“Cantiknya..” jawabku sekenanya karena tidak hapal urut-urutannya.
“Ah..kamu itu..kok langsung bilang cantiknya. Ya udah ndak papa. Trus?”
“Hartanya, nasabnya, dan agamanya..” jawabku langsung karena tidak sabar menanti jawaban sang kyai tentang kriteria yang kelima.
“Iya..betul. Trus kalau kamu sudah mendapatkan calon istri sesuai salah satu kriteria itu yang kelima adalah mau apa tidak dia sama kamu…ha..ha..” jawab sang kyai menjelaskan kriteria yang kelima.
“Oalah, kalau itu ya jelas to, yai.” Kataku dengan agak kecewa.
“Eh itu, telo godhognya disambi, dimakan.” Kata kyai menawarkan ketela rebusnya yang masih hangat.
“Tapi, yang penting agamanya ya, yai?” tanyaku sambil mengambil ketela rebus kemudian memakannya.
“Kita tidak mungkin bisa mendapatkan 4 kriteria ini. Udah cantik, keturunan orang baik, kaya, agamanya, akhlaknya hebat, jangan kau mengharap dapat semuanya. Harus ada yang dikalahkan. Tapi, yang tidak boleh dikalahkan adalah agamanya, akhlak dari si perempuan itu.” Terang sang kyai.
“Lha, terus kriteria yang tidak bisa kamu kalahkan setelah agama, apa?” lanjut sang kyai memberi pertanyaan kepadaku.
“Cantiknya, kyai..” kataku .
“Hmm… ya..ya.. Agamanya bagus, cantik pula.. Kalau kriteria kaya bisa kamu kalahkan kenapa? Kenapa nggak mencari calon istri yang kaya, sudah mapan supaya hidupmu bisa berubah tidak nelongso terus kayak gini?” kata sang kyai.
“Kalau masalah materi, sebagai laki-laki saya siap menanggung nafkahnya, yai. Walau harus banting tulang peras keringat seperti sekarang ini. Yang penting agamanya bagus pasti akan qona’ah, menerima hasil jerih payah suami.” Jawabku.