dinamika kekuasaan regional dan pengaruh daripada menangani krisis kemanusiaan yang parah dan penderitaan warga sipil Sudan.

Peran Iran dalam konflik Sudan didorong oleh motif geopolitik dan permainan kekuatan regional. Iran berupaya memperluas pengaruhnya di kawasan ini, menyeimbangkan kekuatan Saudi dan Emirat, serta mempertahankan pijakan strategisnya di sepanjang Laut Merah. 

Melalui penjualan senjata, termasuk drone kepada militer Sudan, Iran turut serta dalam kekerasan yang sedang berlangsung tanpa memprioritaskan krisis kemanusiaan. 

Dukungan Iran terhadap faksi-faksi dalam konflik ini sejalan dengan tujuan yang lebih luas untuk menegaskan kontrol di Timur Tengah, bahkan dengan mengorbankan penderitaan dan kehancuran warga sipil.

Peran Sudan Selatan yang dulu merupakan bagian dari Sudan dalam konflik Sudan terutama dibentuk oleh kekhawatiran ekonomi dan keamanannya. Sebagai negara tetangga di sebelah selatan Sudan, Sudan Selatan sangat bergantung pada ekspor minyak yang melewati pipa-pipa Sudan, yang membuatnya rentan terhadap ketidakstabilan di Sudan. 

Selain itu, Sudan Selatan memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan regional, karena konflik di Sudan dapat menyebabkan kekerasan lintas batas dan arus pengungsi. 

Ketidakstabilan internal Sudan Selatan yang rapuh dan ketergantungan ekonominya pada Sudan membuatnya menjadi pemain yang peduli namun berhati-hati dalam krisis yang sedang berlangsung.

Hasilnya sangatlah buruk: kelaparan, pengungsian massal, dan kekerasan yang tak terbayangkan. Warga sipil, yang terjebak dalam baku tembak, menghadapi kelaparan dan kematian, sementara negara mereka dihancurkan oleh para pemimpin yang haus kekuasaan dan kepentingan asing. 

Meskipun horor ini, perhatian global sangat kurang, dengan bantuan dan upaya diplomatik yang terbatas tidak memberikan dampak berarti. Penderitaan Sudan terus berlanjut tanpa henti, mengingatkan kita pada harga yang harus dibayar ketika kekuatan global lebih memprioritaskan sumber daya daripada kehidupan manusia.

Amerika Serikat telah mengambil beberapa langkah untuk mencoba menyelamatkan Sudan dari kemerosotan lebih lanjut, termasuk upaya diplomatik, sanksi, dan bantuan kemanusiaan. Pembicaraan damai yang dipimpin AS bertujuan untuk menengahi antara pihak-pihak yang berkonflik, seperti militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), untuk merundingkan gencatan senjata dan perjanjian damai. 

Selain itu, AS telah memberikan bantuan kemanusiaan yang penting, menangani kekurangan pangan dan pengungsian akibat konflik. Namun, upaya ini menghadapi tantangan besar karena kompleksitas konflik dan keterlibatan kekuatan regional.

Hanya dengan mengalihkan fokus dari perebutan kekuasaan dan sumber daya ke pembangunan perdamaian yang tulus, Sudan dapat berharap untuk keluar dari siklus kehancuran ini. Atau untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Sudan, perlu dibangun kerangka konstruksi perdamaian yang mencakup pendekatan komprehensif yang melibatkan semua aktor domestik dan eksternal. Pertama, dialog inklusif antara kedua kelompok yang bertikai, yaitu militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), harus diprioritaskan. 

Ini memerlukan mediasi oleh pihak ketiga yang netral, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Uni Afrika, dengan dukungan dari negara-negara yang tidak memiliki kepentingan langsung di Sudan. 

Proses ini perlu dilengkapi dengan langkah-langkah untuk membatasi pengaruh asing yang memperburuk konflik. Sanksi yang ditargetkan terhadap aktor eksternal yang memasok senjata atau memperburuk kekerasan dapat diterapkan bersamaan dengan insentif ekonomi untuk mendukung stabilitas. 

Selain itu, mekanisme distribusi sumber daya yang adil, termasuk pembagian hasil dari sumber daya alam seperti emas dan minyak, harus dibentuk untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi tersebar merata di antara masyarakat Sudan, bukan hanya elite politik atau aktor militer. 

Pendekatan ini harus dipadukan dengan program rekonsiliasi nasional yang fokus pada membangun kembali kepercayaan antara komunitas yang berbeda, memberikan kompensasi kepada korban, serta memperkuat institusi negara untuk mencegah kembalinya kekerasan.

Kesimpulan dari tragedi Sudan adalah gambaran mengerikan tentang bagaimana perebutan kekuasaan dan sumber daya oleh berbagai aktor---baik domestik maupun internasional---telah menghancurkan kehidupan rakyat sipil. 

Meskipun ada upaya dari pihak-pihak seperti Amerika Serikat untuk menengahi konflik dan memberikan bantuan kemanusiaan, kompleksitas konflik yang dipicu oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik dari aktor-aktor asing telah menghambat perdamaian. 

Penderitaan rakyat Sudan---yang terjebak dalam kelaparan, kekerasan, dan pengungsian massal---tidak akan berhenti sampai fokus dari perebutan kekuasaan dialihkan ke pembangunan perdamaian yang tulus. 

Sebuah kerangka perdamaian yang komprehensif dan adil, yang melibatkan dialog inklusif serta pembatasan pengaruh asing, menjadi satu-satunya harapan bagi Sudan untuk lepas dari siklus kehancuran ini. Namun, hingga itu terjadi, Sudan terus terperangkap dalam konflik yang telah menghancurkan impian rakyatnya untuk hidup damai dan sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun