Mohon tunggu...
Irwan S
Irwan S Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Free journo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Regretter– The Untold Regret

17 Juni 2014   03:01 Diperbarui: 17 Desember 2016   00:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hey there,

Its been awhile, or I don’t know exactly when was the last time we blow each others mind. Its good to write again and I wish you could feel me out there, in another world and in another life. You know I try too hard then I give up too easily in the past. Sorry for not realized your attention. Here, today and tomorrow I will always remember our time. And this fiction dedicated to you.

Never thought you’re gone so fast.

Prak!

06.00 a.m terpampang di ponsel dan aku hanya bisa membantingnya di tempat tidur. Meskipun aku tahu sudah sebulan lebih seharusnya alarm di smartphone itu harus ku ganti jamnya, tapi aku tidak pernah menggantinya. Kini aku tidak perlu bangun pagi. Kini aku tidak perlu bergegas mengejar kuliah pagi, dan tak perlu menggerutu dini hari. Aku adalah mahasiswa semester akhir yang telah menyelesaikan semua mata kuliahku tanpa cela. Tidak ada satu mata kuliahpun yang berlabel nilai C. Ya, semua dosen pikir aku cukup pintar, padahal aku hanya cukup mengikuti rule setiap dosen. Dan sekarang, final paper sudah ku anggurin lebih dari sebulan. “Analisa semiotika terhadap komunikasi antar pribadi ayah dan anak dalam psikologi keluarga” Kata-kata itu adalah judul final paperku yang aku sendiri tidak tahu mengapa penelitianku berkiblat ke komunikasi antar pribadi. Ntah apa alasannya, aku juga tidak paham. Kadang, kau pikir kau mengerti dirimu sendiri, padahal di beberapa point kau malah sedang mencoba mengerti dirimu dan bahkan ketika kau mulai mengerti, kau ragu tentang siapa sebenarnya dirimu. Mungkin itu yang sedang menimpaku. Aku pun belum mengerti kenapa karya ilmiah yang menjadi kunci gelar sarjanaku sudah saban hari terbengkalai, sama seperti sepatu converseku yang tak kunjung jua dicuci. Bedanya sepatu itu sudah bertahun-tahun tak dicuci, tapi aku tak berharap sang skripsi mengijak usia tahunan. Bagiku itu ironi.

***

Aku Maxwel, orang-orang memanggilku Max dan nama Max cukup commonly used utk orang-orang yang bernama Maxwel, namun sudahlah. Itu tak mengapa, asal tidak dipanggil Paul, seperti yang dilakukan ibuku. Begonya, karena dia berharap ada seseorang seperti Paul McCartney, personil band kesukaannya The Beatles dikeluarga kami. Ya, karena hanya ada aku laki-laki di rumah.

I had single parent. And its mom. Namun, dia telah menghadap sang Pencipta setahun lalu. Sudahlah, aku tidak mau mengungkapkan detailnya mengapa karena itu cukup menyayat jiwa dan seluruh logika serta imajinasiku. Aku selalu diajarkan untuk mandiri sejak kecil oleh Mom. Sejak kepergian Mom, aku mencoba kerja part time sebagai photographer lepas untuk beberapa media online. Hasilnya cukup untuk membiayai sewa kamarku. Aku tidak tinggal di bersama keluarga sejak kuliah. Aku mendapat beasiswa di Princeton sedangkan Mom tinggal di Loiseland. Butuh 3 jam lewat jalur udara.

*****

Malam ini aku akan perform untuk pertama kali di Victoria Café & Gallery. Sejak sepinya orderan photo, aku berusaha mencari pekerjaan lain sambil memikirkan nasib final paperku yang sama sekali enggan ku sentuh. Lucky me, teman kampusku Ricky merekomendasikanku pada sang owner café yang tak lain adalah ayah Ricky untuk live acustic setiap Jumat sampai Sabtu. Walaupun harus perform dan menghibur pengunjung sampai tengah malam, Harry, begitu aku menyapa ayah Ricky, telah membuat kesepakatan soal fee dan nilainya sedikit lebih banyak ketimbang sebagai photographer lepas.

Aku cukup mahir memainkan gitar, dan aku tahu Ricky juga. Kadang aku mengajak dia untuk berduet. Di sini selain perform aku harus bersedia menghibur dengan mencoba menyanyikan lagu permintaan pelanggan atau bahkan bernyanyi bersama mereka.It was great to sing along with different kind of people every nite.

**

Sebulan sudah aku menjadi penghibur di Victoria,itu berarti umur final paperku juga sudah bertambah sebulan tanpa noda baru dariku. Aku tahu aku seharusnya tidak begitu, tapi aku masih tidak tahu mengapa. Bahkan, bodohnya sekarang aku selalu bangun jam 1 siang and doing nothing after that. I’m a zombie and I’m alive.

**

Clap clap clap clap!

Riakkan tepuk tangan pengunjung Café termehag yang pernah kudengar sejauh ini. Ini disebabkan oleh seorang wanita yang kuiringi saat bernyanyi. Sepertinya dia sedikit mabuk, sesaat sebelum memintaku memainkan irama feeling good-nya nina simone, dia menyempatkan memberikan speech. “You only live once, so enjoy every single of your life. Remember, heartbreak cant stop you to enjoy life,” teriaknya kemudian dia bernyanyi sambil menari robot. Well, walaupun lagu dan tariannya tidak seirama, dia kelihatan lucu dan menghibur. Apalagi wanita berparas elok itu mengajak semua pengunjung untuk bernyanyi bersama. Sepertinya dia baru diputusin kekasihnya atau mungkin dia yang memutuskan, who knew?!

Its already 12 in the mid nite and its time for closing speech as always. Meskipun pengunjung masih belum sepi, tapi aku cukup lelah dan uncle Harry sangat baik. Dia tidak pernah memaksaku untuk perform lebih lama.

“Hey younh man, may I have one more song,” sapa seorang pria tegap bermata tajam.

“Sorry sir, I’m a lil bit unwell basicly, tomorrow I’ll give you more than 1 song before 12 am,” balasku.

“Ku mohon, satu lagu saja,” ujarnya datar.

Sepertinya pria ini mabuk dan aku tidak sukak tatapannya. Tanpa ragu aku hanya membalas dengan senyum dan mencoba berlalu pelan sambil mematikan mic ku.

“Hey, young man I’m begging you. If you cant sing just play that guitar then I’ll sing and im not a drunk man as you thought,”bisiknya sambil mengikuti dari belakang.

Dari mana dia tahu aku berpikir dia sedang mabuk. Ok, memang aku berpikir sepertinya dia sedang mabuk. Senyumnya membuatku cukup simpati.

“But you have to promise me just one song or I’ll get mad,” kataku seraya membuat kesepakatan.

“Sure thing,” balasnya cepat.

“What kind of song sir?” tanyaku

“Let It Be from The Beatles,” ungkapnya.

Oh shit, this man is so old fashion. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka lagu ini. Terlalu sering dinyanyikan banyak orang. Ntahlah, mungkin pria ini juga sedang terkena sindrom gagal moved on seperti banyak pengunjung lain. Aku juga tidak terlalu hafal liriknya, tapi untuk ritme alunan musik aku masih paham karena lagu ini is a kind of another general song for me.

**  When I find myself in times of trouble

Mother Mary comes to me

Speaking words of wisdom, let it be

And in my hour of darkness

She is standing right in front of me

Speaking words of wisdom, let it be

Let it be, let it be

Let it be, let it be

Whisper words of wisdom, let it be

And when the broken hearted people

Living in the world agree

There will be an answer, let it be

For though they may be parted

There is still a chance that they will see

There will be an answer, let it be

Let it be, let it be

Let it be, let it be

Yeah there will be an answer, let it be

Let it be, let it be

Let it be, let it be

Whisper words of wisdom, let it be

Let it be, let it be

Ah let it be, yeah let it be

Whisper words of wisdom, let it be

And when the night is cloudy

There is still a light that shines on me

Shine on until tomorrow, let it be

I wake up to the sound of music,

Mother Mary comes to me

Speaking words of wisdom, let it be

Yeah let it be, let it be

Let it be, yeah let it be

Oh there will be an answer, let it be

Let it be, let it be

Let it be, yeah let it be

Oh there will be an answer, let it be

Let it be, let it be

Ah let it be, yeah let it be

Whisper words of wisdom, let it be **

Entah monster apa yang merasukiku, aku sungguh menikmati musikku dan suara si pria yang kupikir sedang mabuk ini. I know now he is not drunk. After the last reff, I see he is crying. Did I made a mistake atau dia terlalu menghayati setiap lirik.

“Are you ok sir?” tanyaku pelan.

“Tidak kenapa,” jawabnya sambil tersenyum dan menyalam tanganku.

“Next time, we should sing another Beatles’ song,” katanya.

“Ok,” balasku singkat sambil berberes.

“Hey young man, thanks. You are great than I thought,”ucapnya tersenyum sambil menuju pintu exit sendiri.

“Jadi dia datang sendiri,” gumamku dalam hati.

**

“Max, bagaimana perkembangan penelitianmu untuk final paper? Mohon segera kabari saya.” Siang ini terbangun hanya karena dosen mengirim pesan singkat tersebut sebanyak 3 kali dengan pesan yang sama. Damn! Aku langsung mencari akal untuk membalas, namun aku tak tahu harus beralibi apa. Sudahlah, tidak usah dibalas.

**

Hari ini hari sabtu, dan malam ini aku akan perform. Aku sudah mengkonfirmasi Harry bahwa hari ini aku akan perform sampai jam 12.30 am. Jam 1 aku dan Ricky akan menghadiri beer party Janet, pacar Ricky yang telah menyelesaikan final testnya.

Kali ini aku melihat a man that I thouth drunk last nite duduk di meja depan mini stage, tempat aku perform. Dan dia duduk sendiri dengan Heineken small size di meja nya.

“Selamat malam semua, tonite is a special nite not just because its Saturday nite, malam ini malam special karena saya dan kamu semua adalah special. Malam ini, siapapun yang ingin bernyanyi di depan sangat dipersilahkan dan kita akan sing along together. Enjoy this place and anjoy the rhythem of the guitar,” sapaku kepada pengunjung café malam ini.

Lagu pertama yang kubawakan adalah lagu Swedish House Mafia, Don’t You Worry Child. Semalaman aku mencoba belajar mengakustikan lagu ini dengan nada yang pas tanpa harus memasukkan high note sehingga terkesan out of control. Al hasil, banyak yang ikut bernyanyi bersamaku. Selama memainkan lagu ini, aku meihat pria yang bernyayi bersamaku semalam selalu menatapku tanpa melirik sisi lain. Tatapannya kosong dan lirih. Seperti air danau yang tenang tanpa angin yang membentuk ombak kecil. Namun, kelihatan sangat bermakna dan tulus. Sungguh kelihgatan behitu penuh arti yang indah.

Namun, aku tak menghiraukannya karena tugas utamaku adalah menghibur pengunjung, dan biasanya, setiap malam minggu, Harry selalu membayarku lebih karena menurutnya pengunjung di setiap malam minggu lebih banyak dan dia pikir itu karena permainan gitarku. Ntahlah, menurutku bukan karena aku, tapi aku bersyukur bisa dibayar lebih.

**

Jam menunjukkan pukul 12.30 dan aku mengentikan permainan gitarku.

“Bye everybody and have a good nite,” tutupku.

Aku dan Ricky bergegas keluar café menuju Galaxy Club yang hanya beberapa blok dari Victoria Café untuk acara beer partyJanet. Aku terkejut melihat a last nite I thought he was a drunk man sudah berdiri di depan Victoria Café.

“Young man, where do you go,” tanyanya.

“Galaxy Club, there’s a lil party. Actually his girlf friend party,” balasku sambil menunjuk Ricky yang tepat berdiri di sebalahku.

“Boleh berbicara sebentar,”

“Sure, ngobrol aja langsung pak,”

“Not here,”

This man is freak but I don’t know I think he is a good man.

“Sorry sir, I cant, see you next time,” aku berlaju meninggalkannya tanpa menoleh.

“Hey, my name is Thomas,” teriaknya saat aku berjalan tergesa-gesa bersama Ricky.

“Max, he said that his name is Thomas, what is that mean. You don’t know him,” Tanya Ricky.

“I don’t know, maybe he is a man from another space,” balasnya sambil tertawa.

**

Sunday, aku datang 10 pm. 60 menit lebih lama, dan aku tahu Harry sedikit kesal karena aku telat sejam. Aku langsung menghidupkan sound dan mengeluarkan gitar. Sebelum membawakan lagu pertama aku melihat lagi pria yang menyebut namanya Thomas duduk di meja yang sama seperti malam sebelumnya. Kali ini tatapannya sangat sayu dengan senyuman yang tulus. Kali ini aku benar-benar penasaran dan berencana akan berbicara kepadanya setelah aku selesai perform.

Masih pukul 11pm aku sudah melihat Thomas menuju pintu exit bersama wanita paruh baya. Ya, mereka seperti seumuran, mungkin itu istrinya. “Besok malam saja aku berbicara kepadanya,” ucapku dalam hati.

Selesai perform aku melihat satu kotak berwarna merah tua dengan motif ukiran eropa kuno. Mungkin berukuran 30 kali 20 cm. Dan itu berada di meja Thomas duduk tadi. Apa mungkin kotak ini milik Thomas. Ya, ini pasti milik dia, sebab tidak ada orang lain yang duduk di meja ini. Dia pasti lupa. Aku mengangkat kotak tersebut dan meletakkannya di atas rak buku hias di samping mini stage.

“Besok akan kukembalikan,” pikirku.

**

Sudah dua malam Thomas tidak menampakkan wujudnya. Aku pun semakin bertanya. Apakah dia sedang sakit? Seingatku, malam terakhir aku melihatnya dia berjalan tertatih saat menuju pintu keluar bersama wanita paruh baya. Mungkin dia memang sedang sakit.

Dan selama perform, aku kehilangan fokus. Aku tidak menerima permintaan lagu dari pengunjung dan aku sering menatap kotak berwarna coklat yang ketinggalan di meja Thomas.

“Donna, apa ada pengunjung yang menanyakan soal kotak merah itu?” tanyaku pada Donna, sang waitress.

“Tidak, malah aku pikir itu hiasan baru yang sengaja diletakklan di atas rak buku,” balasnya.

Memang kelihatan bagus dan match dengan rak buku tapi aku yakin ini punya Thomas.

Selesai perform, aku semakin penasaran dengan kotak tua itu dan tanpa ragu aku membawanya pulang.

**

Aneh, kotak ini memiliki kombinasi namun tidak berfungsi. Dengan gampangnya aku membuka kotak tersebut sesampainya aku di kamar sewaku.

Barang pertama yang kudapati adalah kaset album Let It Be nya The Beatles dengan sign yang tak asing bagiku tertuang di depan cover album. Aku cukup familiar dengan tanda tangan ini, tapi aku menghiraukan pikiran sepintasku dan memperhatikan barang-barang lain.

Tak ada lagi barang di dalam kotak tersebut selain beberapa lembar kertas denhan lambang-lambang asuransi yang tidak ku hubris serta selembar kertas yang telah dilipat dua. Dengan penasaran aku membukanya dan aku melihat sekumpulan tulisan yang menyatu yang aku yakini adalah sebuah pesan. Ini adalah sebuah surat. Tanpa bersalag dan penasaran aku membuka dan membacanya.

Dear Maxwel,

Kau sudah besar sekarang, seingatku kau dulu masih 2 tahun dan aku masih bisa mengendongmu. Kau adalah jagoanku kala itu dan aku yakin kau tetap jagoanku hingga kini.

Ada beberapa hal yang tak bisa dijelaskan dengan perkataan karena ketidakberdayaan. Aku sangat senang melihatmu sekarang. Kau bisa memainkan musik dan kau sudah mandiri.

Kau ingat saat kita menyanyikan lagu let it be bersama, itu adalah hari yang paling membahagiakan seumur hidupku. Itu juga merupakan lagu kesukaan ibumu. Kau lihat album the beatles yang ada bersama surat ini. Itu adalah tanda tangan ibumu di dalamnya.

Hey, little max. Aku sangat sedih menuliskan surat ini. Aku ingin meluapkan semuanya kepadamu secara langsung namun aku tak bisa. Ada banyak hal yang belum kau mengerti namun seharusnya memang tak perlu kau mengerti. Aku dan Ibumu berpisah secara baik-baik karena memang kami tak seharusnya bersama. Setelah kau berumur 2 tahun, kami memutuskan untuk berpisah dan sudah berkomintmen untuk bergantian merawatmu. Namun, semuanya berbeda setelah aku menikah lagi. Aku menikah dengan wanita yang sangat kucintai. Dia sama seperti ibumu, sangat lembut dan pengasih. Tapi, Tuhan tidak mengijinkannya memiliki anak seumur hidupnya. Dia keras kepala, dia sangat yakin bisa memiliki anak sehingga dia tidak bersedia mengadopsi anak.

Max, aku sangat menyayangimu. Tak ada penyesalan terbesar dalam hidupku selain hidup bersamamu. Maafkan aku. Banyak alasan yang bisa kusebutkan namun aku tahu, itu tidak akan bisa mengobati hatimu.

Selesaikan tesismu Max, kemarin aku bertemu dengan Mr.Boston dosenmu. Dia adalah rekan kerjaku, dan aku bangga mendengar prestasimu di kampus. Selamat atas beasiswamu. Aku tahu akulah alasan mengapa thesismu terhenti sesaat. Dan aku menyalahkan diriku sendiri atas hal itu. Bagaimana mungkin, kau meneliti sebuah komunikasi antar pribadi antara ayah dan anak jika aku tidak pernah berkomunikasi denganmu secara langsung. Tapi ingatlah, komunikasi tak harus berbicara. Hati hanya bisa berkomunikasi dengan hati. Aku menyayanimu Max.

Besok aku akan menyumbangkan ginjalku kepada isteriku, lagi pula aku sudah mengidap penyakit brainplague. Kau tahu, penyakit kemunduran otak akibat serangan virus. Beberapa dokter mengatakan ada obatnya, tapi aku tidak yakin, karena mereka memaksaku untuk kemoterapi namun aku menolak. Aku tahu penyakit itu langka dan mematikan. Jadi lebih baik ada kepastian istriku lebih lama hidup daripada aku yang bisa dihitung jari harinya untuk hidup.

My Little Max, Aku sangat menyayangimu.

Aku berharap kau mau memaafkanku. Oh ya, kau ingat buku-buku yang kau dapat disetiap ulangtahunmu sejak kau masuk senior high school. Itu adalah hadiah dariku. Heros, Charlie, The Notepad, dan sebut saja. Itu semua adalah buku kesukaanku dan aku berharap kau menyukainya juga, selain ceritanya bagus, ada nilai baik yang boleh kita tiru. Aku sedih mendengar kepergian ibumu. Kamu jangan khawatir soal biaya. Aku sudah memasukkanmu ke dalam asuransi sejak kau kecil. Seluruh kelengkapan dokumen ada bersama kotak ini dan kau boleh menghubungi no telp yang ada di dalamnya. Aku tahu ini tidak bisa membalas semua penyesalanku.

Max, I love you my son.

Thomas Gimbell Dowres

Your beloved father

**

I don’t know, these tears are overflowing. I think I know but sometimes never knowing why. Setelah membaca surat itu, aku masih bertanya-tanya. Kenapa? Kenapa? Why you leave me ? why you leave mom? Why you said you love me but you’re not there everytime I call a dad? Why? Why? Why?

**

Jumat dan Sabtu aku tidak hadir ke Victoria. Aku bagai mayat hidup di kamar. Bahkan pizza yang sudah mulai membusuk tak tergubris olehku. Aku ingin bertemu Thomas, tapi sesaat ada niat untuk tidak bertemu yang semakin besar. Aku begitu menyalahkannya, namun disaat bersamaan ada rasa sayang yang harus kulampiaskan kepadanya.

Aku seperti orang gila yang hanya bisa terbaring di ranjang.

**

“Max, open the door,” teriak Ricky.

Aku mendengar teriakkannya namun kakiku tak hayal seperti batu.

“Max, whats wrong men?” We are worry about you.”

Prakkkk! Aku terkejut sontak mendengar dobrakan Ricky. Dia berhasil membuka pintu dengan paksa.

“Max, kamu kenapa? Kamu sadar?”

Dengan lirih dan lambat aku menjawab “I’m okay men.”

**

Hari ini hari Minggu dan aku harus perform karena hari ini adalah hari ulang tahun Harry. Tak ada staff yang ingin mengecewakannya. Aku pun tak yakin apakah aku bisa perform saat hati dan pikiranku berlayar entah kemana.

“Uncle harry, I cant perform tonite and im really sorry,” kataku dengan nada rendah dan wajah yang pucat.

“Kamu sakit?, wajahmu keliahtan pucat, istirahat saja ya. Ricky, antar Max pulang,” ujar Uncle Harry.

Sesaat menuju pintu exit, seorang wanita paruh baya yang seingatku bersama Thomas beberapa hari yang lalu datang menghampiriku.

“Max,” ujarnya.

“Ya,” jawabku sontak.

Dia tersenyum iklhas dan menangis sambil memberikanku sebuah foto.

Foto Thomas dengan senyum lepas dan badan yang gagah bak pahlawan.

“Dia telah pergi dan dia sangat mencintaimu lebih dari yang kau tahu, aku tak tahan lagi harus menangis setiap hari. Aku harus pergi,” ujarnya dan bergegas pergi.

Aku tertunduk lemas, kaku, dan mati rasa.

** FIN **

Kadang kau tak menyadari, bahwa bagian terbaik dalam hidupmu mungkin saja bersama orang yang tak kau harapkan di waktu yang tak kau perkirakan. Sometimes you don’t have to understand, because there’s a lot of thing we canot understand.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun