Jika ada cinta yang pertama diterima seorang manusia, maka cinta itu, adalah cinta sang bunda pada anaknya. Itu sebabnya, seorang anak selalu saja mendamba sang bunda. Baik di dunia atau ketika sang bunda telah tiada.
Demikian besar kadar cinta bunda pada sang anak, sehingga Allah pemilik Alam semesta ini, malu untuk menunda permintaan seorang bunda, jika permintaan itu, menyangkut kepentingan sang anak.
Jangan tanya pada seorang anak, masakan apa yang paling nikmat di dunia ini? Karena, jawabannya tentu masakan sang bunda. Jangan tanya pada seorang anak, wanita mana yang paling dia sayangi di dunia ini? Karena, jawabannya tentu sang bunda.
Soal-soal yang lain, hanyalah berada pada urutan kedua atau bahkan urutan keenam belas.
Malasahnya, bagaimana jika bunda telah tiada? Maka, wajar saja, jika urutan kedua, akan naik menjadi urutan pertama, begitu seterusnya untuk urutan-urutan yang lain.
*****
"Man, indak pulang?" tanya Datuk sutan pada Herman.
"Belum tuk, Datuk duluan sajalah" jawab Karman.
"Kau pasti, menunggu sesorang?"
"hehehe...." Karman tak menjawab.
Tak tahu Karman harus menjawab apa. Sama halnya, tak tahu Karman apa yang akan dia lakukan sepeninggalnya Datuk Sutan. Mereka berdua, adalah jamaah terakhir sholat Ashar sore itu, di Surau Tabek Gadang .
Setelah  kepergian Datuk Sutan, karman benar-benar terjebak dalam sunyi. Surau yang terletak di tengah sawah kampung itu, benar-benar buah akulturasi budaya masyarakat Kampung Karman.
Awalnya, masyarakat yang mengerjakan sawahnya, sholat di dangau mereka masing-masing ketika waktu sholat tiba. Dari pertemuan-pertemuan setelah lelah seharian kerja di sawah menjelang pulang ke rumah, maka disepakatilah untuk membangun surau. Tujuannya agar bisa melakukan sholat berjamaah. Kini, sesuai perjalanan waktu, surau yang dulu sangat sederhana, menjelma sebagai surau dengan kondisi cukup baik.
Namun, perbaikan fisik surau, tak sebanding dengan bertambahnya jumlah jamaah yang sholat. Mereka yang mengerjakan sawah semakin sedikit saja. Sementara anak-anak sang pemilik sawah, tak ada lagi yang berminat meneruskan apa yang dilakukan para orang tua mereka. Jadilah surau ini, lengang.
Kini, sore itu, Karman duduk sendiri di surau tengah sawah itu, setelah Datuk Sutan meninggalkannya.
Untuk pulang ke rumah, ada rasa malas yang menggelayut pada Karman. Untuk apa pulang? Untuk siapa dia pulang? Rumah yang akan dia datangi, tentu akan kosong melompong. Tak ada lagi penghuni disana. Mandeh Khadijah, bunda Karman adalah satu-satunya penghuni rumah itu. Kini setelah empat tahun berpulangnya Mandeh Khadijah keharibaan Illahi Robbi, maka rumah itupun kosong. Dan, inilah kepulangan pertama Karman setelah empat tahun lalu, sejak berpulangnya Mandeh Khadijah kehadirat Allah SWT. Kepulangan untuk menziarahi makam mandeh Khadijah, sebagai bakti sorang anak pada sang bunda.
Apa pula yang akan Karman jawab, tentang sindiran Datuk Sutan, jika dia sedang menunggu seseorang? Betul dia menunggu seseorang. Tapi, siapa? Karman tak tahu siapa yang dia tunggu itu, bagaimana bentuknya, bahkan sekedar namapun dia tak tahu.
Aneh. Lalu darimana Karman yakin dia akan menemukan orang yang dia cari itu, di kampung Mandehnya sendiri? Tak lain, karena rasa sayang seorang anak pada Mandehnya. Tak satupun kalimat Mandeh Khadijah yang tak Karman percayai. Seluruh apa yang diucapkan Mandeh, dia percaya. Sebagaimana percayanya Karman bahwa Mentari akan terbit di ufuk Timur dan terbenam di ufuk Barat.
*****
"Pergilah man, nanti juga kau akan pulang"
"Tentu Mandeh, Karman akan pulang ke rumah Mandeh" jawab Karman.
"Bukan itu maksud Mandeh" kata Mandeh, sambil mengelus rambut Karman.
"Lalu, apa Mandeh?"
"Kau akan berjodoh dengan orang kampung kita"
"Bagaimana mungkin Mandeh?"
"Apa yang tak mungkin? Pinta Mandeh mana yang tak dikabulkan Allah?"
"Bagaimana caranya Mandeh? Karman tak satupun punya pacar di kampung ini?"
"Jangan tanya cara, itu tugas Allah. Tugas Mandeh hanya.."
"Hanya apa Mandeh...?"
"Hanya meminta pada Allah, menangis setiap saat pada sang Maha Kaya itu, selanjutnya biar Dia yang atur semuanya"
"Hehehe... Aamiin" jawab Karman. Mesti terasa sangat Absurd dan lucu aja bagi Karman.
*****
Kini, di depan surau Tabek Gadang itu, Karman menantikan keajaiban. Bagaimana caranya keajaiban itu akan mewujud, seperti yang dikatakan Mandeh waktu beliau hidup dulu.
Mentari semakin turun ke Barat. Halaman Surau Tabek Gadang makin sepi saja. Sebentar lagi, tentu akan  ada marbot Mesjid yang datang untuk mengumandangkan Adzan Maghrib, tanda berbuka tiba.
Biasanya, Marbot akan membawa sedikit panganan, untuk dia berbuka sendiri dan untuk mereka yang tersesat ke Surau ini, karena kesorean dalam perjalanan.
Karman memantapkan dirinya, mudah"an akan  ada sedikit kelebihan panganan yang dibawa Marbot. Cukuplah segelas air hangat  dan sepotong lamang.
Agaknya, keajaiban yang ditunggu Karman, tak akan terjadi sore ini. Jangankan wanita yang lewat, satupun manusia tak ada lewat. Jalan di depan Surau Tabek Gadang benar-benar  lengang.
*****
Pagi tadi, Karman sudah menziarahi makam Mandeh, makam itu telah dibuatkan kijing oleh Karman. Agar sesuai syariah, kijing Mandeh pada sisi atasnya, tetap terbuka. Tujuan Karman hanya satu, agar makam Mandeh memiliki data yang jelas dan tak hilang. Pada nisan Mandeh tertera nama dan bin, kapan Mandeh lahir dan kapan dipanggil Illahi Robbi.
Kini, tinggal satu yang harus dia kerjakan, pergi ke rumah Datuk Sutan. Pada adik Mandeh itu, dia akan pamitan untuk kembali ke Jakarta. Karman akan memimpin rapat terakhir sebelum libur lebaran, sekaligus membayarkan THR bagi karyawan yang telah mengabdikan waktu mereka selama ini,  bekerja pada  perusahaan Karman.
"Apakah setelah itu, kau akan pulang lagi Man? Lebaran di kampung?"
"Belum tentu Tuk" jawab Karman.
"Lalu, kau akan lebaran dimana?"
"Belum tahu, tuk"
"Di rumah calon isterimu mungkin?"
"Akh... Datuk, belum ada calon tuk"
"Kalau begitu, benar wasiat Mandeh mu Man"
"Apa maksud Datuk?"
"Dulu, empat bulan sebelum Uni Khadijah meninggal, beliau pernah bicara sama Datuk"
"Tentang apa tuk?"
"Uni Khadijah ingin menjodohkan kau dengan Aminah. Tapi, karena Aminah baru tamat SMP dan harus meneruskan sekolahnya ke Padang Panjang, Datuk hanya tersenyum saja. Datuk tidak menolak, juga tidak mengiyakannya"
"Terus..?"
"Sekarang Aminah sudah semester dua di Unand, tadi pagi dia baru datang dari Padang. Mendengar kau masih belum punya calon, Datuk ingat dengan keinginan Uni Khdijah. Bagaimana pendapatmu, Man?"
"Prinsipnya, saya tidak menolak Tuk, Mandeh juga pernah bicara tentang hal itu. Meski siapa orangnya Mandeh tak pernah memberitahukannya"
"Yah... Datuk juga, tak ingin kau terpaksa. Lagi pula Aminah masih kuliah"
"Iya Tuk, masih banyak waktu untuk itu"
*****
Perlahan pesawat Garuda meninggalkan Bandara Minangkabau. Pagi tadi, entah benar atau taktik Datuk saja, Datuk menghantarkan Karman ke Bandara bersama Aminah. Alasan Datuk Sutan, karena dia harus menemani Aminah ke Padang untuk keperluan kuliah sang anak perawannya.
Awan tipis menemani penerbangan Karman menuju Bandara Soetta, diantara awan tipis itu, tampak membayang wajah Mandeh, wajah yang memiliki kemiripan dengan Aminah. Benarkah yang dimaksudkan Mandeh itu Aminah? Karman tak tahu jawabnya. Yang dia tahu, dia harus bersungguh-sungguh meminta pada Allah dalam sholat-sholat dihari berikutnya, agar Allah memberikan sinyal, bahwa yang dimaksudkan Mandeh, benar Aminah adanya. Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H