Lalu acara makan malam bersama. Orang-orang duduk di tikar. Aparatur kepala desa Limbong tampak hadir. Orang-orang terus berdatangan. Sekarang mungkin ada 50 orang yang hadir.Â
Parhobas mengantar piring berisi nasi dan gulai daging kambing ke hadapan tiap orang. Juga baskom-baskom kecil berisi air untuk mencuci tangan. Konon leluhur Batak tidak makan babi. Dulu, paling sedikit mereka memotong satu kerbau bila hendak beracara. Makanan babi mulai dikenal sejak kehadiran Belanda. Bila tidak cukup uang membeli seekor kerbau, maka diganti babi alias kerbau kaki pendek. Sama nya itu, kata mereka berbisik-bisik.
Semua makan tanpa kecuali, dengan tertib. Kita akan beracara sampai pagi, jangan sampai perut lapar. Parhobas membersihkan tikar dari piring-piring kotor, dari sisa plastik aqua gelas.Â
Juru bicara berkata acara (gondang) akan dimulai. Panuturi -- yang terpilih untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan diangkat ketua oleh sekelompok orang yang sedang beracara ini, berusia 25 tahun. Dia akan memimpin ritual.
Panuturi dan para mediator berdiri berjejer. Pargoci (pemain musik) memainkan gondang. Panuturi memimpin manortor --gerak-gerak seperti merespons musik gondang, serunai, hasapi. Mereka manortor sambil berjalan membentuk lingkaran. Gerak tortor mereka tidak seragam. Terkesan bebas dan santai. Sesekali di antara mereka saling memeluk pundak, saling tersenyum.
Alam menonton, hening. Hanya musik dan suara seruan salah seorang pargoci, yang memecah malam. Suasana yang bersemangat. Angin sesekali berembus kencang, menyentuh atap awning, menimbulkan bunyi gemuruh. Seperti akan hujan. Tetapi tidak.
Sekitar 20 mediator hadir malam itu. Mereka adalah orang dewasa berusia 50-60 tahunan dan anak remaja -15 tahunan. Laki-laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan. Mereka datang dari Siantar, Parapat, Dolok Sanggul, Porsea, Sibisa, Pangururan, Limbong.Â
Temperatur di hape saya menunjukkan 13 derajat Celsius. Wow, pantas dingin sekali.Â
Panuturi dan MediatorÂ
Lantas Panuturi meminta pargoci untuk memainkan satu musik tertentu. Dan Pargoci memainkan musik. Tapi Panuturi mengangkat satu tangannya, menyela, "Santabi, Amang namalo. Uning-uningan gondang on, ninna. Gondang na metmet. Baen ma, Ompung."Â
"Oh ido. Baen ma!"
Maksudnya, roh leluhur yang datang itu menginginkan satu gondang tertentu yang dimainkan.