Dari sudut pandang psikologis, kebutuhan untuk validasi dan pengakuan sosial merupakan salah satu motivator manusia yang fundamental.Â
Manusia secara alami mencari penerimaan dan persetujuan dari orang lain sebagai bagian dari kebutuhan dasar untuk merasa diterima dalam kelompok sosial.Â
Namun, ketika kebutuhan ini menjadi berlebihan dan diiringi dengan perilaku manipulatif, hal ini dapat mengindikasikan adanya masalah harga diri dan kepercayaan diri.
Orang yang terlibat dalam "pick me culture" mungkin mengalami ketidakamanan yang mendalam dan merasa bahwa mereka tidak cukup baik tanpa persetujuan orang lain. Ini bisa menjadi tanda adanya masalah psikologis yang lebih mendalam, seperti gangguan kecemasan sosial atau depresi.Â
Dalam beberapa kasus, perilaku ini mungkin berkembang sebagai mekanisme pertahanan untuk mengatasi perasaan tidak berharga atau penolakan.
Perspektif Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologis, media sosial dan budaya digital telah menciptakan ruang di mana "pick me culture" dapat berkembang pesat.Â
Algoritma media sosial yang memprioritaskan engagement dan perhatian mendorong individu untuk berperilaku yang menarik perhatian, bahkan jika itu berarti memanipulasi atau menjatuhkan orang lain.
Di era digital, identitas dan citra diri seseorang sering kali dibentuk oleh jumlah likes, komentar, dan followers yang mereka miliki di media sosial.Â
Ini menciptakan tekanan yang besar untuk menampilkan diri dengan cara yang akan menarik perhatian dan mendapatkan validasi dari orang lain. Dalam konteks ini, perilaku "pick me" bisa dilihat sebagai adaptasi terhadap tuntutan dan dinamika media sosial modern.
Perspektif Gender