Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Delusi Air Terjun di Tambang Pasir

31 Mei 2024   16:29 Diperbarui: 1 Juni 2024   15:46 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber gambar Pixabay.com/ReneGosner 

Delusi Air Terjun di Tambang Pasir

(Oleh: Irfan HT)


Jarrel mencium tangan bapaknya. Bekal makan siang yang disiapkan emak dikeluarkan dari plastik kresek berwarna hitam. Aroma ikan teri goreng dengan sambal terasi tercium dan menggugah selera makan. Bapaknya duduk memandang tumpukan pasir di tepi sungai sambil mengipas-ngipas wajah dengan tutup rantang.

"Pak, jadi kan liburannya ke air terjun?" tanya Jarrel sambil menyendok nasi ke piring plastik.

Pak Kamran yang sudah 30 tahun bekerja sebagai penambang pasir hanya tersenyum dan  mengangguk. Ya, begitulah kebiasaan lelaki berumur 50 tahun itu kepada orang lain. Dia selalu senyum walaupun hatinya menolak.

Janji Pak Kamran pada keluarganya sudah lama belum tertunaikan. Berlibur ke air terjun terkenal di pulau seberang adalah impian istri dan anak-anaknya terutama si sulung yang masih bersekolah di SMP.

Apa mau dikata, penghasilan dari menambang pasir hanya pas-pasan untuk makan. Itupun harus berhutang sana-sini jika tidak ada pemesan. Kadang-kadang, dia harus menunggu air banjir tiba untuk mendapatkan pasir halus yang terbawa arus dari hulu. Jika tidak ada banjir, pesanan pasir halus pun terpaksa ditolaknya.

"Rel, pulanglah. Biar Bapak yang lanjutkan, Nak," ujar Pak Kamran.

Jarrel mengambil sepeda dan meninggalkan bapaknya di pinggir sungai. Dari kejauhan terlihat Pak Kamran dengan 2 orang teman kerjanya. Mereka melanjutkan pekerjaan menambang pasir di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Jarrel terdengar bernyanyi gembira sambil menggoes sepeda melepas tangan dari setang. Liburan bersama keluarga tercinta ke tempat impian sebentar lagi akan tercapai.

***

Pagi ini, sungai di kampung Jarrel meluap. Hujan berjam-jam tadi malam membuat beberapa petak sawah tergenang air. Para warga yang menanam jagung dan padi dilanda kesedihan karena tidak bisa panen. Semua tanaman hanyut oleh air sungai. Air yang menggenangi jembatan dari kerangka baja juga tak bisa dilewati oleh anak-anak sekolah.

Bagi Pak Kamran banjir itu justru berkah. Selepas hujan, pasir halus mudah ditambang. Pesanan 10 truk pasir untuk pembangunan kompleks perumahan di kampung sebelah tentu bisa terpenuhi.

Pak Kamran duduk di bangku teras bersama istri dan 2 anaknya. Sebatang rokok kretek dihisap sambil menyeruput kopi hitam pahit yang disuguhkan istrinya. Jarrel dan adiknya tidak berangkat sekolah. Mereka menunggu bapak  berangkat kerja.

Saat menyuguhkan goreng pisang, istri Pak Kamran merayu suaminya untuk tak pergi ke sungai karena khawatir banjir susulan datang.

"Pak, tidak usah berangkat kerja hari ini. Besok kan masih bisa menambangnya," ucapnya.

"Nggak apa-apa, Bu. Berdoa saja semua lancar biar kita bisa bawa anak-anak liburan ke air terjun."

Sekitar 2 jam menunggu, Pak Kamran meninggalkan rumah. Berbekal ban dalam truk, dengan karung goni menutup lubangnya sebagai pelampung pasir, Pak Kamran berangkat kerja. Tak lupa sekop ditaruh di pundak kanannya.

Tiba-tiba dia lupa sesuatu dan berbalik lagi. Gelang mainan kepunyaan Jarrel terbawa olehnya. Gelang terbuat dari untaian biji sawo kering hasil karya Jarrel, dilepas dari pergelangan tangannya. Dia pakaikan kembali gelang itu ke pergelangan tangan anak sulungnya. Kemudian dia pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata.

"Pak Kamran, sebentar....," panggil seseorang dari simpang jalan.

Dia berhenti kemudian melepaskan ban dan sekop yang dibawanya. Ternyata yang memanggil adalah teman kerjanya.

"Itu, Pak. Orang yang pesan pasir, minta kita ke lokasi penampungan pasir di kampung sebelah. Katanya besok-besok antar pasir kesana langsung. Supirnya gak ada, lagi sakit keras. Saya tahu Pak Kamran bisa bawa truk, kan?" lanjutnya.

Pak Kamran mengangguk mengiyakan.

"Kita ditunggu sekarang, Pak. Itu disana dekat jembatan. Air sudah  mulai surut, kita bisa menyeberang,"

"Baik, mari, Pak," sahut Pak Kamran.

Mereka berlari kecil karena truk sudah menunggu dari tadi. Pak Kamran dan temannya duduk di samping supir truk. Mereka melaju melewati jembatan dengan perlahan karena air sungai masih menggenangi jalan.

Sesampai di lokasi, Pak Kamran bertemu dengan pemesan pasir. Seorang kontraktor yang terkenal di kampung sebelah. Dia adalah sahabat Pak Kamran waktu SMP dulu. Cukup lama mereka berbincang di rumah itu. Walau berkali-kali Pak Kamran mohon ijin untuk kembali ke tempat kerjanya, si kontraktor berulang kali juga menahan.  Dia rindu bernostalgia saat mereka bersekolah karena sudah lama tak bersua.

Tak terasa hampir setengah hari Pak Kamran ada di rumah itu. Tiba-tiba suara beberapa warga terdengar berteriak, "Pak Kades, Pak Kades. Ada bencana banjir di kampung sebelah...."

Ternyata sahabat Pak Kamran itu adalah seorang kepala desa di kampungnya. Dia menghampiri warga yang ngos-ngosan berlari menuju rumahnya.

"Banjir dimana, Bapak-Bapak?" tanya Pak Kades.

"Desa Nagasari, Pak. Semua rata karena air," ucap mereka bersamaan.

Saat mendengar nama Nagasari, Pak Kamran dan teman satu kampungnya terperanjat. Kopi yang sedang mereka seruput pun muncrat mengenai alas meja.

"Bapak yakin berita itu, Pak?" tanya Pak Kamran pada warga.

"Benar," serentak warga menjawab.

Pak Kamran memohon ijin pulang namun sahabatnya, Pak Kades, memaksa diri ikut ke lokasi. Warga-warga yang berdatangan pun kemudian disuruhnya naik ke dalam truk.

Dalam perjalanan, Pak Kamran meneteskan air mata. Dia memikirkan bagaimana keadaan keluarganya. Walau supir dan Pak Kades berada di samping dan berusaha menenangkan, dia tak peduli. Dia masih mengingat detik-detik meninggalkan istri dan kedua anak yang sangat dicintainya.

Benar saja, dari jauh terlihat semua porak poranda. Rumah-rumah hancur dan ada yang hanyut terbawa air bah. Pak Kamran panik dan cemas melihat rumahnya sudah roboh.

"Ibu..., Jarrel....," teriak Pak Kamran dengan keras.

Dia mencari sekeliling kemana anggota keluarganya semua. Teman kerja Pak Kamran juga terlihat menangisi keluarganya yang terluka. Ada orang tua yang sudah tak bernyawa. Binatang ternak pun banyak yang mati di lokasi.

Satu per satu jenazah yang ditemui Pak Kamran dibalikkan badannya untuk melihat wajah. Namun, dia belum menemukan keluarganya sama sekali.

"Pak, lihat sini!" teriak teman kerjanya.

Pak Kamran berlari menuju ke lokasi suara. Dia melihat istri dan anak bungsunya tergeletak lemas di samping pohon asam yang masih tegak berdiri.

"Ja-rel, Pak," ucap istrinya dengan bibir bergetar.

Pak Kamran mengangkat tubuh anak bungsunya dari pelukan istrinya. Seketika anak kecil itu menangis keras. Ada sedikit perasaan lega tergambar di mata tuanya.

"Jarrel mana, Bu?" tanya Pak Kamran sambil menangis.

"Ibu hanya bisa selamatkan adiknya, Pak. Air bah deras sekali, Jarrel terbawa arus," jawab istrinya sambil ikut menangis.

Segera dibantunya istrinya untuk bangun dan menuju ambulans yang sudah menunggu para korban dibawa ke rumah sakit. Tampak dari jauh Kades sahabatnya menunggu di pintu ambulans.

Pak Kamran terus mencari satu anaknya lagi yang masih hilang. Dia menyusuri pinggir sungai dan menuju tempat dimana dia biasa menumpuk pasir tambang. Menjelang sore dia belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan anak tersayangnya itu.

Saat akan beranjak pulang ke rumah, tak sengaja kakinya menyenggol sesuatu. Sebuah ranting kayu membuatnya terjatuh dan wajahnya membentur lokasi  bekas galian pasir. Tampak olehnya sebuah tangan tertutup oleh pasir sungai. Jari-jari kecil itu membuat tangis Pak Kamran meledak. Digalinya pelan-pelan supaya tak melukai tangan itu. Kaget bukan main, Pak Kamran melihat sebuah gelang dari biji sawo yang melilit di pergelangan tangan itu.

"Jarrel...," Pak Kamran menangis sekeras-kerasnya. Makin cepat digalinya tangan itu makin keras pula tangisannya. Benar saja jenazah yang dilihatnya, tertimbun pasir dengan posisi telungkup. Tak sulit bagi Pak Kamran untuk mengangkatnya. Selanjutnya, dia peluk erat tubuh yang dingin dan kaku itu.

Tangisan dan air mata sudah membutakan Pak Kamran. Tak berapa lama, terdengar suara keras seorang anak kecil dari atas pohon.

"Pak, Bapak, ini Jarrel, Pak. Jarrel masih hidup."  

Badan Pak Kamran lemas dan dia berlutut sambil menggendong jenazah anak kecil sebesar Jarrel di lengannya. Tangisan makin keras terdengar. Pak Kamran sudah seperti anak kecil yang ditinggal orang tua. Dibaringkannya jenazah itu perlahan dan kemudian memanjat pohon untuk menurunkan putra sulungnya.

Dengan mata berkaca-kaca dia gendong Jarrel kemudian mendudukkannya di samping jenazah.

"Kok bisa, Jarrel?" tanya Pak Kamran penasaran.

"Pas Bapak pergi, Jarrel mau pasangkan kembali gelang itu di tangan Bapak. Jarrel titipkan doa di gelang supaya Bapak selamat dalam bekerja. Tapi Bapak keburu jauh dan pergi naik truk. Nah, teman Jarrel yang temani pergi memaksa untuk memakai gelang itu. Tiba-tiba air besar datang menyeret kami. Teman Jarrel gak bisa berenang. Jarrel sempat bantu tapi Jarrel pikir akan ikut terseret kalau terus menggiringnya. Arusnya sangat deras, Pak," jawab anaknya sambil menunjuk jenazah anak kecil di samping mereka.

Pak Kamran sangat bersyukur masih dipertemukan dengan keluarganya semua. Dia bersyukur anaknya sudah tumbuh bijak dan dewasa, sudah berpikir kritis menghadapi masalahnya sendiri. Dipeluknya lagi anak sulungnya itu dengan erat seakan tidak mau kehilangan orang yang sangat dicintai.

"Pak, emak dan adik bagaimana?"

"Mereka selamat juga, Nak," jawab Pak Kamran.

Pak Kamran kembali menggendong jenazah temannya Jarrel dan mereka berjalan menuju posko bantuan.

Di tengah jalan, Pak Kamran bertanya, "Jarrel kita pasti akan pergi ke air terjun itu, Nak."

"Nggak jadi, Pak."

"Lho!?"

"Nanti kalo Jarrel sudah jadi tentara, Jarrel akan bawa Bapak dan Emak memanjat air terjun itu. Kita bisa buat pondok kecil di sana," celoteh Jarrel sambil memakai kembali gelang dari biji sawo itu ke pergelangan tangannya.

Pak Kamran tersenyum bangga dan matanya berkaca-kaca mendengarkan ujaran Jarrel yang polos, berambisi namun sangat bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun