Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Viralnya "Pick Me Girl" dan "Pick Me Boy": Sebuah Fenomena Manipulasi Perhatian di Era Digital

16 Mei 2024   21:54 Diperbarui: 16 Mei 2024   21:56 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang yang "pick me"/FB Isur Suryati 

Istilah "pick me" baru-baru ini menjadi viral di media sosial, terutama di TikTok. Di balik frasa sederhana "jemput aku" atau "pilih aku", terdapat makna tersembunyi yang mengacu pada individu yang rela melakukan apa pun demi mendapatkan perhatian. 

Fenomena ini, yang dikenal sebagai "pick me culture", telah menjadi topik diskusi hangat, memicu berbagai analisis dan perspektif.

Sejarah Singkat "Pick Me"

Istilah "pick me" bukanlah sesuatu yang baru. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke komunitas online dan forum awal, di mana pengguna sering menggunakan frasa tersebut untuk menarik perhatian romantis. 

Dalam konteks awal, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan individu yang menunjukkan perilaku tertentu untuk menonjol di antara kerumunan, dengan harapan menarik perhatian seseorang yang mereka minati secara romantis. 

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini telah mengalami perluasan makna, melampaui konteks romantis dan menjadi lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Perkembangan media sosial telah memainkan peran besar dalam evolusi istilah ini. 

Platform seperti TikTok, Twitter, dan Instagram telah memberikan ruang bagi pengguna untuk menunjukkan diri mereka dengan cara yang sangat spesifik demi mendapatkan perhatian dan validasi dari orang lain. 

Di sinilah istilah "pick me" mendapatkan maknanya yang lebih luas dan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari di dunia digital.

Ciri-Ciri "Pick Me Girl" dan "Pick Me Boy"

"Pick Me Girl" dan "Pick Me Boy" umumnya memiliki ciri-ciri yang serupa, yang semuanya berkisar pada kebutuhan yang kuat untuk validasi dan perhatian. 

Berikut adalah beberapa karakteristik umum mereka:

Mencari Validasi

Mereka mendambakan pengakuan dan persetujuan dari orang lain, terutama dari kelompok yang ingin mereka ikuti. Perilaku mereka sering kali didorong oleh keinginan untuk dilihat sebagai istimewa atau berbeda dari yang lain.

Menjatuhkan Orang Lain

Untuk menonjol, mereka sering merendahkan atau mengkritik orang lain, terutama mereka yang dianggap sebagai pesaing dalam mendapatkan perhatian. Ini bisa melibatkan komentar negatif atau meremehkan tentang penampilan, perilaku, atau pilihan orang lain.

Memanipulasi Perhatian

Mereka menggunakan berbagai taktik untuk menarik perhatian, seperti berpura-pura berbeda, mencari simpati, atau bahkan menjelek-jelekkan diri sendiri. Beberapa mungkin memanipulasi cerita atau situasi untuk menempatkan diri mereka dalam cahaya yang lebih baik atau mendapatkan simpati dari orang lain.

Menolak Kritik

Mereka sulit menerima kritikan dan cenderung defensif ketika identitas "pick me" mereka dipertanyakan. Ketika dihadapkan dengan kritik, mereka mungkin berusaha membenarkan perilaku mereka atau menyerang balik untuk mempertahankan citra diri mereka.

Dampak Negatif "Pick Me Culture"

"Pick Me Culture" dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi individu maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. 

Berikut adalah beberapa dampak yang paling menonjol:

Menciptakan Lingkungan Beracun

 Perilaku "pick me" dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan kompetitif, di mana orang saling menjatuhkan untuk mendapatkan perhatian. Ini dapat mengarah pada persaingan yang tidak sehat dan ketidakpercayaan di antara teman sebaya, merusak dinamika kelompok.

Merendahkan Diri Sendiri

"Pick Me Girl" dan "Pick Me Boy" sering kali terjebak dalam siklus mencari validasi eksternal, yang dapat berakibat pada rendahnya harga diri dan rasa tidak aman. Mereka mungkin mulai meragukan nilai diri mereka sendiri, karena kebahagiaan dan harga diri mereka bergantung pada persetujuan orang lain.

Memicu Perundungan

Perilaku merendahkan dan memanipulasi yang terkait dengan "pick me culture" dapat berkontribusi pada budaya perundungan dan cyberbullying. Ketika seseorang terus-menerus berusaha menonjol dengan merendahkan orang lain, hal ini dapat mendorong perilaku perundungan, baik secara langsung maupun online.

Analisis dan Perspektif

Fenomena "pick me" dapat dianalisis dari berbagai perspektif yang berbeda, yang memberikan wawasan lebih dalam tentang mengapa perilaku ini muncul dan bagaimana dampaknya terhadap individu dan masyarakat.

Perspektif Psikologis

Dari sudut pandang psikologis, kebutuhan untuk validasi dan pengakuan sosial merupakan salah satu motivator manusia yang fundamental. 

Manusia secara alami mencari penerimaan dan persetujuan dari orang lain sebagai bagian dari kebutuhan dasar untuk merasa diterima dalam kelompok sosial. 

