Di sekeliling Batu, dibangun dinding semen persegi panjang, sekitar 5 x 10 m, dengan tinggi 2 meter, dan pada bagian tengah depan dibiarkan terbuka, seperti pintu. Di belakang Batu, di tanah lebih tinggi, berdiri patung Tuan Sariburaja, yang diresmikan tahun 2015. Di belakang patung ada semacam ruang, untuk duduk lesehan atau beristirahat. Berseberangan dengan patung, di satu bukit sana, adalah Situs Guru Tatea Bulan. Dan di belakang Situs, itulah Gunung Pusuk Buhit, tempat para leluhur Batak, turun dari dunia atas.
Langit gelap pekat. Di depan Situs Batu, berdiri tegak tenda awning. Di bawahnya gelaran tikar. Di bawah atap tenda, tergantung 3 lampu, yang memberi penerangan cukup pada seluruh lokasi acara. Memang ada penerangan lain, yang ditaruh di kaki Patung.
Di satu sisi tenda, sudah menunggu gondang -alat musik khusus ritual Sianjur Mulamula, yang terdiri dari 8 personel. Dua puluhan orang duduk di tikar.
Saya berkenalan dengan seorang anak muda, dari Tuktuk. Dia mengaku seorang Katolik, datang ke acara seperti ini beberapa kali. Alasannya hadir adalah melestarikan warisan leluhur. Kalau bukan kita, siapa lagi, katanya. Orang Batak mesti tahu keturunan siapa dan posisi keturunan berapa.Â
Lalu saya menjenguk kesibukan di teras Situs Batu. Para parhobas --yang beracara- memotong lontong, menyusun ayam panggang, mengatur peralatan dan lain-lain. Saya terus merangsek masuk ke bagian dalam situs.Â
Di dalam dinding semen, di depan Batu, ada semacam altar. Altar itu dialasi dan dihiasi bunga kelapa, yang menjuntai ke bawah. Di meja altar ada 8 piring oval berisi beragam makanan. Nasi putih, nasi kuning, lontong mengalasi arsik ihan Batak, telur rebus, ketan, potongan semangka merah, nangka, mentimun. Ayam panggang utuh.Â
Di lantai bawah altar ada cawan-cawan putih, untuk nanti diisi air, jeruk purut, daun sirih, saat marulaon (beracara). Di sudut-sudut meja altar, vas-vas berisi bunga putih, kuning, ungu, violet. Sedap malam, gerbera, krisan, gladiol. Wangi bunga sesekali terhirup hidung, diantar angin.
Di atas Situs Batu, berwarna-warni buah-buahan tersusun rapi di atas tampah lebar. Ada lima tampah. Nanas bermahkota dikelilingi belimbing, apel, jeruk, pir, buah naga, mangga.Â
Inilah pesta itu. Hasil alam terbaik semesta dipersembahkan kembali kepada para leluhur. Siapa pun roh leluhur yang datang malam ini, pastilah bersuka melihat dan menerima segala persembahan buah, bunga dan makanan lokal ini.Â
Martonggo
Pukul 9 malam. Acara dimulai dengan martonggo (berdoa). Seorang juru bicara memimpin tonggo-tonggo di altar. Tonggo dilakukan dengan bahasa Batak halus, permohonan kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon. Ompung adalah sebutan tertinggi orang Batak kepada yang sangat dihargai dan dimuliakan.Â
Para pendoa berdiri menghadap altar. Daun sirih menyembul di ujung atas jemari, terselip di antara dua tangan yang berpadu, sedikit di atas wajah. Mata-mata terpejam. Sikap sembah. Suasana hohom. Homi (hening). Tonggo-tonggo selesai dalam 20 menit.Â