Thiru? Di mana saya dengar nama itu?
Seperti deja vu. Thiru. Dua alis bertaut hitam lebat. Di mana?
Dia seorang pendeta. Sedang ditugaskan oleh gerejanya ke Bangladesh untuk merintis pelayanan. Di pinggiran kota. Melayani orang miskin di pemukiman kumuh. Tiap hari bertemu dan melatih kader penduduk setempat agar kelak mereka dapat menolong diri sendiri. Mereka membuka pusat belajar gratis, makanan sehat gratis untuk anak tiga kali seminggu, klinik gratis.
Cerita ini sudah saya dengar. Tapi di mana?Â
Kami ngobrol 30 menit dan kegiatannya di Bangladesh sudah berpindah ke kepala saya. Dia pamit karena harus naik pesawat. Kami pun berpisah.Â
Dia memberi kartu nama, berkata: Kalau ke Mumbai atau Bangladesh, kontak saya. Rumah kami terbuka.Â
Saya berterima kasih.
Saya pandangi kepergian dia sambil kepala berpikir keras: saya tahu cerita ini tapi di mana?
Kepala saya sakit. Saya ingat lagi saya flu. Saya buang ingus. Buang tisu ke plastik. Minum air panas. Tenggorokan mungkin sudah meleleh. Tapi cerita Thiru?
Makin saya cari tahu, makin buntu pikiran. Tapi saya penasaran betul. Akhirnya saya menyerah. Sudahlah, lupakan. Kalau memang perlu, ingatan akan muncul kembali.
Saya mengantre masuk pesawat, badan menggigil kepala sakit, tiba-tiba ingatan terang menyerbu seperti air bah.Â