Namun, ketika kebutuhan ini menjadi berlebihan dan diiringi dengan perilaku manipulatif, hal ini dapat mengindikasikan adanya masalah harga diri dan kepercayaan diri.

Orang yang terlibat dalam "pick me culture" mungkin mengalami ketidakamanan yang mendalam dan merasa bahwa mereka tidak cukup baik tanpa persetujuan orang lain. Ini bisa menjadi tanda adanya masalah psikologis yang lebih mendalam, seperti gangguan kecemasan sosial atau depresi. 

Dalam beberapa kasus, perilaku ini mungkin berkembang sebagai mekanisme pertahanan untuk mengatasi perasaan tidak berharga atau penolakan.

Perspektif Sosiologis

Dari sudut pandang sosiologis, media sosial dan budaya digital telah menciptakan ruang di mana "pick me culture" dapat berkembang pesat. 

Algoritma media sosial yang memprioritaskan engagement dan perhatian mendorong individu untuk berperilaku yang menarik perhatian, bahkan jika itu berarti memanipulasi atau menjatuhkan orang lain.

Di era digital, identitas dan citra diri seseorang sering kali dibentuk oleh jumlah likes, komentar, dan followers yang mereka miliki di media sosial. 

Ini menciptakan tekanan yang besar untuk menampilkan diri dengan cara yang akan menarik perhatian dan mendapatkan validasi dari orang lain. Dalam konteks ini, perilaku "pick me" bisa dilihat sebagai adaptasi terhadap tuntutan dan dinamika media sosial modern.

Perspektif Gender

Istilah "pick me" lebih sering dikaitkan dengan perempuan, namun "pick me behavior" dapat ditunjukkan oleh siapa saja, terlepas dari gender. 

Seringkali, perempuan disebut sebagai "pick me girl" ketika mereka tampak berusaha menarik perhatian pria dengan menunjukkan bahwa mereka berbeda dari perempuan lain. Namun, penting untuk menghindari stereotip gender dan fokus pada perilaku individu daripada identitas kelompok.

Mengaitkan perilaku "pick me" hanya dengan satu gender bisa memperkuat stereotip yang merugikan dan mengabaikan kenyataan bahwa perilaku ini dapat ditemukan di kalangan semua jenis kelamin. 

Dalam masyarakat yang masih sering memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda, penting untuk mengakui bahwa tekanan untuk mendapatkan validasi dan perhatian dapat mempengaruhi siapa saja, dan respon mereka terhadap tekanan ini mungkin bervariasi.

Menanggulangi "Pick Me Culture"

Upaya untuk menanggulangi "pick me culture" harus dilakukan di berbagai tingkatan, melibatkan individu, masyarakat, dan platform media sosial. 

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:

Pada Tingkat Individu

Individu dapat berusaha meningkatkan kesadaran diri dan membangun harga diri yang sehat untuk menghindari perilaku "pick me". Ini bisa melibatkan refleksi diri, mengenali nilai-nilai diri yang tidak bergantung pada validasi eksternal, dan mencari dukungan dari teman dan keluarga yang positif.

Pendidikan tentang kesehatan mental dan emosional juga dapat memainkan peran penting. Memahami bagaimana kebutuhan akan validasi dapat mempengaruhi perilaku dan mengembangkan keterampilan untuk mengelola perasaan tidak aman dapat membantu individu menghindari jatuh ke dalam perangkap "pick me culture".

Pada Tingkat Masyarakat

Masyarakat dapat mempromosikan budaya saling menghargai dan mendukung, serta menentang perundungan dan cyberbullying, untuk menciptakan lingkungan yang lebih positif. 

Ini bisa melibatkan kampanye kesadaran publik, program pendidikan di sekolah, dan inisiatif komunitas yang mendorong empati dan kerjasama.

Organisasi dan institusi juga bisa memainkan peran penting dengan menciptakan kebijakan dan praktik yang mendukung inklusi dan menghargai keragaman. Ini bisa membantu mengurangi tekanan untuk berperilaku dengan cara tertentu demi mendapatkan validasi atau penerimaan.

Pada Tingkat Media Sosial

Platform media sosial dapat menerapkan kebijakan yang meminimalkan konten yang mempromosikan "pick me culture" dan mendorong interaksi yang lebih konstruktif. 

Ini bisa melibatkan perubahan algoritma untuk mengurangi insentif bagi perilaku manipulatif, serta menyediakan alat dan sumber daya untuk mendukung kesehatan mental pengguna.

Platform juga bisa berkolaborasi dengan ahli kesehatan mental dan organisasi non-profit untuk menyediakan pendidikan dan dukungan bagi pengguna yang mungkin terpengaruh oleh tekanan untuk mendapatkan validasi online. Ini bisa termasuk kampanye kesadaran, sumber daya online, dan dukungan peer-to-peer.

"Pick Me Culture" adalah fenomena kompleks yang mencerminkan kebutuhan manusia untuk validasi dan pengakuan di era digital. Memahami ciri-ciri, dampak, dan akar penyebabnya dapat membantu kita untuk menanggulangi budaya ini dan membangun komunitas online yang lebih positif dan suportif.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat memperkuat kebutuhan manusia untuk validasi dan bagaimana tekanan untuk mendapatkan perhatian dapat mempengaruhi perilaku kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun