"Benar," serentak warga menjawab.
Pak Kamran memohon ijin pulang namun sahabatnya, Pak Kades, memaksa diri ikut ke lokasi. Warga-warga yang berdatangan pun kemudian disuruhnya naik ke dalam truk.
Dalam perjalanan, Pak Kamran meneteskan air mata. Dia memikirkan bagaimana keadaan keluarganya. Walau supir dan Pak Kades berada di samping dan berusaha menenangkan, dia tak peduli. Dia masih mengingat detik-detik meninggalkan istri dan kedua anak yang sangat dicintainya.
Benar saja, dari jauh terlihat semua porak poranda. Rumah-rumah hancur dan ada yang hanyut terbawa air bah. Pak Kamran panik dan cemas melihat rumahnya sudah roboh.
"Ibu..., Jarrel....,"Â teriak Pak Kamran dengan keras.
Dia mencari sekeliling kemana anggota keluarganya semua. Teman kerja Pak Kamran juga terlihat menangisi keluarganya yang terluka. Ada orang tua yang sudah tak bernyawa. Binatang ternak pun banyak yang mati di lokasi.
Satu per satu jenazah yang ditemui Pak Kamran dibalikkan badannya untuk melihat wajah. Namun, dia belum menemukan keluarganya sama sekali.
"Pak, lihat sini!"Â teriak teman kerjanya.
Pak Kamran berlari menuju ke lokasi suara. Dia melihat istri dan anak bungsunya tergeletak lemas di samping pohon asam yang masih tegak berdiri.
"Ja-rel, Pak," ucap istrinya dengan bibir bergetar.
Pak Kamran mengangkat tubuh anak bungsunya dari pelukan istrinya. Seketika anak kecil itu menangis keras. Ada sedikit perasaan lega tergambar di mata tuanya.