Pukul 9 pagi. Saya di bandara Mumbai. Dari Pune. Saya akan naik pesawat Indigo tujuan Chennai. Sore nanti. Masih banyak waktu.Â
Bandara dingin sekali. Saya sudah bersweater berkupluk, angin masih menyerang leher.
Saya sudah jadi flu. Tertular teman yang sama-sama satu taksi. Dari Panchgani ke Pune. Badan terasa demam dan nyeri, hidung mampet. Saya berusaha kalau batuk, tidak bersuara keras karena takut dilirik petugas bandara. Lalu diamankan. Waktu itu awal pandemi usai. Penerbangan antar negara sudah dibuka. India sudah boleh lepas masker. Tapi saya tetap pakai masker.
Saya baru saja sarapan.  Pongal (bubur nasi dan lentil) dan sambar. Ditutup sepotong kukis dan kopi di cup kertas. Kopi  campur susu cair. Gurih berlemak. Rasa yang lembut.
Dari kedai, saya minta pegawai mengisi tumbler saya dengan air panas. Syukur dia baik hatinya. Saya duduk ke depan kedainya. Sudah minta dua kali mengisi. Saya perlu air panas, memastikan kalau ada virus, terdorong ke perut. Di bandara tersedia air minum isi ulang, tapi dingin.
Saya bengong. Menghayati nyeri dan mampet. Memperhatikan penumpang yang antre cekin. Sesekali bersihkan hidung dari ingus, ke tisu, buang ke plastik kecil. Plastik sudah penuh tisu basah mukus. Saya bolak-balik ke toilet, narik tisu baru. Angin pendingin ruangan menyakiti kulit. Sesekali menyerang kepala, nyeri.Â
Badan siap menggigil. Saya hajar terus dengan minum air panas. Lalu kencing. Gitu terus.
Lalu seseorang nemplok duduk di sebelah kiri saya. Berbatas satu kursi. Saya melirik tetangga baru itu. Laki-laki berwajah India. Berperawakan sedang. Mungkin 40 tahunan. Â Wajahnya rambut semua. Kumis, jenggot memenuhi setengah pipi. Kulit terang. India putih. Dan, alis hitam tebal bertaut.
Alis hitam tebal bertaut seperti ulat bulu di atas mata? Saya ingat sesuatu. Tapi ingatan tipis.
Tak lama ia duduk, hapenya berdering. Saya memiringkan kepala, sedikit. Ke arahnya. Ia meraih hape dari saku baju. Video call.Â
Dia buat wajahnya dan hape berhadap-hadapan. Lalu meluncur kata-kata: honey, darling, baby.
Yaelah, baru dua menit pisah udah telepon, pikir saya lebay.Â
Saya tak berniat mendengar obrolan tapi telinga saya bekerja sukarela.Â
Dia berjanji akan pulang setelah dua bulan di Bangladesh. Itu hanya sebentar, baby, katanya. I will call you every night, I promise, honey, katanya.
Hmmh...
Percakapan selesai. Tak sadar saya menoleh ke arahnya. Sekadar protes? Ini ruang publik. Dia menangkap gerakan saya, eh dia sedang mengusap matanya.Â
Hah? Dia memproduksi air mata untuk perpisahan dua bulan?
Tanpa saya harap, dia bilang, "I am sorry. My daughter. She's just twelve. She's still crying when I left home."
"Oh I see," saya menatapnya, mengangguk berempati. Semoga dia tahu bahwa  saya tak butuh penjelasan. Tapi buatnya, mungkin gestur saya tidak mengatakan itu.
Lantas saya diserang memori. Kedua alis bertaut itu. Seperti ulat bulu hitam panjang yang membingkai mata.Â
Di mana saya melihat wajah ini? Saya berpikir keras.Â
Kami berkenalan. Saya kaget ketika dia menyebut namanya: Thiru.Â
Thiru? Di mana saya dengar nama itu?
Seperti deja vu. Thiru. Dua alis bertaut hitam lebat. Di mana?
Dia seorang pendeta. Sedang ditugaskan oleh gerejanya ke Bangladesh untuk merintis pelayanan. Di pinggiran kota. Melayani orang miskin di pemukiman kumuh. Tiap hari bertemu dan melatih kader penduduk setempat agar kelak mereka dapat menolong diri sendiri. Mereka membuka pusat belajar gratis, makanan sehat gratis untuk anak tiga kali seminggu, klinik gratis.
Cerita ini sudah saya dengar. Tapi di mana?Â
Kami ngobrol 30 menit dan kegiatannya di Bangladesh sudah berpindah ke kepala saya. Dia pamit karena harus naik pesawat. Kami pun berpisah.Â
Dia memberi kartu nama, berkata: Kalau ke Mumbai atau Bangladesh, kontak saya. Rumah kami terbuka.Â
Saya berterima kasih.
Saya pandangi kepergian dia sambil kepala berpikir keras: saya tahu cerita ini tapi di mana?
Kepala saya sakit. Saya ingat lagi saya flu. Saya buang ingus. Buang tisu ke plastik. Minum air panas. Tenggorokan mungkin sudah meleleh. Tapi cerita Thiru?
Makin saya cari tahu, makin buntu pikiran. Tapi saya penasaran betul. Akhirnya saya menyerah. Sudahlah, lupakan. Kalau memang perlu, ingatan akan muncul kembali.
Saya mengantre masuk pesawat, badan menggigil kepala sakit, tiba-tiba ingatan terang menyerbu seperti air bah.Â
Thiru. Alis bertaut hitam lebat. Pendeta. Bangladesh. Melayani orang miskin.
Tak sadar mulut saya bersuara keras. Saya mendengar suara sendiri, kaget sendiri. Bagaimana mekanisme ingatan? Tadi masih hang? Memori penuh atau apa?
Petugas tiket sempat mendelik. Saya diam.
Saya ingat seorang perempuan. Yang saya jumpa di KBT, angkutan Balige ke Medan. Saya naik dari Balige, dia dari Siantar. Sepuluh hari lalu.
Ke bandara, kata saya. Saya juga, jawabnya. Oh, jadi tujuan kami sama.
Dia menarik perhatian saya oleh sebab dia berbicara dengan pengucapan kata yang benar dan jelas. Intonasi yang tegas. Seorang yang rajin. Kadang-kadang disisipi bahasa Inggris yang English speaking, dan elegan.Â
Rambutnya panjang sebahu, bersinar. Kulit wajahnya bersih berkilau. Kemeja hitamnya berpotongan sederhana. Dia enak dipandang. Dia seorang pelayan Tuhan yang sederhana. Berkelas. Bersih dan tegas. Terbuka dan jelas.Â
Dia baru pulang cuti, pulang ke Siantar. Karena ibu meninggal. Dia punya cukup waktu untuk membicarakan soal warisan. Dengan adik-adiknya. Dia anak sulung. Ayah mereka sudah lama meninggal. Orang tua mereka meninggalkan tanah cukup luas dan rumah besar. Dan beberapa aset lain. Yang dipinjam pakai oleh keluarga. Ini dan itu.Â
Ia bekerja di Chiang Mai, Thailand. Sudah 7 tahun. Dalam waktu dekat akan pindah ke Bangladesh, mengikuti pelayanan suaminya. Calon suami maksudnya.
Dan ini. Nama calon suaminya: Thiru.
He is from a Christian Indian family generation, katanya. Memperlihatkan foto si laki-laki calon suaminya. Yang paling saya ingat: kedua alis bertaut dan hitam tebal. Seperti ulat bulu.
Kami berdua terbeban dengan orang-orang di Bangladesh. Saya sudah ke sana dua kali, kata Gadis Siantar.
Sekarang jantung saya berdebar. Ingat obrolan dengan Thiru.
Anak perempuannya 12 tahun.Â
Saya tercenung. Sekarang bola ada di tangan saya.
Di dalam pesawat ke Chennai, saya tak tenang. Membayangkan Gadis Siantar yang super charming. Dan Thiru. Anak perempuannya berusia 12 tahun. Si alis bertaut. Apakah dia penipu?
Aduh, gimana nih? Si Gadis Siantar berbagi nomor kontak dengan saya. Sebelum kami berpisah.
Di bandara Chennai, saya duduk beberapa jam. Berpikir. Flu sedikit terabaikan. Di mana plastik ingus? Oh sudah saya buang sebelum naik pesawat tadi.Â
Saya masih meler. Saya beli chai, teh susu India. Saya gelisah sendiri. Saya harus beritahu Gadis Siantar. Soal Thiru. Ini demi peradaban. All girls are sisters.
Aduh. Gimana sih ini? Saya pandangi hape. Lalu melihat wajah profil Gadis Siantar di nomor WA. Dia sungguh bersinar.Â
Apakah saya tidak terlalu jauh mencampuri urusan orang?
Tapi saya sudah menyapanya di WA. Dia menjawab beberapa menit kemudian. Whats up, sudah balik Balige, tulisnya.
Aduh apa ya. Saya putuskan menulis dan menceritakan apa yang saya alami beberapa jam ke belakang.
And you know what, kata saya. Namanya Thiru. Dan alis bertaut. Seperti ... Thiru kamu.
Lalu sunyi. Dia tidak menjawab. Saya kikuk. Sudahlah. Saya tutup WA. Menunggu. Pasti dia sedang berpikir.
Diam yang cukup lama.
Sampai saya terbang ke KL. Dari KL ke Medan. Sampai di Medan. Dia masih bungkam. Semoga aman-aman saja di sana.
Aduh, gimana sih ini? Apa saya kirim pesan, is every thing alright? Tapi, ngapain?
Dalam perjalanan Medan-Balige, dia baru muncul.
Who is Thiru?
Hah?Â
I thought, amm... your fiance's name.
No, I said Khiru. K-H-I-R-U.
Oh maaf, saya salah dengar.
No, no. I just called Khiru and told him every thing you told me. And he already knew Thiru. Actually we do similar ministry but different areas. Far from each other.Â
Dan kamu benar, kata Gadis Siantar. Wajah mereka mirip. Alis bertaut dan kumis dan jenggot. Mereka sendiri surprise dengan banyak kemiripan itu. Sudah menyusur jejak  keluarga ke belakang, kalau-kalau mereka satu nenek moyang. Tidak sama sekali.
Haha. He promise to send me their picture together when they have met. I will send you when he once sent me.
Okay, jawab saya.
Selesai percakapan. Saya merenungi peristiwa itu.Â
Bisa gitu ya?Â
Every meeting has a purpose. There is reason behind that. Itu kata Gadis Siantar.Â
Iya sih. Jadi ini apa artinya?Â
Flu saya pun ikut mikir. Dia tak mengganggu saya dengan memproduksi mukus di hidung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H