Mohon tunggu...
Irwan Firman
Irwan Firman Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pemimpi yang mengagumi kabut

Tidak suka berkerja asa-asalan! Suka makan mie rebus sambil memandang awan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Atas Awan Kita Bersatu dan Harmoni, Review Puisi Nasionalisme di Era Algoritma Karya Denny J.A

20 November 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   22:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nasionalisme di Era Algoritma dengan bantuan chatgpt

*Puisi dapat dibaca pada link yang tersedia dan pada bagian akhir setelah pembahasan.

Membaca puisi karya Denny JA, saya merasa resah dan gelisah karena penulisannya berada di luar batas kaidah pembuatan puisi itu sendiri. Pemilihan diksi pada puisi “Nasionalisme di Era Algoritma” terkesan kurang hati-hati, mengaburkan makna, dan rima yang cenderung asal pada setiap baris yang juga terlihat acak-acakan pada setiap baitnya. Saya tidak tahu apa maksud Denny JA menulis puisi dengan sebebas itu. Mungkinkah puisi tersebut mewakili perasaannya tentang judul puisi yang sedang ia angkat? Ataukah ia ingin mengabarkan bahwa nasionalisme saat sekarang ini sedang berada pada posisi yang tidak baik-baik saja, di mana perkembangan digital saat ini membuat siapa pun merasa bebas menerima informasi, membagikan, dan mengaktualisasikan diri tanpa memperhatikan rambu-rambu adab, etika, dan nilai keluhuran bangsa.

Bila kita tilik sejenak tentang makna puisi, maka sah-sah saja bila karya Denny JA ini disebut sebagai puisi. Selain karena bahasanya yang indah, karyanya juga sesuai dengan makna puisi menurut H.B. Jassin, yaitu: karya yang diungkapkan dengan perasaan dan mengandung gagasan atau pikiran, serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu. Jadi puisi tak melulu soal aturan yang mengikatnya. Selagi merupakan bentuk ekspresi diri, imajinatif, bergaya implisit, dan padat makna juga bisa dikatakan sebagai puisi. Meskipun begitu, bila kita meminta bantuan pada kecerdasan buatan/Artificial Intelligence (AI) untuk menuliskan puisi tentang nasionalisme yang merupakan bagian dari tema dalam puisi ini, maka keautentikan puisi karya AI masih lebih terjaga pada struktur dan unsurnya. Di sinilah menariknya, ketika Denny JA ingin bebas dalam berimajinasi, namun kesimpulan opini kesastraan pada mesin AI masih terbilang lurus (on the track). Begitu juga Kebebasan berekspresi pada dunia nyata yang tak serta merta harus sejalan dengan kebebasan yang Denny JA tawarkan.

Saya menerka bahwa Denny JA merasa cemas dengan identitas bangsa Indonesia di era digital ini karena pengaruh yang masuk dari lingkungan luar yang dapat mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Ancaman tersebut sesungguhnya begitu dekat, menyebar melalui malware dan spam pada ponsel-ponsel yang kita miliki, berupa: berita hoax, konten yang provokatif, merendahkan golongan tertentu, membanggakan tata nilai dari bangsa lain, termasuk juga kecurangan-kecurangan dalam berpolitik yang dapat merasuk dan membentuk pola pikir yang terpolarisasi di kalangan anak bangsa. Bahkan, semakin kompleksnya perkembangan dunia digital saat ini, kita dijajah secara tidak sadar melalui kepintaran algoritma pada jejak-jejak digital yang telah kita akses, di mana kita mengakui bahwa hal tersebut adalah penjajahan gaya baru dengan cara halus, masif, dan terstruktur, namun kita justru menikmatinya.

Mengapa pula sejarah mesti bersimpuh di hadapan kita? penggalan kata Pada bait kelima inilah yang membuat saya ambigu, seolah masa lalu bergantung zaman now, layaknya sejarah dihidupkan kembali dari uang-uang yang kita miliki, dan sejarah harus pula berhutang budi kepada kita karena kejayaannya terangkat kembali ke permukaan. Menurut saya, para pelaku sejarah memiliki posisi mulia dan tidak perlu lagi menggali akar untuk menyatukan anak bangsa. Para pahlawan semestinya menuai buah atas perjuangan mereka; persatuan! Narasi perjuangan, pelaku sejarah, dan hikayat yang tak tertulis sekalipun akan menjadi saksi di sisi Tuhannya. Kitalah yang justru berkaca pada sejarah dan mengambil hikmah bahwa semangat, keteguhan, dan kelegowoan mereka mampu membuat bangsa ini bersatu dan bangkit melawan penjajahan. Itulah kelebihan puisi dengan sifat implisitnya. Denny JA memiliki imajinasi sendiri pada puisinya, tapi saya juga memiliki kebebasan menghadirkan imajinasi dalam versi yang berbeda.

Bila dulu para pahlawan kita berjuang menyatukan bangsa ini dengan mengerahkan segenap apa yang mereka punya, maka perjuangan saat sekarang bisa dilakukan melalui jari-jari, gagasan, dan karya-karya kita, yaitu melalui perangkat-perangkat digital yang kita miliki. Kita penuhi lalu lintas langit digital dengan cloud atau awan-awan yang memesona dan harmoni, sehingga keindahannya menjadi algoritma yang selalu muncul dalam mesin-mesin kecerdasan buatan. Kita perlu bersatu melawan hoax, mencari akar masalah timbulnya segala jenis provokasi, memfilter konten tak senonoh, menentang penindasan dan genosida di muka bumi, termasuk juga judi online yang saat ini sedang marak dan mengganggu kondisi ekonomi dan mental bangsa kita.

Untuk menjawab kekhawatiran Denny JA, maka seluruh anak bangsa perlu memiliki jiwa patriot dalam menjaga negerinya dan seisinya dari ancaman yang berbentuk fisik maupun non fisik. Oleh karena nya Pemerintah harus hadir dan melibatkan seluruh elemen bangsa, seperti: tokoh keumatan, pegiat pendidikan, ahli ekonomi, termasuk juga para ahli IT dalam memberikan kesadaran tentang pentingnya menjaga persatuan dalam ruang dan dimensi yang begitu kompleks dari berbagai macam ancaman, melalui pendidikan formal, forum kemasyarakatan, dan komunitas-komunitas anak-anak muda.

Agaknya saya pun menjadi penasaran bagaimana Chatgpt/AI menjawab cara menjaga nasionalisme di era algoritma, maka jawaban yang dihasilkan olehnya adalah sebagai berikut:

  • Edukasi literasi digital untuk mengenali berita palsu dan konten negatif
  • Promosikan budaya nasional melalui media sosial dan platform digital
  • Dorong konten positif yang memperkuat persatuan dan identitas bangsa
  • Perkuat regulasi digital untuk melindungi data dan memantau algoritma yang memengaruhi masyarakat
  • Libatkan generasi muda dalam menciptakan inovasi yang mengangkat nilai kebangsaan

Terakhir, puisi Denny JA bisa saja memunculkan asumsi bahwa di masa depan nasionalisme tidak lagi berbicara tentang lingkup lokal sebuah negara, tetapi akan berkembang menjadi nasionalisme yang bersifat regional maupun global. Bahwa dunia akan bersatu melawan keangkuhan, ketidakadilan, dan penjajahan di atas dunia. Maka di manakah posisi Indonesia? tentu saja menjadi pelopor, di bumi maupun di awan (cloud)!

Rujukan:

[1] mediaindonesia.com. (2023). Puisi Adalah, Pengertian, Ciri, Unsur, Struktur, Jenis, dan Cara Membuat. Diakses tanggal 11 November 2024

==============================================

NASIONALISME DI ERA ALGORITMA

Denny JA

(Di tahun 2024, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan, anak muda itu merenungkan nasionalisme)

-000-

Di balik layar ponselnya, ia bertanya:

Apakah arti tanah air, di zaman tanpa batas ini?

Negara adalah peta yang kabur di ujung jari,

batas-batasnya larut dalam pixel dan kode.

Tapi, di antara getar algoritma dan sinyal digital,

datang bisikan dari jauh, dari tahun 1928.

Sejarah bersimpuh di hadapannya.

Di langit, nampak leluhur menggali akar,

menyatukan suku, bahasa, dan agama.

Dari Sumatra hingga Papua, sumpah pun diikrarkan.

Satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa: Indonesia.

Mereka memahat impian dari luka dan air mata,

menjahit setiap perbedaan dalam simpul kuat.

Mantra itu menjadi akar yang menembus dalam, meneguhkan tanah air yang belum bernama, namun menyala dalam jiwa.

Ia, Darta, hidup di era digital yang tanpa batas.

Ia melihat dunia berbaur menjadi satu,

di antara pixel, kode, dan bising algoritma. (1)

Dalam riuh suara global yang tumpang tindih,

tanah airnya bagai nada dasar yang terus bergema,

nada yang tak terhapus.

Darta juga terheran:

“Di jantung algoritma yang tanpa rimba,

mengapa cintaku pada tanah air tetap berakar,

seperti embun pada daun yang enggan jatuh,

meski musim berganti dan waktu tak mengijinkannya."

Dunia digital mencairkan batas negara,

tapi tanah air bukan sekadar garis di peta;

ia ikatan yang merasuk jiwa,

melekat erat di setiap rasa.

Bahasa digital meleburkan segala suara,

tapi bahasa nasional bukan sekadar kata;

ia gema dalam dada,

jejak identitas yang kita bawa.

Di hatinya, tumbuh warna tanah yang tak tergantikan,

identitasnya berpadu dalam cinta yang tak kasat mata,

menjadi akar yang tak tampak namun kuat.

Sekarang, ia bicara dengan bahasa algoritma,

namun hatinya tetap bernada Indonesia.

Informasi memang tak mengenal batas.

Sinyal mengaburkan jarak.

Tapi cinta tanah air tetap tumbuh dalam senyap.

Sejarah memberinya memori.

Negara memberinya identitas.

Tanah air memberi rumah untuk pulang.***

Bali, 14 Oktober 2024

CATATAN

(1) Arti Nasionalisme di era digital, di era AI, kini menjadi renungan baru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun