Pagi ini, sungai di kampung Jarrel meluap. Hujan berjam-jam tadi malam membuat beberapa petak sawah tergenang air. Para warga yang menanam jagung dan padi dilanda kesedihan karena tidak bisa panen. Semua tanaman hanyut oleh air sungai. Air yang menggenangi jembatan dari kerangka baja juga tak bisa dilewati oleh anak-anak sekolah.
Bagi Pak Kamran banjir itu justru berkah. Selepas hujan, pasir halus mudah ditambang. Pesanan 10 truk pasir untuk pembangunan kompleks perumahan di kampung sebelah tentu bisa terpenuhi.
Pak Kamran duduk di bangku teras bersama istri dan 2 anaknya. Sebatang rokok kretek dihisap sambil menyeruput kopi hitam pahit yang disuguhkan istrinya. Jarrel dan adiknya tidak berangkat sekolah. Mereka menunggu bapak  berangkat kerja.
Saat menyuguhkan goreng pisang, istri Pak Kamran merayu suaminya untuk tak pergi ke sungai karena khawatir banjir susulan datang.
"Pak, tidak usah berangkat kerja hari ini. Besok kan masih bisa menambangnya," ucapnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Berdoa saja semua lancar biar kita bisa bawa anak-anak liburan ke air terjun."
Sekitar 2 jam menunggu, Pak Kamran meninggalkan rumah. Berbekal ban dalam truk, dengan karung goni menutup lubangnya sebagai pelampung pasir, Pak Kamran berangkat kerja. Tak lupa sekop ditaruh di pundak kanannya.
Tiba-tiba dia lupa sesuatu dan berbalik lagi. Gelang mainan kepunyaan Jarrel terbawa olehnya. Gelang terbuat dari untaian biji sawo kering hasil karya Jarrel, dilepas dari pergelangan tangannya. Dia pakaikan kembali gelang itu ke pergelangan tangan anak sulungnya. Kemudian dia pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata.
"Pak Kamran, sebentar....," panggil seseorang dari simpang jalan.
Dia berhenti kemudian melepaskan ban dan sekop yang dibawanya. Ternyata yang memanggil adalah teman kerjanya.
"Itu, Pak. Orang yang pesan pasir, minta kita ke lokasi penampungan pasir di kampung sebelah. Katanya besok-besok antar pasir kesana langsung. Supirnya gak ada, lagi sakit keras. Saya tahu Pak Kamran bisa bawa truk, kan?" lanjutnya.